Thursday, October 24, 2013

Singapore With Love eps.3


The city of Love
Tanggal 2 mei 2013 aku menjejakkan kaki di Singapore. Mengapa aku memilih Singapore sebagai tujuan pertama ku dalam berpetualang di luar negeri?. Alasannya sederhana, karena Singapore jaraknya dekat dengan Indonesia membuat negara ini seperti halaman depan rumahku saja. Pukul 09.45 p.m. pesawatku mendarat di Changi International Airportdengan lancar. Rasa lelah dan kantuk saat tiba di bandara internasional Changi rupanya membawaku ingin segera menuju hostel yang alamatnya sudah kucatat di buku tulisku. Namun seketika letihku hilang berganti perasaan excited saat berada di hall bandara ini. Changi airport sungguh sebuah masterpice. Bayangkan saja setelah penerbangan yang singkat namun melelahkan itu aku di sambut dengan Orchid Garden yang mempesona. Terdapat puluhan jenis Anggrek aneka warna yang ditanam di taman dalam ruangan bandara Changi, di antara taman itu mengalir kolam kecil berisi ikan koi yang besar dan menggemaskan. Aku menyempatkan diri duduk di bangku taman itu untuk sekedar melepas lelah. Dan bukan hanya aku yang terpukau dengan taman anggrek tersebut, tampaknya beberapa orang yang tadi satu pesawat denganku juga terlihat menikmati fasilitas indah ini. Seorang lelaki Jerman bersama kawannya yang berkewarganegaraan Korea bahkan asyik berfoto ria mengambil latar belakang anggrek-angrek berwarna ungu terang. Tak jauh dari Orchid Garden terdapatArt Stand tempat pengunjung bisa menciptakan karya seni sendiri. Anak-anak terlihat senang dengan fasilitas ini. Dengan krayon aneka warna anak-anak tersebut mencorat-coret kertas gambar ukuran besar yang diatur diatas pola-pola gambar ikon Singapore. Hingga terciptalah karya seni yang berkarakter. Rasa haus menyergap aku saat menikmati fasilitas bandara ini. Tapi beruntung karena di bandara ini terdapat tap water siap minum dengan air dingin yang menyegarkan, berbeda dengan tap water di bandara Soekarno Hatta yang airnya tidak dingin sehingga tidak segar.Beranjak ke lantai 3 pengunjung dimanjakan dengan fasilitas mini theater yang menyuguhkan film box office. Ada juga fasilitas internet gratis, video game online dan yang paling baru adalah Sunflower Garden yang dikelilingi ratusan lampu kecil berwarna-warni sungguh membuat siapapun yang melihatnya takjub. Sebenarnya masih banyak fasilitas bertebaran di bandara Changi seperti Taman Kupu-kupu, Air terjun buatan, hingga Seluncuran Raksasa yang membawa pengunjung mendapatkan pengalaman meluncur dari lantai 4. Tapi karena fasilitas tersebut tersebar di empat terminal sehingga pengunjung perlu menggunakan shuttle train untuk menjangkaunya. Shuttle train adalah transportasi antar terminal yang melaju di jalur monorel 5 meter di atas permukaan tanah.  Tapi karena aku tidak memiliki waktu cukup untuk menikmati semua fasilitas ini akhirnya aku beranjak menuju hostel dengan menggunakan fasilitas MRT yang menghubungkan bandara dengan pusat kota Singapore. Hostel yang kutuju terletak di jalan Arab St no.8, dimana setelah kutanyakan pada petugas MRT aku dibantu untuk membeli tiket jurusan Bugis Station seharga S$2.60 (2 dolar Singapore 60 cent).Tiket tersebut bisa didapat dengan mudah di ticket machine, hanya dengan memasukkan uang lembaran dan atau koin ke dalam mesin tersebut maka akan keluar tiket MRT secara otomatis.Setelah tiket digenggam aku tinggal meletakkan tiket tersebut ke area on line untuk di scan sehingga aku dapat menumpang MRT. Ini merupakan pengalaman ku yang pertama menggunakan MRT sehingga terasa mengasyikan. Ada banyak penumpang yang menggunakan MRT saat itu tapi yang terlihat norak mungkin cuma aku. Maklumlah Jakarta kan tidak punya MRT, sehingga aku sibuk mengeksplorasi MRT dengan caraku sendiri.MRT ini bergerak cepat dan anti macet sehingga membuat waktu tempuh dari bandara Changi ke Bugis kurang dari setengah jam. Sebelum sampai Bugis aku harus transit dulu di Tanah Merah lalu kemudian ambil jurusan menuju Joo koon untuk kemudian turun di Bugis. Aku penasaran kenapa nama-nama kawasan di Singapore ini terdengar familiar bagi telinga orang Indonesia. Di Singapore kawasan yang terdengar Indonesia selain Bugis dan Tanah Merah adalah Kupang, Bukit Panjang, Petir bahkan ada kawasan Kembangan yang sama dengan nama kelurahan tempat ku tinggal di Jakarta Barat.
Setelah menempuh perjalanan menggunakan MRT selama setengah jam melewati terowongan dan monorel yang membelah Singapore dari ketinggian 6 meter di atas tanah, akhirnya aku pun tiba di Bugis Station. Terletak di bawah tanah sebuah pusat perbelanjaan yang ramai dan dikenal sampai kemancanegara, stasiun Bugis hari itu ramai oleh para penumpang MRT dari luar negeri. Berbagai macam barang bisa di dapat di Bugis dengan harga murah, mulai dari pakaian, food and groceries, sampai restoran fastfood bisa ditemukan, ya..hal itu karena Bugis adalah Mangga Dua-nya Singapore. Keluar dari stasiun aku cukup melewati jajaran fashion store yang memajang aneka busana mewah ke tangga menuju lantai 1, jika beruntung maka akan bertemu penjaja koran berbahasa inggris yang membagikan koran secara gratis kepada siapa saja yang lewat.Diluar stasiun aku disambut oleh hujan yang mengguyur deras, hal itu membuatku tidak bisa langsung menuju hostel tempat aku berencana untuk menginap. Terpaksa berteduh di sebuah kafe kecil dengan lampu remang-remang sambil menunggu hujan reda aku lalu memesan secangkir teh tarik seharga S$ 2 untuk menghangatkan tubuh dari angin dingin. Tidak lama kemudian hujan berhenti membuatku beranjak dari kafe menuju Arab St no.8 dengan hanya berjalan kaki. Jika keluar dari Stasiun Bugis diseberang jalan dapat ditemui restoran KFC dan Burger King, untuk mencapai Arab St. maka kita tidak perlu menyeberang jalan melainkan berbelok ke kanan melewati sebuah gereja lalu akan mendapati sebuah jalan kecil yang jarang dilewati mobil. Lokasinya dibelakang Sultan Mosquetepatnya di jalan Arab St. No 8 terdapat sebuah hostel bernama Shophouse Social Hostel. Bangunannya tidak telalu besar dengan 4 lantai dan Roof untuk bersantai bagi para tamunya. Aku disambut oleh 2 orang resepsionis yang kemudian mengantarkan aku ke lantai 4 dengan menggunakan tangga yang agak sempit. Menuju ke lantai 2 di sepanjang dinding bercat putih disamping anak tangga yang aku lalui ada board yang ditutupi karton hitam besar bergliter.Di karton itu ada banyak tanda tangan dari para turis yang pernah menginap di hostel tersebut, hingga kalimat-kalimat ‘hello from new zealand’, ‘bonnie was here’ dan seorang Indonesia yang menuliskan kata Dari Palembang Ke Singapore. Di ujung papan ada kumpulan spidol warna-warni untuk digunakan para tamu hostel yang ingin menggoreskan sepatah dua patah kata atau tanda tangan di papan sebagai pernyataan pernah berada di Singapore. Menuju lantai 3 hingga 4 dinding di samping tangga dibiarkan kosong. Pencahayaan di hostel ini cukup baik dengan lampu neon berpendar terangsementara lantainya ditutupi keramik berwarna putih. Untuk menginap di hostel ini minimum harga kamar permalam S$26 ditambah dengan deposit S$10 untuk jaminan kunci loker dan kita akan mendapatkan room dormitory berkapasitas 12 orang mix laki-laki dan perempuan. Maksimumnya seharga S$100 permalam untuk kamar private dengan double bed. Aku pilih kamar dormitory yang itu artinya aku sekamar dengan 12 orang tamu hostel yang lain baik laki-laki atau pun perempuan, pasti seru.Aku sendiri belum booking secara online mengingat untuk booking memerlukan fasilitas kartu kredit, padahal aku tidak punya kartu kredit. Kalau pun sudah booking aku merasa hal itu agak beresiko mengingat sebagai turis yang baru kali pertama berkunjung ke negeri orang pastilah belum familiar terhadap jalan menuju ke tempat menginap sehingga akan menyusahkan jika booking terlebih dahulu lalu tidak menemukan alamat hostel yang dituju.
Kamar dormitory memiliki ukuran sedang mungkin 4x6 m yang berisi 6 tempat tidur bertingkat yang hampir terisi penuh, setiap bed dilengkapi dengan selimut tebal. Kecuali sebuah bedbawah yang dipakai untuk aku tidur. Di bed atasku ada seorangpemuda berambut pirang dan berkulit pucat sedang tidur dengan suara mendengkur.Lampu kamar sendiri dimatikan hal ini karena mayoritas penghuni kamar juga sedang terlelap, tapi didinding masing-masing bed ada lampu tidur bagi yang tidak suka tidur dalam gelap juga terdapat wall socket untuk mengisi daya handphone dan atau laptop. Kamar di lengkapi pula dengan pendingin ruangan, dan ada sebuah jendela besar memberikan pemandangan jalan Arab st yang lenggang dan gelap malam itu. Karena kondisi tubuhku yang sudah lelah dan mengantuk akhirnya aku melemparkan tubuhku ke tempat tidur setelah tentu saja mengunci tas di dalam loker, dan tidak sampai lima menit kemudian aku tertidur.
Pagi hari di Singapore begitu hangat dan cerah dilengkapi dengan suara burung-burung jalak yang berterbangan dengan bebas. Aku yang begitu menikmati pagi yang indah ini segera mandi lalu merapikan diri. Tidak lama kemudian aku beranjak ke Roof yang terletak satu lantai di atas kamarku. Di Roof terdapat Breakfast Roomyang terletak tepat di samping kiri setelah menaiki tangga adalah ruang tempat para tamu mendapatkan sarapan gratis. Tersedia roti tawar dengan aneka selai, snack dan juga sereal bisa dinikmati bersama susu, semua makanan ini disediakan secara gratis. Aku tidak mau melewatkan kesempatan sarapan karena seharian penuh akan menjelajah Singapore. Di ruang breakfast aku bertemu dengan dua orang gadis yang juga adalah tamu hostel yang menginap. Mereka sedang berbincang ramai, seorang adalah perempuan berambut pirang dengan pipi berisi mungkin sedang mengunyah sereal. Perempuan ini menggerai rambutnya yang sebahu, dia memakai jeans dan tshirt berwarna kuning. Matanya yang bulat runcing berwarna hijau tampak berkedip-kedip saat mendapati sereal yang dikunyahnya keras hingga dia pun menuangkan sedikit susu untuk kedalam mangkuknya dengan maksud untuk membuat serealnya lunak. Seorang gadis yang lain tampak antusias mendengarkan cerita si mata hijau sambil memotong roti bakar berisi selai kacang. Gadis yang ini memiliki rambut hitam tergerai, bola matanya hitam. Aku pikir dia mungkin seorang Malaysia karena memiliki wajah tirus dan berkulit putih langsat, tapi melihat pakaiannya yang agak terbuka dengan model dress terusan dengan lengan bertali tampaknya agak janggal jika dia berasal dari negeri jiran yang biasanya menggunakan baju kurung.
“Hai good morning, where are you come from?(Hai selamat pagi dari mana kamu berasal?)”, sapa si gadis berambut hitam dengan tiba-tiba kepadaku. Aku tersenyum ramah lalu memperkenalkan diriku dan asal negara ku kepadanya. Tak disangka dia terkejut lalu menjelaskan bahwa dia juga berasal dari Indonesia tepatnya dari Padang. Aku pun tak kalah terkejut mendengarkan penjelasannya, rupanya tidak sulit bertemu dengan saudara sebangsa dan setanah air di Singapore. Kami bertiga lalu menghabiskan waktu dua puluh menit untuk sarapan bersama. Si perempuan asal Padang ini kemudian memperkenalkan namanya sebagai Sella dan dia di Singapore bekerja di sebuah restoran milik seorang lelaki gemuk asal India yang juga adalah kekasihnya. Dan si mata hijau memperkenalkan dirinya sebagai Jane, berasal dari Austria dan menginap di hostel untuk sekedar liburan. Jane sendiri mengatakan bahwa dirinya berprofesi sebagai politikus, sedang bingung dengan kampanye politiknya hingga membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
Selesai sarapan aku pun lalu berpamitan kepada Sella dan Jane untuk pergi ke SultanMosque sebagai tujuan wisata pertama ku di negeri mungil ini. Sultan Mosque itu sendiri terletak tidak jauh dari tempat ku menginap hanya dengan berjalan kaki sudah bisa menikmati keindahan bangunan mesjid yang konon terbesar di Singapore ini. Keluar dari pintu utama Sophouse Hostelberjalan ke kanan melewati kios penjual permadani hingga perempatan pertama belok kanan akan mendapati kafe yang menjual aneka makanan khas negara itu lalu menyeberang jalan ke kiri, akan dijumpai kafe yang menjual makanan khas Timur Tengah setelah itu terus jalan lurus saja maka dapat dijumpai Sultan Mosque yang megah dan berkubah keemasan dengan ruangan shalat yang sangat luas.
Sultan Mosque beralamat resmi di3 Muscat St. Singapore 198833adalah bagian dari kawasan Kampong Glam pusat kebudayaan Malay merupakan bangunan masjid berlantai dua dengan dinding berwarna putih gading memiliki ornamen bergradasi keemasandari tengah dinding atas hingga hampir mencapai langit-langitnya. Lantai satu adalah untuk jamaah laki-laki sementara lantai dua adalah untuk jamaah perempuan. Masjid ini memiliki dua menara kembar yang menjulang tinggi. Ruangan masjid tidak dilengkapi AC sebagai penyejuk udara melainkan menggunakan tiga buah kipas angin besar berwarna cokelat yang menggantung di langit-langitnya. Sultan Mosque itu sendiri juga merupakan lokasi wisata yang cukup diminati bukan hanya oleh wisatawan muslim tapi juga wisatawan beragama lain dari seluruh dunia. Terbukti saat kunjunganku ke sana ada banyak bule berfoto dengan latar belakang Sultan Mosque, dan wisatawan asal Tionghoa juga banyak yang terlihat mengambil foto masjid besar ini. Masjid yang dibangun tahun 1824 ini dikelilingi pohon pinang yang rindang, tiang-tiang-tiang masjid juga tampak gagah menopang masjid berukuran besar itu.
Tak jauh dari Sultan Mosque terdapat sebuah gereja katolik. Nama gereja itu adalah St. Joseph Churchterletak di sebelah kanan seberang jalan kawasan Stasiun Bugis yang kulewati saat pertama kali mencari jalan menuju ke hostel. Beralamat resmi di 143 Victoria St.Singapore 188020wisatawan yang ingin menikmati keindahan dan sejarah gereja tersebut bisa berjalan kaki dari Sultan Mosque. Gereja itu sendiri dibangun pada tahun 1851 terdiri dari tiga bangunan terpisah dimana jika kita tinjau dari gerbang masuk fungsi bangunan disebelah kiri merupakan ruang serba guna, ditengahnya yang merupakan bangunan terbesar dari ketiganya berfungsi untuk peribadatan atau misa para jamaahnya sementara di kanan adalah ruang kantor pengurus gereja. Ruangan misa sendiri cukup besar hingga mungkin lebih cocok kusebut aula. Didalam ruang misa ada deretan bangku untuk berdoa dimana di deretan tengah juga bisa dilihat beberapa orang yang sedang khusuk berdoa, ruangannya cukup besar dengan langit-langit yang tinggi. Ada patung bunda maria di sebelah pintu masuk, lilin-lilin kecil menyala dibawah kakinya. Didepan sekali ada sebuah mimbar dari kayu dan panggung lebar dengan hiasan bunga-bunga dan semak berdaun panjang mengelilinginya, dibelakang mimbar jika kita tengok ke atas ada patung Yesus Kristus berukuran besar tergantung didinding. Bersebelahan dengan gereja ada sekolah St.Joseph yang memiliki bangunan besar dengan dua tingkat.
Setelah puas berwisata dengan berjalan kaki aku lalu melangkah menuju stasiun Bugis untukmenuju Sentosa Island. Sebuah pulau resort yang dikelola khusus untuk wisata dimana terdapat Merlion raksasa, Universal Studios, dan juga pantai. Dengan tiket MRT seharga S$1.60 aku melaju ke Harbour Font untuk kemudian melangkah ke Level 3 Vivo City berharap bisa menggunakan Sentosa Express menuju ke pulau. Harbour Font itu sendiri tampaknya adalah sebuah pelabuhan yang cukup sibuk dengan kapal-kapal feri penumpang maupun kapal kargo barang ekspor impor. Namun untungnya kesibukan itu tidak mengganggu wisatawan yang bertujuan menyeberang ke Sentosa Island yang rupanya hanyalah sebuah pulau kecil yang terhubung dengan sebuah jalan jembatan sejauh kurang lebih 100 meter yang dapat dilalui train express, mobil maupun pejalan kaki. Dalam keterangan resmi Tourism Singaporedisebutkan bahwa untuk menuju Sentosa Island harus menggunakan Sentosa Express yaitu sebuah kereta gerbong tunggal otomatis yang mengantarkan wisatawan ke pulau dengan menyeberang laut yang untukku hanya terlihat sedikit lebih lebar dari Sungai Musi. Dan Sentosa Express dapat di temukan di Level 3 yang disebut Vivo City, sungguh keterangan resmi yang menyesatkan. Pasalnya aku benar-benar mengikuti papan petunjuk itu lalu menggunakan eskalator ke level 3Vivo City dan tidak ditemukan kereta ekspres disana. Memang tidak rugi berada di Vivo City karena aku disuguhkan pemandangan laut yang di seberangnya ada Sentosa Island yang bisa dilihat dengan mudah. Perahu-perahu besar untuk wisata terlihat di sepanjang laut yang memisahkan Harbour Font dengan pulau. Di sepanjang garis pantai yang berlantai batu hitam ada kursi dan meja berjajar di bawah pohon-pohon rindang yang meneduhkan milik beberapa rumah makan, ditambah dengan semilir angin laut suasana ini mirip dengan pantai Marina Ancol, yang membedakan hanya kebersihan laut di sini jauh lebih baik daripada di Ancol. Ada kolam-kolam besar berisi air tawar jernih yang dasarnya adalah pasir pantai putih tempat para pengunjung bisa merendam kaki karena kolam itu sendiri hanya sedalam betis kaki orang dewasa. Ada pula anak-anak yang terlihat asyik berenang di kolam-kolam itu, walaupun sudah ada tanda larangan berenang disana.
Karena bingung tidak tahu dimana stasiun kereta ekspres menuju Sentosa Islandakhirnya aku kembali turun dengan ekskalator ke level 1 dan ke luar melewati exit samping sebuah departement store. Hingga jelaslah terlihat jembatan penghubung ke pulau yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 15 menit saja. Sepanjang jalan di jembatan ini ada atap peneduh dan eskalator landai yang membantu wisatawan agar tidak lelah berjalan kaki. Ada juga pohon-pohon bakau dan jambu mete yang turut menyejukkan suasana, disamping kanan bisa dinikmati pemandangan laut biru yang airnya bersih tanpa sampah walaupun tidak jernih.
Kurang dari 15 menit aku menyusuri jembatan penghubung ke Sentosa Island hingga sampai ke Loket Tiket untuk membeli tiket masuk ke pulau ini yang seharga S$1. Berjalan masuk dari loket hanya beberapa meter dapat dijumpai sebuah air terjun buatan setinggi enam meter. Airnya tercurah deras dan sepanjang tebingnya ditutupi semak-semak yang tampaknya ditata agar terlihat indah. Dibawah airterjun ada kolam dengan ikan mas yang bersenda gurau diantara tanaman air yang tidak terlalu lebat. Sayang sekali air terjun ini hanya bisa dinikmati secara visual saja karena pengunjung tidak bisa berenang bahkan menyentuh airnya saja tidak bisa karena sepanjang kolam airterjun dibatasi pagar setinggi pinggang orang dewasa.  Berbelok ke kanan dari airterjun ada sungai buatan dengan airnya yang biru jernih jika ditelusuri ada jembatan dan di dekat jembatan itu ada air mancur menari yang digemari anak-anak yang suka bermain air. Disebelah kiri ada air terjun buatan berundak-undak dengan kolam yang dindingnya terbuat dari batu zedithberwarna biru. Konon jika pengunjung mencelupkan tangan atau kaki ke dalam kolam maka akan dapat merasakan energi positif dari dinding kolam, setidaknya itu keterangan yang bisa dibaca dari papan di pinggir kolam. Menyusuri tangga disepanjang air terjun berundak-undak itu pengunjung akan tiba di sebuah lapangan kecil di kelilingi uap yang memberi efek kabut tipis yang ditengahnya terdapat sebuah bola dunia besar berwarna biru yang berputar bertuliskan Universal Studios. Bola dunia ini sesungguhnya juga ikonik dan cukup dikenal wisatawan mancanegara, harga tiket masuk Universal StudiosS$74 untuk adult dan S$54 untuk children.
Universal StudiosSingapore beralamat di 8 Sentosa Gateway Singapore098269 di dalamnya terdapat banyak atraksi menarik yang sangat cocok untuk dinikmati oleh anak-anak maupun dewasa. Theme Park seluas 20 ha ini merupakan satu-satunya Universal Studios yang ada di Asia Tenggara selama hingga 30 tahun sejak dibukanya taman ini pada tanggal 18 Maret 2010. Ada banyak theme zone di Universal Studios tapi favoritku adalah Hollywoodyang mana membuat aku merasa seperti benar-benar ada di Hollywood Boulevard dengan arsitektur yang dinamis dan pohon palem di sepanjang jalannya. Di sini ada replika dari walk of fame yang terkenal itu, membuat aku merasa seperti seorang bintang saat melangkah diatasnya. Belum lagi penampilan khusus dari karakter Hollywood yang terkenal Marilyn Monroe yang berpakaian seksi, Po dari Kungfu Panda, Charlie Chaplin, Beetlejuice, Beety Boop hingga Frankenstein’s Monster dapat dijumpai disini. Selain Hollywood ada juga replika kota New York yang menampilkan landmark klasik kota itu dengan sinar gemerlap lampu-lampu. Zona ini juga menampilkan replika dari New York Public Library yang terkenal dengan dua patung singa menyambut di depan pintu masuk. Aku menjelajah replika kota ini dengan antusias hingga bertemu karakter spesial Sasame Street yang lucu-lucu yaitu Elmo, Ernie, dan Big Bird. Namun yang membuatku sangat excited berada di Universal Studios adalah roller coaster besar dengan 5 manuver yaitu cobra roll, corkscrews, vertical loop, dan a zero-g roll. Teriakan dan lengkingan langsung terlepas dari ku saat mencoba roller coaster yang disebut Battlestar Galactica:Cyclon ini. Semua penumpang wahana ini pucat pasi setelah menyelesaikan satu putaran, tentu saja aku tidak akan mencobanya lagi karena jantungku tidak mau berhenti berdegup kencang. Hanya beberapa meter dari Cyclon ada wahana yang membawa kita berputar kencang dalam cangkir teh besar yang bernama Accelator yang cocok untuk penakut seperti ku. Accelator ini mirip dengan wahana serupa di Dufan yang bernama Cangkir Putar yang membedakannya hanya warna cangkirnya yang oranye mencolok dan berputar selama 10 menit sementara di Dufan si cangkir berwarna pastel. Sebenarnya masih banyak lagi wahana serta zona di Universal Studios ini seperti The Lost World yang mengusung tema Jurassic Park, Ancient Egypt dengan replika film The Mummy yang menyeramkan itu, dan Far-Far Away dimana terdapat istana disney yang indah serta zonaMadagascar dengan komedi putarnya yang diisi karakter hewan dalam kartun Madagascar seperti Melman, Gloria, Alex, dan Marty yang sungguh lucu dan menggemaskan. Semua zona dan wahana tersebut aku jelajahi dalam waktu setengah hari dengan hati riang.
Puas menikmati Universal Studios aku lalu beranjak ke Merlion raksasa yang memiliki tinggi hingga 37 meter. Singapore sendiri memiliki lima Merlion yang berlokasi terpisah. Patung asli Merlion terletak di Merlion Park, Baby Merlion yang terdapat di belakang patung asli Merlion di Merlion Park, Merlion setinggi tiga meter masing-masing di Tourism Court dekat Grange Road dan di Mount Faber Point, serta Merlion di Sentosa Island. Namun Merlion di Sentosa Island ini jelas merupakan Merlion terbesar di Singapore jika dibandingkan dengan Merlion lain. Pengunjung dapat naik keatas Merlion ini menggunakan lift dengan harga tiket S$8 dan dari puncaknya aku dapat melihat sekeliling Sentosa Island yang menurutku tidak lebih luas dari Taman Impian Jaya Ancol. Malahan ketinggian Merlion ini sesungguhnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Monas yang menyuguhkan pemandangan seluruh kota Jakarta dari puncaknya. Jadi mencapai puncak Merlion rasanya tidak terlalu spektakuler, hanya harga tiketnya yang akhirnya membuat ini menjadi pengalaman yang mahal.
Tidak jauh dari Merlion pengunjung dapat menyusuri jalan setapak dengan air mancur menganak sungai yang dikelilingi pepohonan rimbun yang akan mengantarkan ke sebuah jalan besar menuju Pantai Palawan hanya sepuluh menit mengikuti trotoar menuju kesana. Pantai Palawan itu sendiri adalah sebuah pantai sepanjang 4 kilometer dengan pasir putih dan air yang tenang. Dipinggir pantai banyak berjejer pohon kelapa dan rerumputan, dibawah nyiur kelapa banyak turis bule berjemur sambil berbikini ria. Walaupun garis pantai ini tidak lebih panjang dibandingkan pantai Ancol tapi airnya bersih dari sampah bahkan bisa ditemui ganggang laut mengapung di airnya yang menandakan kondisi air disini cukup baik walaupun tidak jernih dan tidak ada ikan-ikan kecil. Sebuah pulau karang terdapat di pantai ini yang bisa disinggahi dengan menyusuri jembatan gantung yang cukup panjang. Di pulau karang ini ada menara pandang yang bisa didaki hingga pengunjung dapat menikmati pemandangan sekeliling pantai. Jangan kaget kalau dari menara ini bisa disaksikan Pulau Batam dari kejauhanyang tampak seperti bukit hijau besar di cakrawala, karena memang lokasi Singapore sendiri hanya berjarak satu jam menggunakan perahu ke Pulau Batam Indonesia. Kapal-kapal besar pengangkut barang ekspor impor juga bisa kita temui berlalu lalang di kejauhan. Pengalaman aku berenang di Pantai Palawan rasanya menyegarkan dengan airnya yang tidak terlalu bergaram sehingga di tubuhku tidak terasa terlalu lengket. Sensasi pasir pantai yang menggelitik kaki dan tubuh saat sedang berenang, dan ombaknya yang tenang dengan irama yang teratur sungguh menambah kesenangan. Perasaan senang ini tidak bisa di dapat jika dibandingkan dengan berenang di Pantai Ancol yang airnya keruh dan kotor.Berenang di pantai tentu saja harus menggunakan sun block dan jangan terlalu ke tengah laut adalah hal yang disarankan. Pasalnya matahari Singapore begitu terik sehingga jika tidak menggunakan tabir surya takutnya kulit akan kering terbakar, walaupun sesekali awan putih besar menyaput langit hingga memberi keteduhan. Berenang di pinggir pantai adalah untuk keamanan mengingat di tengah pantai ini cukup dalam dengan papan peringatan ada ubur-ubur besar yang bisa melintas setiap saat disana.
Selesai berenang dan membilas tubuh di bawah pancuran yang tersedia banyak disini, aku lalu singgah di sebuah rumah makan yang terletak masih dipinggir pantai. Tentu saja mencicipi seafood lokal menjadi idaman bagi perut yang sudah keroncongan. Pilihanku lobster bakar saus barbekyu yang menggoyang lidahku dengan rasa gurih nikmat dan juicy saat kugigit. Manis pedas sausnya benar-benar sedap bukan kepalang. Jika lidah terasa hangat karena paduan lada hitam dalam saus barbekyu sudah membuat wajah memerah langsung aku siram dengan segarnya es kelapa muda, sungguh kuliner yang wajib dicicipi bagi siapa saja yang singgah di pantai ini. Harga semua menu tadi adalah S$11 memang cukup mahal tapi sepadan dengan rasanya yang nikmat.Banyak turis jepang yang juga terlihat leyeh-leyeh di rumah makan ini, tampaknya mereka lebih menyukai jika seafood nya tidak di panggang dan bisa dimakan mentah sepeti sashimi tapi si koki terlihat geleng-gelang kepala kepada seorang jepang bertopi jerami, jelas ikan mentah bukan masakan yang normal bagi koki lokal.
Lepas perut kenyang aku pun menyusuri trotoar di sepanjang jalan di pinggir pantai berlalu meninggalkan beberapa turis Denmark berpakaian mencolok yang sedang ramai berfoto. Aku berjalan menuju cable car yang terletak jauh dari pantai Palawan dengan harapan bisa menyeberang pulau kembali ke pusat kota menggunakan cable car yang di Taman Mini biasa disebut kereta gantung. Tapi ditengah perjalanan aku tertarik dengan sebuah antrean panjang pengunjung yang bersemangat mencoba sebuah wahana menegangkan bernama Sentosa Luge and Sky Ride. Tidak pikir panjang aku akhirnya ikut mengantri di belakang seorang wisatawan asal negeri tirai bambu yang terlihat nyentrik dengan topi Mickey Mouse nya. Dengan tiket seharga S$9 untuk sekali jalan aku memilih skyride karena menurutku lebih seru dibandingkan Luge yang hanya serupa go cart yang melintas menuruni bukit kecil. Sky Rideakan membawa penumpangnya ke atas ketinggian 12 meter diatas tanah dengan kereta ski yang mirip seperti di film James Bond On Her Majesty's Secret Service.Dengan wahana ini aku dapat menikmati garis pantai dan panorama pulau dari ketinggian, menembus rimbunnya pepohonan dengan pemandangan gedung pencakar langit di cakrawala sungguh pengalaman yang tidak boleh dilewatkan. Bergerak selama lima belas menit untuk sekali jalan membuat perjalananku lebih hemat tenaga untuk mencapai wahana kereta gantung yang terdapat di sisi utara pulau.Rute sky ride berakhir di jalan masuk wahana Megazip, wahana serupaflyingfoxmemang menantang adrenalin namun kuabaikan saja karena matahari sudah tenggelam dan aku tidak ingin menghabiskan malamku di pulau ini. Untuk mengakhiri perjalanku di Sentosa Island kali ini aku memilih cable car menuju ke pusat kota Singapore. Terentang sejauh 150 meter di atas permukaan laut cable car menjadi pilihan yang lebih fantastik dibandingkan Sentosa Epress yang serupa dengan MRT dengan gerbong tunggal. Dengan membayar S$26 untuk dewasa dan S$15 untuk anak-anak aku dapat menikmati pemandangan 360 derajat bagian selatan Singapore. Hari sudah gelap saat itu tapi gemerlapnya lampu dari gedung pencakar langit serta bintang-bintang membuat segalanya tampak indah. Di ufuk timur terlihat bulan purnama menampakkan sinarnya yang terang menghias malam, pantulan sang rembulan ditangkap dengan cantik oleh lautan tenang di bawah kakiku. Malam rupanya tidak identik dengan dengan kegelapan jika berada di Singapore karena puluhan kembang api dari kejauhan menyentakkan para penumpang kereta gantung. Warna-warni kembang api sungguh merupakan pemandangan yang memukau. Semua kemeriahan itu masih ditambah lagi dengan pertunjukan ilusi air dan cahaya laser dari wahana Crane Dance yang jika dilihat dari atas awan tampak seperti burung phoenix raksasa yang bersinar. Diiringi musik dengan melodi gembira Crane Dance mempertontonkan pertunjukkan yang spektakuler, segalanya sempurna untuk menutup hari pertamaku disini.

No comments:

Post a Comment