The city of Love
Tanggal 2 mei 2013 aku menjejakkan kaki di Singapore. Mengapa aku memilih Singapore sebagai tujuan pertama ku
dalam berpetualang di luar negeri?. Alasannya sederhana, karena Singapore jaraknya dekat dengan
Indonesia membuat negara ini seperti halaman depan rumahku saja. Pukul 09.45
p.m. pesawatku mendarat di Changi
International Airportdengan lancar. Rasa lelah dan kantuk saat tiba di
bandara internasional Changi rupanya membawaku ingin segera menuju hostel yang
alamatnya sudah kucatat di buku tulisku. Namun seketika letihku hilang berganti
perasaan excited saat berada di hall bandara ini. Changi airport sungguh sebuah masterpice. Bayangkan saja setelah
penerbangan yang singkat namun melelahkan itu aku di sambut dengan Orchid Garden yang mempesona. Terdapat
puluhan jenis Anggrek aneka warna yang ditanam di taman dalam ruangan bandara
Changi, di antara taman itu mengalir kolam kecil berisi ikan koi yang besar dan
menggemaskan. Aku menyempatkan diri duduk di bangku taman itu untuk sekedar
melepas lelah. Dan bukan hanya aku yang terpukau dengan taman anggrek tersebut,
tampaknya beberapa orang yang tadi satu pesawat denganku juga terlihat
menikmati fasilitas indah ini. Seorang lelaki Jerman bersama kawannya yang
berkewarganegaraan Korea bahkan asyik berfoto ria mengambil latar belakang
anggrek-angrek berwarna ungu terang. Tak jauh dari Orchid Garden terdapatArt
Stand tempat pengunjung bisa menciptakan karya seni sendiri. Anak-anak
terlihat senang dengan fasilitas ini. Dengan krayon aneka warna anak-anak
tersebut mencorat-coret kertas gambar ukuran besar yang diatur diatas pola-pola
gambar ikon Singapore. Hingga terciptalah karya seni yang berkarakter. Rasa
haus menyergap aku saat menikmati fasilitas bandara ini. Tapi beruntung karena
di bandara ini terdapat tap water
siap minum dengan air dingin yang menyegarkan, berbeda dengan tap water di bandara Soekarno Hatta yang
airnya tidak dingin sehingga tidak segar.Beranjak ke lantai 3 pengunjung
dimanjakan dengan fasilitas mini theater
yang menyuguhkan film box office. Ada
juga fasilitas internet gratis, video
game online dan yang paling baru adalah Sunflower
Garden yang dikelilingi ratusan lampu kecil berwarna-warni sungguh membuat
siapapun yang melihatnya takjub. Sebenarnya masih banyak fasilitas bertebaran
di bandara Changi seperti Taman Kupu-kupu, Air terjun buatan, hingga Seluncuran
Raksasa yang membawa pengunjung mendapatkan pengalaman meluncur dari lantai 4.
Tapi karena fasilitas tersebut tersebar di empat terminal sehingga pengunjung
perlu menggunakan shuttle train untuk
menjangkaunya. Shuttle train adalah
transportasi antar terminal yang melaju di jalur monorel 5 meter di atas
permukaan tanah. Tapi karena aku tidak
memiliki waktu cukup untuk menikmati semua fasilitas ini akhirnya aku beranjak
menuju hostel dengan menggunakan fasilitas MRT yang menghubungkan bandara
dengan pusat kota Singapore. Hostel yang kutuju terletak di jalan Arab St no.8,
dimana setelah kutanyakan pada petugas MRT aku dibantu untuk membeli tiket
jurusan Bugis Station seharga S$2.60
(2 dolar Singapore 60 cent).Tiket
tersebut bisa didapat dengan mudah di ticket
machine, hanya dengan memasukkan uang lembaran dan atau koin ke dalam mesin
tersebut maka akan keluar tiket MRT secara otomatis.Setelah tiket digenggam aku
tinggal meletakkan tiket tersebut ke area
on line untuk di scan sehingga
aku dapat menumpang MRT. Ini merupakan pengalaman ku yang pertama menggunakan MRT
sehingga terasa mengasyikan. Ada banyak penumpang yang menggunakan MRT saat itu
tapi yang terlihat norak mungkin cuma aku. Maklumlah Jakarta kan tidak punya
MRT, sehingga aku sibuk mengeksplorasi MRT dengan caraku sendiri.MRT ini
bergerak cepat dan anti macet sehingga membuat waktu tempuh dari bandara Changi
ke Bugis kurang dari setengah jam. Sebelum sampai Bugis aku harus transit dulu
di Tanah Merah lalu kemudian ambil jurusan menuju Joo koon untuk kemudian turun
di Bugis. Aku penasaran kenapa nama-nama kawasan di Singapore ini terdengar
familiar bagi telinga orang Indonesia. Di Singapore kawasan yang terdengar
Indonesia selain Bugis dan Tanah Merah adalah Kupang, Bukit Panjang, Petir
bahkan ada kawasan Kembangan yang sama dengan nama kelurahan tempat ku tinggal
di Jakarta Barat.
Setelah menempuh perjalanan menggunakan MRT selama
setengah jam melewati terowongan dan monorel yang membelah Singapore dari
ketinggian 6 meter di atas tanah, akhirnya aku pun tiba di Bugis Station. Terletak di bawah tanah sebuah pusat perbelanjaan
yang ramai dan dikenal sampai kemancanegara, stasiun Bugis hari itu ramai oleh
para penumpang MRT dari luar negeri. Berbagai macam barang bisa di dapat di
Bugis dengan harga murah, mulai dari pakaian, food and groceries, sampai restoran fastfood bisa ditemukan, ya..hal itu karena Bugis adalah Mangga
Dua-nya Singapore. Keluar dari stasiun
aku cukup melewati jajaran fashion store
yang memajang aneka busana mewah ke tangga menuju lantai 1, jika beruntung maka
akan bertemu penjaja koran berbahasa inggris yang membagikan koran secara
gratis kepada siapa saja yang lewat.Diluar stasiun aku disambut oleh hujan yang
mengguyur deras, hal itu membuatku tidak bisa langsung menuju hostel tempat aku
berencana untuk menginap. Terpaksa berteduh di sebuah kafe kecil dengan lampu
remang-remang sambil menunggu hujan reda aku lalu memesan secangkir teh tarik seharga
S$ 2 untuk menghangatkan tubuh dari angin dingin. Tidak lama kemudian hujan
berhenti membuatku beranjak dari kafe menuju Arab St no.8 dengan hanya berjalan
kaki. Jika keluar dari Stasiun Bugis diseberang jalan dapat ditemui restoran KFC
dan Burger King, untuk mencapai Arab St. maka kita tidak perlu menyeberang
jalan melainkan berbelok ke kanan melewati sebuah gereja lalu akan mendapati
sebuah jalan kecil yang jarang dilewati mobil. Lokasinya dibelakang Sultan Mosquetepatnya di jalan Arab St. No 8
terdapat sebuah hostel bernama Shophouse
Social Hostel. Bangunannya tidak telalu besar dengan 4 lantai dan Roof untuk bersantai bagi para tamunya.
Aku disambut oleh 2 orang resepsionis yang kemudian mengantarkan aku ke lantai
4 dengan menggunakan tangga yang agak sempit. Menuju ke lantai 2 di sepanjang
dinding bercat putih disamping anak tangga yang aku lalui ada board yang ditutupi karton hitam besar
bergliter.Di karton itu ada banyak
tanda tangan dari para turis yang pernah menginap di hostel tersebut, hingga
kalimat-kalimat ‘hello from new zealand’,
‘bonnie was here’ dan seorang Indonesia yang menuliskan kata ‘Dari Palembang Ke Singapore’. Di ujung papan ada kumpulan spidol
warna-warni untuk digunakan para tamu hostel yang ingin menggoreskan sepatah dua
patah kata atau tanda tangan di papan sebagai pernyataan pernah berada di
Singapore. Menuju lantai 3 hingga 4 dinding di samping tangga dibiarkan kosong.
Pencahayaan di hostel ini cukup baik dengan lampu neon berpendar terangsementara
lantainya ditutupi keramik berwarna putih. Untuk menginap di hostel ini minimum
harga kamar permalam S$26 ditambah dengan deposit S$10 untuk jaminan kunci
loker dan kita akan mendapatkan room
dormitory berkapasitas 12 orang mix
laki-laki dan perempuan. Maksimumnya seharga S$100 permalam untuk kamar private dengan double bed. Aku pilih kamar dormitory
yang itu artinya aku sekamar dengan 12 orang tamu hostel yang lain baik
laki-laki atau pun perempuan, pasti seru.Aku sendiri belum booking secara online
mengingat untuk booking memerlukan
fasilitas kartu kredit, padahal aku tidak punya kartu kredit. Kalau pun sudah booking aku merasa hal itu agak beresiko
mengingat sebagai turis yang baru kali pertama berkunjung ke negeri orang
pastilah belum familiar terhadap jalan menuju ke tempat menginap sehingga akan
menyusahkan jika booking terlebih
dahulu lalu tidak menemukan alamat hostel yang dituju.
Kamar dormitory
memiliki ukuran sedang mungkin 4x6 m yang berisi 6 tempat tidur bertingkat yang
hampir terisi penuh, setiap bed
dilengkapi dengan selimut tebal. Kecuali sebuah bedbawah yang dipakai untuk aku tidur. Di bed atasku ada seorangpemuda berambut pirang dan berkulit pucat
sedang tidur dengan suara mendengkur.Lampu kamar sendiri dimatikan hal ini
karena mayoritas penghuni kamar juga sedang terlelap, tapi didinding
masing-masing bed ada lampu tidur
bagi yang tidak suka tidur dalam gelap juga terdapat wall socket untuk mengisi daya handphone
dan atau laptop. Kamar di lengkapi
pula dengan pendingin ruangan, dan ada sebuah jendela besar memberikan
pemandangan jalan Arab st yang lenggang dan gelap malam itu. Karena kondisi tubuhku
yang sudah lelah dan mengantuk akhirnya aku melemparkan tubuhku ke tempat tidur
setelah tentu saja mengunci tas di dalam loker, dan tidak sampai lima menit
kemudian aku tertidur.
Pagi hari di Singapore begitu hangat dan cerah
dilengkapi dengan suara burung-burung jalak yang berterbangan dengan bebas. Aku
yang begitu menikmati pagi yang indah ini segera mandi lalu merapikan diri.
Tidak lama kemudian aku beranjak ke Roof
yang terletak satu lantai di atas kamarku. Di Roof terdapat Breakfast Roomyang
terletak tepat di samping kiri setelah menaiki tangga adalah ruang tempat para
tamu mendapatkan sarapan gratis. Tersedia roti tawar dengan aneka selai, snack dan juga sereal bisa dinikmati
bersama susu, semua makanan ini disediakan secara gratis. Aku tidak mau
melewatkan kesempatan sarapan karena seharian penuh akan menjelajah Singapore.
Di ruang breakfast aku bertemu dengan
dua orang gadis yang juga adalah tamu hostel yang menginap. Mereka sedang
berbincang ramai, seorang adalah perempuan berambut pirang dengan pipi berisi
mungkin sedang mengunyah sereal. Perempuan ini menggerai rambutnya yang sebahu,
dia memakai jeans dan tshirt berwarna kuning. Matanya yang
bulat runcing berwarna hijau tampak berkedip-kedip saat mendapati sereal yang
dikunyahnya keras hingga dia pun menuangkan sedikit susu untuk kedalam
mangkuknya dengan maksud untuk membuat serealnya lunak. Seorang gadis yang lain
tampak antusias mendengarkan cerita si mata hijau sambil memotong roti bakar
berisi selai kacang. Gadis yang ini memiliki rambut hitam tergerai, bola
matanya hitam. Aku pikir dia mungkin seorang Malaysia karena memiliki wajah
tirus dan berkulit putih langsat, tapi melihat pakaiannya yang agak terbuka
dengan model dress terusan dengan
lengan bertali tampaknya agak janggal jika dia berasal dari negeri jiran yang
biasanya menggunakan baju kurung.
“Hai good
morning, where are you come from?(Hai selamat pagi dari mana kamu
berasal?)”, sapa si gadis berambut hitam dengan tiba-tiba kepadaku. Aku
tersenyum ramah lalu memperkenalkan diriku dan asal negara ku kepadanya. Tak
disangka dia terkejut lalu menjelaskan bahwa dia juga berasal dari Indonesia
tepatnya dari Padang. Aku pun tak kalah terkejut mendengarkan penjelasannya,
rupanya tidak sulit bertemu dengan saudara sebangsa dan setanah air di
Singapore. Kami bertiga lalu menghabiskan waktu dua puluh menit untuk sarapan
bersama. Si perempuan asal Padang ini kemudian memperkenalkan namanya sebagai
Sella dan dia di Singapore bekerja di
sebuah restoran milik seorang lelaki gemuk asal India yang juga adalah
kekasihnya. Dan si mata hijau memperkenalkan dirinya sebagai Jane, berasal dari
Austria dan menginap di hostel untuk sekedar liburan. Jane sendiri mengatakan
bahwa dirinya berprofesi sebagai politikus, sedang bingung dengan kampanye
politiknya hingga membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
Selesai sarapan aku pun lalu berpamitan kepada Sella
dan Jane untuk pergi ke SultanMosque
sebagai tujuan wisata pertama ku di negeri mungil ini. Sultan Mosque itu sendiri terletak tidak jauh dari tempat ku
menginap hanya dengan berjalan kaki sudah bisa menikmati keindahan bangunan
mesjid yang konon terbesar di Singapore ini. Keluar dari pintu utama Sophouse Hostelberjalan ke kanan
melewati kios penjual permadani hingga perempatan pertama belok kanan akan
mendapati kafe yang menjual aneka makanan khas negara itu lalu menyeberang
jalan ke kiri, akan dijumpai kafe yang menjual makanan khas Timur Tengah setelah
itu terus jalan lurus saja maka dapat dijumpai Sultan Mosque yang megah dan berkubah keemasan dengan ruangan
shalat yang sangat luas.
Sultan
Mosque beralamat resmi di3
Muscat St. Singapore 198833adalah bagian
dari kawasan Kampong Glam pusat kebudayaan Malay merupakan bangunan masjid
berlantai dua dengan dinding berwarna putih gading memiliki ornamen bergradasi
keemasandari tengah dinding atas hingga hampir mencapai langit-langitnya.
Lantai satu adalah untuk jamaah laki-laki sementara lantai dua adalah untuk
jamaah perempuan. Masjid ini memiliki dua menara kembar yang menjulang tinggi.
Ruangan masjid tidak dilengkapi AC sebagai penyejuk udara melainkan menggunakan
tiga buah kipas angin besar berwarna cokelat yang menggantung di
langit-langitnya. Sultan Mosque itu
sendiri juga merupakan lokasi wisata yang cukup diminati bukan hanya oleh wisatawan
muslim tapi juga wisatawan beragama lain dari seluruh dunia. Terbukti saat
kunjunganku ke sana ada banyak bule berfoto dengan latar belakang Sultan Mosque, dan wisatawan asal
Tionghoa juga banyak yang terlihat mengambil foto masjid besar ini. Masjid yang
dibangun tahun 1824 ini dikelilingi pohon pinang yang rindang, tiang-tiang-tiang
masjid juga tampak gagah menopang masjid berukuran besar itu.
Tak jauh dari Sultan
Mosque terdapat sebuah gereja katolik. Nama gereja itu adalah St. Joseph Churchterletak di sebelah
kanan seberang jalan kawasan Stasiun Bugis yang kulewati saat pertama kali
mencari jalan menuju ke hostel. Beralamat resmi di 143 Victoria St.Singapore 188020wisatawan yang ingin menikmati
keindahan dan sejarah gereja tersebut bisa berjalan kaki dari Sultan Mosque. Gereja itu sendiri dibangun
pada tahun 1851 terdiri dari tiga bangunan terpisah dimana jika kita tinjau
dari gerbang masuk fungsi bangunan disebelah kiri merupakan ruang serba guna,
ditengahnya yang merupakan bangunan terbesar dari ketiganya berfungsi untuk
peribadatan atau misa para jamaahnya sementara di kanan adalah ruang kantor
pengurus gereja. Ruangan misa sendiri cukup besar hingga mungkin lebih cocok
kusebut aula. Didalam ruang misa ada deretan bangku untuk berdoa dimana di
deretan tengah juga bisa dilihat beberapa orang yang sedang khusuk berdoa,
ruangannya cukup besar dengan langit-langit yang tinggi. Ada patung bunda maria
di sebelah pintu masuk, lilin-lilin kecil menyala dibawah kakinya. Didepan
sekali ada sebuah mimbar dari kayu dan panggung lebar dengan hiasan bunga-bunga
dan semak berdaun panjang mengelilinginya, dibelakang mimbar jika kita tengok
ke atas ada patung Yesus Kristus berukuran besar tergantung didinding.
Bersebelahan dengan gereja ada sekolah St.Joseph yang memiliki bangunan besar
dengan dua tingkat.
Setelah puas berwisata dengan berjalan kaki aku lalu
melangkah menuju stasiun Bugis untukmenuju Sentosa
Island. Sebuah pulau resort yang dikelola khusus untuk wisata dimana
terdapat Merlion raksasa, Universal
Studios, dan juga pantai. Dengan tiket MRT seharga S$1.60 aku melaju ke Harbour Font untuk kemudian melangkah ke
Level 3 Vivo City berharap bisa
menggunakan Sentosa Express menuju ke
pulau. Harbour Font itu sendiri
tampaknya adalah sebuah pelabuhan yang cukup sibuk dengan kapal-kapal feri
penumpang maupun kapal kargo barang ekspor impor. Namun untungnya kesibukan itu
tidak mengganggu wisatawan yang bertujuan menyeberang ke Sentosa Island yang rupanya hanyalah sebuah pulau kecil yang
terhubung dengan sebuah jalan jembatan sejauh kurang lebih 100 meter yang dapat
dilalui train express, mobil maupun
pejalan kaki. Dalam keterangan resmi Tourism
Singaporedisebutkan bahwa untuk menuju Sentosa
Island harus menggunakan Sentosa
Express yaitu sebuah kereta gerbong tunggal otomatis yang mengantarkan
wisatawan ke pulau dengan menyeberang laut yang untukku hanya terlihat sedikit
lebih lebar dari Sungai Musi. Dan Sentosa
Express dapat di temukan di Level 3 yang disebut Vivo City, sungguh keterangan resmi yang menyesatkan. Pasalnya aku
benar-benar mengikuti papan petunjuk itu lalu menggunakan eskalator ke level 3Vivo City dan tidak ditemukan
kereta ekspres disana. Memang tidak rugi berada di Vivo City karena aku disuguhkan pemandangan laut yang di
seberangnya ada Sentosa Island yang
bisa dilihat dengan mudah. Perahu-perahu besar untuk wisata terlihat di
sepanjang laut yang memisahkan Harbour
Font dengan pulau. Di sepanjang garis pantai yang berlantai batu hitam ada kursi
dan meja berjajar di bawah pohon-pohon rindang yang meneduhkan milik beberapa
rumah makan, ditambah dengan semilir angin laut suasana ini mirip dengan pantai
Marina Ancol, yang membedakan hanya kebersihan laut di sini jauh lebih baik
daripada di Ancol. Ada kolam-kolam besar berisi air tawar jernih yang dasarnya
adalah pasir pantai putih tempat para pengunjung bisa merendam kaki karena
kolam itu sendiri hanya sedalam betis kaki orang dewasa. Ada pula anak-anak
yang terlihat asyik berenang di kolam-kolam itu, walaupun sudah ada tanda
larangan berenang disana.
Karena bingung tidak tahu dimana stasiun kereta
ekspres menuju Sentosa Islandakhirnya
aku kembali turun dengan ekskalator ke level
1 dan ke luar melewati exit
samping sebuah departement store.
Hingga jelaslah terlihat jembatan penghubung ke pulau yang bisa ditempuh dengan
berjalan kaki kurang lebih 15 menit saja. Sepanjang jalan di jembatan ini ada
atap peneduh dan eskalator landai yang membantu wisatawan agar tidak lelah
berjalan kaki. Ada juga pohon-pohon bakau dan jambu mete yang turut menyejukkan
suasana, disamping kanan bisa dinikmati pemandangan laut biru yang airnya
bersih tanpa sampah walaupun tidak jernih.
Kurang dari 15 menit aku menyusuri jembatan penghubung
ke Sentosa Island hingga sampai ke
Loket Tiket untuk membeli tiket masuk ke pulau ini yang seharga S$1. Berjalan
masuk dari loket hanya beberapa meter dapat dijumpai sebuah air terjun buatan
setinggi enam meter. Airnya tercurah deras dan sepanjang tebingnya ditutupi
semak-semak yang tampaknya ditata agar terlihat indah. Dibawah airterjun ada
kolam dengan ikan mas yang bersenda gurau diantara tanaman air yang tidak
terlalu lebat. Sayang sekali air terjun ini hanya bisa dinikmati secara visual
saja karena pengunjung tidak bisa berenang bahkan menyentuh airnya saja tidak
bisa karena sepanjang kolam airterjun dibatasi pagar setinggi pinggang orang
dewasa. Berbelok ke kanan dari airterjun
ada sungai buatan dengan airnya yang biru jernih jika ditelusuri ada jembatan
dan di dekat jembatan itu ada air mancur menari yang digemari anak-anak yang
suka bermain air. Disebelah kiri ada air terjun buatan berundak-undak dengan
kolam yang dindingnya terbuat dari batu zedithberwarna
biru. Konon jika pengunjung mencelupkan tangan atau kaki ke dalam kolam maka
akan dapat merasakan energi positif dari dinding kolam, setidaknya itu
keterangan yang bisa dibaca dari papan di pinggir kolam. Menyusuri tangga
disepanjang air terjun berundak-undak itu pengunjung akan tiba di sebuah
lapangan kecil di kelilingi uap yang memberi efek kabut tipis yang ditengahnya
terdapat sebuah bola dunia besar berwarna biru yang berputar bertuliskan Universal Studios. Bola dunia ini
sesungguhnya juga ikonik dan cukup dikenal wisatawan mancanegara, harga tiket masuk
Universal StudiosS$74 untuk adult dan S$54 untuk children.
Universal
StudiosSingapore beralamat di 8
Sentosa Gateway Singapore098269 di dalamnya terdapat banyak atraksi menarik
yang sangat cocok untuk dinikmati oleh anak-anak maupun dewasa. Theme Park seluas 20 ha ini merupakan
satu-satunya Universal Studios yang
ada di Asia Tenggara selama hingga 30 tahun sejak dibukanya taman ini pada
tanggal 18 Maret 2010. Ada banyak theme
zone di Universal Studios tapi
favoritku adalah Hollywoodyang mana
membuat aku merasa seperti benar-benar ada di Hollywood Boulevard dengan arsitektur yang dinamis dan pohon palem
di sepanjang jalannya. Di sini ada replika dari walk of fame yang terkenal itu, membuat aku merasa seperti seorang
bintang saat melangkah diatasnya. Belum lagi penampilan khusus dari karakter Hollywood yang terkenal Marilyn Monroe
yang berpakaian seksi, Po dari Kungfu Panda, Charlie Chaplin, Beetlejuice,
Beety Boop hingga Frankenstein’s Monster dapat dijumpai disini. Selain
Hollywood ada juga replika kota New York yang menampilkan landmark klasik kota itu dengan sinar gemerlap lampu-lampu. Zona
ini juga menampilkan replika dari New
York Public Library yang terkenal dengan dua patung singa menyambut di
depan pintu masuk. Aku menjelajah replika kota ini dengan antusias hingga
bertemu karakter spesial Sasame Street
yang lucu-lucu yaitu Elmo, Ernie, dan Big Bird. Namun yang membuatku sangat excited berada di Universal Studios
adalah roller coaster besar dengan 5
manuver yaitu cobra roll, corkscrews, vertical
loop, dan a
zero-g roll. Teriakan dan lengkingan langsung terlepas dari ku saat mencoba
roller coaster yang disebut Battlestar Galactica:Cyclon ini. Semua
penumpang wahana ini pucat pasi setelah menyelesaikan satu putaran, tentu saja
aku tidak akan mencobanya lagi karena jantungku tidak mau berhenti berdegup
kencang. Hanya beberapa meter dari Cyclon
ada wahana yang membawa kita berputar kencang dalam cangkir teh besar yang
bernama Accelator yang cocok untuk
penakut seperti ku. Accelator ini
mirip dengan wahana serupa di Dufan yang bernama Cangkir Putar yang
membedakannya hanya warna cangkirnya yang oranye mencolok dan berputar selama
10 menit sementara di Dufan si cangkir berwarna pastel. Sebenarnya masih banyak
lagi wahana serta zona di Universal
Studios ini seperti The Lost World
yang mengusung tema Jurassic Park, Ancient Egypt dengan replika film The Mummy yang menyeramkan itu, dan Far-Far Away dimana terdapat istana disney yang indah serta zonaMadagascar dengan komedi putarnya yang
diisi karakter hewan dalam kartun Madagascar seperti Melman, Gloria, Alex, dan
Marty yang sungguh lucu dan menggemaskan. Semua zona dan wahana tersebut aku
jelajahi dalam waktu setengah hari dengan hati riang.
Puas menikmati Universal
Studios aku lalu beranjak ke Merlion raksasa yang memiliki tinggi hingga 37
meter. Singapore sendiri memiliki lima Merlion yang berlokasi terpisah. Patung
asli Merlion terletak di Merlion Park,
Baby Merlion yang terdapat di belakang patung asli Merlion di Merlion Park, Merlion setinggi tiga
meter masing-masing di Tourism Court
dekat Grange Road dan di Mount Faber Point, serta Merlion di Sentosa Island. Namun Merlion di Sentosa Island ini jelas merupakan
Merlion terbesar di Singapore jika dibandingkan dengan Merlion lain. Pengunjung
dapat naik keatas Merlion ini menggunakan lift
dengan harga tiket S$8 dan dari puncaknya aku dapat melihat sekeliling Sentosa Island yang menurutku tidak lebih
luas dari Taman Impian Jaya Ancol. Malahan ketinggian Merlion ini sesungguhnya
tidak seberapa jika dibandingkan dengan Monas yang menyuguhkan pemandangan
seluruh kota Jakarta dari puncaknya. Jadi mencapai puncak Merlion rasanya tidak
terlalu spektakuler, hanya harga tiketnya yang akhirnya membuat ini menjadi
pengalaman yang mahal.
Tidak jauh dari Merlion pengunjung dapat menyusuri
jalan setapak dengan air mancur menganak sungai yang dikelilingi pepohonan
rimbun yang akan mengantarkan ke sebuah jalan besar menuju Pantai Palawan hanya
sepuluh menit mengikuti trotoar menuju kesana. Pantai Palawan itu sendiri
adalah sebuah pantai sepanjang 4 kilometer dengan pasir putih dan air yang
tenang. Dipinggir pantai banyak berjejer pohon kelapa dan rerumputan, dibawah
nyiur kelapa banyak turis bule berjemur sambil berbikini ria. Walaupun garis
pantai ini tidak lebih panjang dibandingkan pantai Ancol tapi airnya bersih
dari sampah bahkan bisa ditemui ganggang laut mengapung di airnya yang
menandakan kondisi air disini cukup baik walaupun tidak jernih dan tidak ada
ikan-ikan kecil. Sebuah pulau karang terdapat di pantai ini yang bisa
disinggahi dengan menyusuri jembatan gantung yang cukup panjang. Di pulau
karang ini ada menara pandang yang bisa didaki hingga pengunjung dapat
menikmati pemandangan sekeliling pantai. Jangan kaget kalau dari menara ini
bisa disaksikan Pulau Batam dari kejauhanyang tampak seperti bukit hijau besar
di cakrawala, karena memang lokasi Singapore sendiri hanya berjarak satu jam
menggunakan perahu ke Pulau Batam Indonesia. Kapal-kapal besar pengangkut
barang ekspor impor juga bisa kita temui berlalu lalang di kejauhan. Pengalaman
aku berenang di Pantai Palawan rasanya menyegarkan dengan airnya yang tidak
terlalu bergaram sehingga di tubuhku tidak terasa terlalu lengket. Sensasi
pasir pantai yang menggelitik kaki dan tubuh saat sedang berenang, dan ombaknya
yang tenang dengan irama yang teratur sungguh menambah kesenangan. Perasaan
senang ini tidak bisa di dapat jika dibandingkan dengan berenang di Pantai
Ancol yang airnya keruh dan kotor.Berenang di pantai tentu saja harus menggunakan
sun block dan jangan terlalu ke
tengah laut adalah hal yang disarankan. Pasalnya matahari Singapore begitu
terik sehingga jika tidak menggunakan tabir surya takutnya kulit akan kering
terbakar, walaupun sesekali awan putih besar menyaput langit hingga memberi
keteduhan. Berenang di pinggir pantai adalah untuk keamanan mengingat di tengah
pantai ini cukup dalam dengan papan peringatan ada ubur-ubur besar yang bisa
melintas setiap saat disana.
Selesai berenang dan membilas tubuh di bawah pancuran
yang tersedia banyak disini, aku lalu singgah di sebuah rumah makan yang
terletak masih dipinggir pantai. Tentu saja mencicipi seafood lokal menjadi idaman bagi perut yang sudah keroncongan.
Pilihanku lobster bakar saus barbekyu yang menggoyang lidahku dengan rasa gurih
nikmat dan juicy saat kugigit. Manis
pedas sausnya benar-benar sedap bukan kepalang. Jika lidah terasa hangat karena
paduan lada hitam dalam saus barbekyu sudah membuat wajah memerah langsung aku
siram dengan segarnya es kelapa muda, sungguh kuliner yang wajib dicicipi bagi
siapa saja yang singgah di pantai ini. Harga semua menu tadi adalah S$11 memang
cukup mahal tapi sepadan dengan rasanya yang nikmat.Banyak turis jepang yang
juga terlihat leyeh-leyeh di rumah makan ini, tampaknya mereka lebih menyukai
jika seafood nya tidak di panggang
dan bisa dimakan mentah sepeti sashimi
tapi si koki terlihat geleng-gelang kepala kepada seorang jepang bertopi
jerami, jelas ikan mentah bukan masakan yang normal bagi koki lokal.
Lepas perut kenyang aku pun menyusuri trotoar di
sepanjang jalan di pinggir pantai berlalu meninggalkan beberapa turis Denmark berpakaian
mencolok yang sedang ramai berfoto. Aku berjalan menuju cable car yang terletak jauh dari pantai Palawan dengan harapan
bisa menyeberang pulau kembali ke pusat kota menggunakan cable car yang di Taman Mini biasa disebut kereta gantung. Tapi ditengah
perjalanan aku tertarik dengan sebuah antrean panjang pengunjung yang
bersemangat mencoba sebuah wahana menegangkan bernama Sentosa Luge and Sky Ride. Tidak pikir panjang aku akhirnya ikut
mengantri di belakang seorang wisatawan asal negeri tirai bambu yang terlihat
nyentrik dengan topi Mickey Mouse nya. Dengan tiket seharga S$9 untuk sekali
jalan aku memilih skyride karena
menurutku lebih seru dibandingkan Luge
yang hanya serupa go cart yang
melintas menuruni bukit kecil. Sky Rideakan
membawa penumpangnya ke atas ketinggian 12 meter diatas tanah dengan kereta ski
yang mirip seperti di film James Bond On Her Majesty's Secret Service.Dengan wahana ini aku dapat menikmati garis pantai
dan panorama pulau dari ketinggian, menembus rimbunnya pepohonan dengan
pemandangan gedung pencakar langit di cakrawala sungguh pengalaman yang tidak
boleh dilewatkan. Bergerak selama lima belas menit untuk sekali jalan membuat
perjalananku lebih hemat tenaga untuk mencapai wahana kereta gantung yang
terdapat di sisi utara pulau.Rute sky
ride berakhir di jalan masuk wahana Megazip,
wahana serupaflyingfoxmemang
menantang adrenalin namun kuabaikan saja karena matahari sudah tenggelam dan
aku tidak ingin menghabiskan malamku di pulau ini. Untuk mengakhiri perjalanku
di Sentosa Island kali ini aku
memilih cable car menuju ke pusat
kota Singapore. Terentang sejauh 150 meter di atas permukaan laut cable car menjadi pilihan yang lebih
fantastik dibandingkan Sentosa Epress
yang serupa dengan MRT dengan gerbong tunggal. Dengan membayar S$26 untuk
dewasa dan S$15 untuk anak-anak aku dapat menikmati pemandangan 360 derajat
bagian selatan Singapore. Hari sudah gelap saat itu tapi gemerlapnya lampu dari
gedung pencakar langit serta bintang-bintang membuat segalanya tampak indah. Di
ufuk timur terlihat bulan purnama menampakkan sinarnya yang terang menghias
malam, pantulan sang rembulan ditangkap dengan cantik oleh lautan tenang di
bawah kakiku. Malam rupanya tidak identik dengan dengan kegelapan jika berada
di Singapore karena puluhan kembang api dari kejauhan menyentakkan para
penumpang kereta gantung. Warna-warni kembang api sungguh merupakan pemandangan
yang memukau. Semua kemeriahan itu masih ditambah lagi dengan pertunjukan ilusi
air dan cahaya laser dari wahana Crane
Dance yang jika dilihat dari atas awan tampak seperti burung phoenix
raksasa yang bersinar. Diiringi musik dengan melodi gembira Crane Dance mempertontonkan pertunjukkan
yang spektakuler, segalanya sempurna untuk menutup hari pertamaku disini.
No comments:
Post a Comment