Thursday, October 24, 2013

Singapore With Love eps.9


Di puncak Bukit
Lelah namun mendapat pengalaman seru yang tidak akan terlupakan itulah yang aku rasakan setelah seharian berjalan-jalan di Jurong Bird Park. Maka ketika aku sampai di Shophouse Hostel aku langsung melemparkan tubuhku di atas kasur yang empuk.  Malam nya aku langsung tidur nyenyak, beruntung pasangan suami istri pembuat onar Jeremiah dan Jane sudah tidak lagi menginap di kamar itu. Jeremiah semalam sudah dikeluarkan oleh manajer hotel, sementara Jane entah kemana dia hingga larut malam kuperhatikan belum kembali ke tempat tidurnya. Tapi jika melihat dari kopernya yang masih tergeletak di depan loker berarti Jane belumlah check out dari tempat ini. Sementara itu Thomas dan Pierre sedang merencanakan kegiatan untuk esok hari, Pierre melirikku yang sedang meringkuk dibalik selimut. Kelihatannya mereka punya rencana asyik besok dan hendak mengajakku ikut serta lagi.
Esok paginya cuaca di Singapore belum juga berubah masih diselimuti kabut putih hari ini bahkan kabutnya bertambah tebal. Anehnya entah kenapa aku merasa mataku jadi perih berair dan bau dari kabut ini membuat tenggorokkanku kering. Aku sekarang berada di kafe di belakang hostel, rasanya segelas air putih harus kuteguk banyak-banyak sebelum beraktivitas untuk membasahi tenggorokkan ku. Pierre tampaknya kasihan karena melihatku yang kadang-kadang batuk-batuk hingga disodorkannya kepadaku sepiring melon, agar bibirku tidak kering lagi.
“We are going to go to Bukit Timah , it’s a nature reserve, it has a beautifull view so we can do camping”, kata Thomas tiba-tiba dari balik meja makannya, sepiring nasi goreng kerang tergeletak didepannya. “But first we must buy a tents in and  food for our supply”.
Camping is fun but I don’t like camping, mosquito and bugs must be annoying (Kemping itu menyenangkan tapi aku tidak suka berkemah, nyamuk dan serangga pasti menggangu) ”, kataku pelan namun tampaknya Pierre enggan memahami alasanku. “And how about the weather this is not good “(dan bagaimana cuacanya tidak bagus)”.
Dia kemudian berbicara kepada Thomas dalam bahasa Perancis yang panjang dan cepat hingga tidak sama sekali bisa kutangkap dengan translater. Pada akhirnya mereka berdua hanya diam saja menatapku.
Namun setelah menyuap hingga 3 sendok nasi goreng Thomas berkata kepadaku, ”It has a lake we can do fishing and how about swimming, do you like swimming? (Tempat itu memiliki danau jadi kita bisa memancing dan bagaimana tentang berenang, apakah kamu suka berenang?)”.
Aku berpikir sejenak hampir saja aku memasukkan sepotong melon ke dalam mulutku sebelum akhirnya aku berkata,”Yes I like swimming, it’s my hobby swimming on natural pool (yah aku suka berenang itu hobi ku berenang di kolam alami)”.
So let’s we get there...I want you coming with me (jadi ayo kita kesana, aku ingin kamu ikut bersama kami)”.
“Oke then I hope we have a good time (baiklah aku harap kita akan bersenang-senang),” sahutku pelan.
Kedua sekawan itu tersenyum sambil menghabiskan makanan mereka dengan lahap. Sesekali kembali mengajakku berbicara soal tenda yang akan mereka beli hingga perbekalan yang harus dipersiapkan seperti buah-buahan. Aku menjadi antusias dengan acara berkemah ini, api unggun yang menyala pasti akan jadi romantis nantinya. Thomas dan Pierre juga membicarakan itu, karena cuaca yang berkabut menyalakan api unggun adalah opsi yang baik untuk penerangan. Maka berdasarkan perencanaan itu kami beranjak menuju Bugis untuk membeli perlatan berkemah. Memang mencarinya agak sulit karena di Bugis mayoritas pedagang menjual pakaian, makanan, sepatu dan souvenir. Tapi tempat ini sangat bagus untuk berbelanja dengan harga yang sangat murah walaupun dahulu dikenal sebagai pasar loak jalan Bugis. Sehingga walaupun sulit mencari peralatan berkemah diantara keramaian pedagang pakaian tapi untunglah Pierre bermata jeli sehingga dia menemukan toko peralatan berkemah di tengah-tengah toko-toko karpet. Dua buah tenda dia beli dengan warna berbeda, yang merah untukku dengan ukuran tendanya lebih kecil, sementara tenda yang kuning untuk dia dan Thomas. Tenda-tenda itu dimasukkan di dalam tas ransel besar yang mana juga dijejali dengan beberapa makanan kaleng seperti sarden dan kornet kaleng, juga air mineral dalam botol besar. Bugis sangatlah ramai banyak toko-toko berjajar disepanjang jalan menawarkan berbagai macam barang, para pembelipun tumpah ruah hingga ke badan jalan dan ke sudut-sudut daerahnya. Hal itu membuat kami berdesakan dengan banyak orang saat kami hendak membeli kebutuhan kami.
Hi I want to buy some apples, oranges and durian for our picnic, what do you think? (Hai aku ingin membeli beberapa apel, jeruk dan durian untuk acara piknik kita, bagaimana menurutmu?)”, tanyaku kepada Pierre saat kujumpai toko buah-buahan berjejalan di samping trotoar.
Pierre diam saja mendengar pertanyaanku, dia hanya tersenyum saat itulah aku baru ingat kalau dia hanya bisa bahasa Perancis. Untunglah Thomas membantuku dengan memasukkan buah-buahan tadi ke dalam keranjang belanja. Tapi ketika kusodorkan buah durian untuk di makan di bukit nanti Thomas langsung membelalakkan mata.
It smell’s bad I cannot stand, how about this yellow banana must be sweet (itu buah yang bau aku tidak tahan baunya, bagaimana dengan pisang kuning ini pasti manis)”, Kata Thomas sambil menawariku sesisir pisang yang akhirnya dimasukkan kedalam keranjang.
Selesai berbelanja di Bugis kami lalu menggunakan MRT menuju ke Bukit Timah. Hutan asli yang terletak ditengah kota ini menawarkan pengalaman seru berkemah dan menjelajah – dengan monyet, ular dan semua alam yang mengalunkan melodi jazz di malam hari – sehingga membuat kami tidak sabar untuk sampai disana. Di dunia ini hanya dua kota yang masih memiliki hutan tropis di tengahnya yaitu Rio De janero dan satunya lagi Singapore dengan Bukit Timah nya ini, sungguh fakta yang fantastik. Hanya sepuluh menit menggunakan bus dari Clementi MRT Station kami sudah bisa langsung masuk ke hutan.
Di Kantor Pusat Pengunjung yang terletak di pintu masuk hutan ini kami memperhatikan peta hutan sekaligus merencanakan pendakian kami. Hijaunya pepohonan dan suara burung-burung membuat segalanya sempurna. Kabut yang tebal dan berbau aneh itu disini tidak terlalu menggangu karena rapatnya pepohonan membuat udara lebih bersih. Kami mengikuti jalur kuning yang dimulai dari mengikuti jalan lalu menerobos semak belukar. Tidak lama kemudian sebuah jalan setapak terbentang di depan kami, kiri kanannya pohon-pohon besar berjajar merapat meneduhkan perjalanan kami. Kami terus masuk ke dalam hutan yang gelap dan tertutup kabut, mencoba mencari tempat yang bagus untuk mendirikan tenda. Jalan setapak itu kemudian hilang hanya ada semak-semak diantara pepohonan sekarang namun kami terus berjalan hingga tanahnya menanjak terus ke atas. Bukit Timah Nature Reserve sendiri memiliki luas 3.043 hektar itulah sebabnya jika tidak berhati-hati berjalan di hutan ini bisa tersesat.
Watch out to for the trees ! (awas ada pohon didepanmu)”, seru Thomas kepadaku yang sedang mengagumi langit-langit hutan ini yang ditutupi daun-daun dan burung berterbangan.
Hampir saja aku menabrak sebatang pohon di depanku, maka aku bergeser melewatinya. Pierre tertawa cekikikan di belakangku, wajahku menjadi merah padam menahan malu. Tapi kami tetap mendaki sampai ke atas walaupun dengan susah payah karena curamnya bukit ini. Hawa dingin perlahan mulai menyergap, suasana bukit yang muram membuat segalanya tampak menyeramkan. Tanah yang kupijak agak licin apalagi ditambah kerikil yang tidak terlihat karena tertutup kabut, membuatku terpeleset beberapa kali. Napasku terengah-engah manakala kupanjat bukit curam ini.
Jam tanganku menunjukkan sudah pukul dua belas dan hingga saat itu belum juga kami sampai di puncak bukit. Akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tengah hutan yang – untunglah kami menemukan tanah landai di antara tanjakan yang curam – penuh dengan semak bunga-bunga wedelia. Peirre mengambil pisau lipat untuk memangkas semak-semak itu hingga tidak lama kemudian tanah lapang membentang seluas 5 meter, cukup untuk mendirikan tenda dan sebuah api unggun di tengahnya. Sementara aku menyiapkan tikar dan makanan Thomas mengumpulkan ranting-ranting untuk dibakar, dan Pierre sibuk mendirikan tenda – dia terbalik menaruh bagian atas tenda dengan bagian bawahnya, membuat ku gelang-gelang kepala, sampai kemudian Thomas membetulkan tendanya.
Tidak lama kemudian perkemahan kami siap dengan api unggun menyala besar di tengahnya mengingat Thomas menempatkan sebatang besar pokok pohon sebagai bahan bakarnya. Kabut tetap menghalangi pandangan kami, tapi itu tidak membuat aku berhenti memasak tiga kaleng sarden yang di taruh begitu saja ditengah api unggun agar cepat matang.
So what do you do Thomas? (Jadi apa pekerjaanmu Thomas?)”, tanyaku sambil mengawasi sarden kalengan yang sedang kumasak.
I’m a engineer same like Pierre, we created robot for built building and bridge (Aku insinyur sama seperti Pierre, kami menciptakan robot untuk membangun gedung dan jembatan)”, jawab Thomas yang sedang bersandar di pohon dibelakangnya.
What robot? A cute robot? ( robot apa? robot yang imut?)”, tanyaku penasaran.
Not cute for girls but giant robot (tidak imut untuk gadis-gadis tapi robot ukuran raksasa)”.
Uhuuk...uhuukk”, tiba-tiba Pierre terbatuk-batuk tampaknya kombinasi asap api unggun dan kabut tebal membuat tenggorokannya gatal.
Untung kami telah membeli kopi kaleng dingin untuk kami nikmati di perkemahan ini. Sehingga Pierre langsung kuberi satu kemudian di teguk dengan cepat untuk menyiram tenggorokkannya yang kering itu.
“ I live in Toulose a small city in France. This is not our first time travelling around the world (Aku tinggal di Toulose sebuah kota kecil di Perancis. Ini bukan kali pertama kami berjalan-jalan ke luar negeri)”, kata Thomas lagi kepadaku yang sedang menepuk punggung Pierre untuk meredakan sedikit batuknya.
Aku menoleh kepada Thomas dan berkata ,” you must be a lucky man can travelling arround the world everytime you want (kamu pasti seorang yang beruntung karena bisa keliling dunia setiap kali kamu menginginkannya)”.
Not everytime, only on summer (tidak setiap hari, hanya di musim panas)”.
Kuah sarden yang kental dalam kaleng sudah meletup-letup, aku mencari pencapit agar bisa kuangkat kaleng sarden itu dari bara api unggun. Tapi sayang tidak kutemukan alat itu dimanapun. Hingga Pierre menggunakan batang kayu bercabang dua untuk menjepit kaleng itu lalu memindahkannya dari atas api.
Avez-vous faim? (apa kamu lapar?)”, tanya Pierre sambil menyodorkan sekaleng sarden yang telah matang kepadaku.
Oui...mais j'ai attendu jusqu'à ce que le froid alimentaire (ya..tapi aku menunggu makanannya dingin dulu)”, jawabku setelah melihat asap mengepul dari kaleng sarden itu, tampaknya panas.
Donc depuis quand n'avez vous aimez voyager? (jadi sejak kapan kamu suka berwisata?)”.
“La première fois Je suis hors du pays (ini pertama kali aku luar negeri)”, jawabku sambil menghirup dalam-dalam aroma sarden yang harum dan menggugah selera. “Mais en Indonésie Je suis allé à la plage et les montagnes. Beaucoup d'endroits que j'ai visité dans mon pays. Jusqu'à ce que, à l'angle(tapi di Indonesia aku sudah ke gunung dan pantai. Banyak tempat yang sudah aku kunjungi di negaraku. Sampai ke pelosok)”.
Suara derak kayu yang dijilati api terdengar jelas oleh kami, hal itu karena kesunyian disekitar kami benar-benar menusuk hati. Padahal di kaki bukit tadi banyak sekali burung bulbul berkicau, tapi entah kenapa di atas sini tidak ada seekor binatangpun yang tampak apalagi burung yang berterbangan.
Je voudrais vous demander un jour d'aller à eiffel (aku ingin sekali mengajak kamu ke Eiffel suatu hari nanti)”.
“Oh..aku akan sangat senang sekali! Je veux le voir dans toute ma vie ( aku selalu ingin melihat menara Eifel dalam seumur hidupku)”, kataku antusias.
Pierre tersenyum mendengar kata-kataku, Thomas yang berada di sampingnya mengerling lalu menyambar kaleng sarden yang tadi sudah diangkat dan langsung menelan isinya. Sungguh sial bagiku karena aku telah menunggu sarden itu dingin. Aku merengut, Thomas dengan asyik tetap saja mengunyah tanpa merasa bersalah sama sekali.
“ Ihh...you aremeany ( iiih...kamu jahat)”, celetuk aku sambil menepuk lengan Thomas. Yang ditepuk nyengir kemudian mengangkat sekaleng sarden lain dari dalam api unggun lalu menyodorkannya kepadaku. “ This is still hot (ini masih panas)”, kataku enggan memakan sarden kalengan yang diberikan Thomas.
Ne vous inquiétez pas, il sera froid plus tard (jangan kuatir, nanti juga dingin)”, bisik Pierre di telingaku. Dia lalu menggenggam tanganku lalu menggodaku supaya aku tidak merengut lagi. “Chaque fois que j'ai fait un rêve, je prie un jour, vous pouvez m'aimer(Setiap kali aku bermimpi, aku berdoa suatu saat kamu bisa cinta kepadaku).
Thomas tertawa geli kemudian dia berkata ,” aaah...roman dime heheh (aaaah...roman picisan hehe)”.
Aku tersipu malu, tapi Pierre tidak juga berhenti menggodaku. Dia menggelitik pipiku dan merangkul aku dalam dekapannya sambil berkata, “quels sont vos hobbies?pour que vous sachiezJ'aime jouer au football (apa hobi kamu? Untuk kamu tahu aku suka bermain sepakbola)”.
Aku berpikir sejenak lalu aku mengingat satu hal yang aku suka ,” bien J'aime peindre paysages peints principalement (aku suka melukis terutama melukis pemandangan)”.
Bon passe-temps (hobi yang bagus)”, Thomas menyela pembicaraan aku dan Pierre.
Pierre mematut daguku dengan buku jarinya kemudian berkata,”l'étoile brillante aussi brillant que mon cœur toujours représenté ma bien aimée Dans chaque rêve, je chanterai toujours(Bintang benderang secerah hatiku yang selalu terbayang kekasihku sayang di setiap mimpiaku akan selalu berdendang)”.
Usai bersantap siang dengan sarden kalengan dan potongan daging sapi yang dibakar kami lalu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak bukit. Namun karena tenda kami sudah berdiri yang artinya tidak bisa kami tinggalkan begitu saja, maka Thomas akhirnya mengalah menjaga tenda sementara aku dan Pierre naik ke atas bukit sebelum gelap.
Ne vous inquiétez pas, Je me rattraperai demain (jangan kuatir aku akan menyusul besok)”, kata Thomas saat melihat kami bersiap mendaki.
Pierre menimpali perkataan kawannya itu,“peut-être que vous serez là demain, parce que nous n'allons pas rester là ce soir(mungkin kamu akan berada disana besok, karena kami tidak akan bermalam disana malam ini)”.
Oui.. il peut aussi (ya...itu boleh juga)”.
Setelah memastikan kami membawa air minum dan roti akhirnya aku dan Pierre mulai mendaki bukit kembali.
Je suis content que vous comprendrea (aku senang kamu pengertian)”, ujar Pierre sebelum meninggalkan perkemahan.
Awalnya kami menyibak tanaman liar, terus berjalan sesekali berpegangan pada batang pohon trembesi.Napas kami terengah-engah sungguh suatu perjalanan yang berat. Ditengah perjalanan kami menjumpai fairy bluebirdmerupakan burung cantik berwarna biru yang merupakan satwa liar di cagar alam ini. Pierre yang merupakan pecinta burung langsung mengabadikan sosok burung ini dengan kamera. Tidak lama kemudian setelah melewati sebuah batang pohon yangtumbang kami berjumpa dengan flying lemur yang lucu. Binatang ini mirip musang berwarna cokelat kelam berbulu halus namun memiliki selaput lebar dan menyambung di keempat kakinya membuatnya dapat meluncur dari dahan ke dahan seolah terbang. Tingkah laku flying lemur ini membuat aku dan Pierre terkejut melihatnya.
Bukan hal yang mengherankan jika di hutan ini kami menjumpai banyak hewan hal ini mengingat Bukit Timah Nature Reserve diberkati dengan keanekaragaman hayati berupa 840 tanaman berbunga hingga 500 spesies hewan, dan sampai saat ini jumlah spesies baru yang ditemukan di hutan ini terus bertambah. Memang luas hutan hujan tropis di negeri singa ini jauh lebih kecil daripada jumlah dan luas hutan yang dimiliki oleh negeriku Indonesia, tapi jika mengingat upaya pelestarian sungguh Singapore sangat menjaga hutan satu-satunya  yang mereka miliki ini. Tentu hal ini kontras dengan Indonesia yang terus saja membabat hutannya hingga banyak yang gundul, sungguh ironis.
Terus mendaki bukit menembus rerimbunan pohon membuat kami kelelahan. Akhirnya kami sampai ke sebuah sungai kecil dengan air yang dangkal mengalir pelan. Di sungai itu aku melihat beberapa ekor ikan mas berenang dengan riang. Kami akhirnya menyeberangisungai itu dengan hati-hati.
Me tenir la main,nous devons aller de l'autre côté (pegang tangan aku, kita harus sampai keseberang)”, kata Pierre sambil menuntun tanganku menuju ke seberang sungai.
Walaupun kami sudah pelan-pelan tapi percuma saja karena air membuat gerakan kami sulit sehingga aku terjatuh kedalamnya dan tubuhku basah kuyup. Untunglah ada batang pohon macaranga yang mengapung di sungai, Pierre mengambilnya dan menjadikannya tumpuan bagiku agar aku tidak lagi terjatuh. Kakiku yang basah mulai membuatku kedinginan, Pierre menyadari hal ini saat aku bersin-bersin.
Allons courir plus vite afin que vous n'êtes pas exposé à l'hypothermie(ayo jalannya lebih cepat supaya kamu tidak terkena hipotermia)”. kata Pierre sambil mempercepat langkahnya.
Aku terus mengikuti Pierre hingga akhirnya sampailah kami diseberang, sebentar beristirahat dan minum dibawah pohon macaranga yang daunnya berbentuk hati itu baru kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi. Menerobos serumpunan rotan dengan susah payah, hingga akhirnya tibalah kami ke dataran yang dipenuhi cahaya matahari dengan rumput hijau tumbuh pendek dibawahnya. Sepuluh langkah setelahnya kami tiba di puncak bukit, tepatnya diatas sebuah tebing curam dimana jurang menganga di bawah kami begitu kami sampai diujungnya. Aku teringat Kenshi yang mengatakan kalau Singapore tidak punya tebing dan bukit saat malam pertama aku bertemu dengannya, ternyata dia salah. Memang negara ini tidak punya gunung, tapi kalau bukit Singapore rupanya punya satu.
Aku menapakkan kakiku di tanah berumput pendek dan langsung terduduk. Napasku terengah-engah kelehan karena mendaki bukit yang merupakan titik tertinggi di Singapore ini. Kupandang sekelilingku ada pohon fig yang buahnya ungu dan ranum. Kemudian menjulang tinggi pohon albazia besar dengan daunnya yang hijau dan rindang. Pohon pepaya serta  pisang juga menancap disini seolah memagari puncak bukit. Semak-semak dibawahnya adalah pakis gajah dan lili hitam membuat tanah cokelat yang gembur tertutup semua. Beberapa langkah dariku kulihat Pierre membelakangiku, dia terdiam saat melihat pemandangan dari puncak bukit ini.
Avez-vousun repos ? il ya quelque choseàvousmontrer, quelque chose de beau (apakah kamu sudah beristirahat ? ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu. Sesuatu yang indah) , kata Pierre menoleh kepadaku sambil menunjuk pemandangan dibawah tebing didekat kakinya.
Pierre, J'étaistrès soif (aku sangat haus Pierre) , kataku sambil menyeka peluh yang bercucuran.
J'ai apportédes boîtes de cafédansle sac à dos.prendreprès de chez vous (aku membawa kopi kaleng dalam ransel ambil saja didekatmu) .
Aku menarik ransel Pierre yang tergeletak di tanah, setelah kubuka segera sekaleng kopi menyembul dari dalamnya. Kuteguk kopi itu dengan nikmatnya, ternyata dingin. Seketika itu juga dahagaku hilang berganti kesejukan yang manis dari kopi kaleng. Setelah itu kuatur napasku dengan menghirup udara disini yang begitu jernih dan bersih, karena letaknya yang setinggi 538 kaki maka puncak Bukit Timah ini tidak tertutup kabut membuat udara terasa sejuk. Kakiku yang sedari tadi terasa pegal sudah lebih baik setelah beristirahat beberapa menit. Kuberanikan berdiri lalu melangkah mendekati Pierre, seketika itu juga terhampar pemandangan indah yang tertangkap dipelupuk mataku.Aku dapat melihat seluruh negara Singapore dari atas sini. Bukan karena bukit ini begitu tingginya – karena jika dibandingkan dengan Gunung Salak di halaman belakang Jakarta sesungguhnya ketinggian Bukit Timah tidak ada apa-apanya – melainkan karena negara ini begitu kecilnya.
Voir qu'il yaMarina Bay avec Marina Sand Bay pour décorer (lihat itu Teluk Marina yang disana dengan Marina Sand Bay sebagai penghias) , kata Pierre sambil menunjuk suatu titik biru di kejauhan. Età l'horizon estvotre pays (dan yang di horizon adalah negaramu)’’.
Aku terpesona dengan segala pemandangan yang kulihat dari atas bukit. Tepat dibawah kami sebuah telaga berwarna biru bak permata lalu hutannya seperti bentangan permadani hijau. Dikaki langit Singapore ada puluhan gedung yang menjulang tinggi bagai menara-menara dikejauhan, dengan deretan rumah-rumah beratap merah yang kelihatan kecil tersembul dari tebalnya kabut yang mengelilinginya. Lebih jauh lagi ada lautan biru dengan kapal-kapal yang tampak kecil dari tempat kuberpijak mengapung membawa barang dan penumpangnya. Sementara itu di cakrawala terhalang pulau hijau permai yang merupakan milik negeri dengan julukan zamrud khatulistiwa, Indonesia.
Pierre memggenggam tanganku sambil berkata, etlevoyage a étéune zonede l'espace profond, comme l'incarnation dela compréhensiondela beauté à traversla compassionet l'amourpour la beauté de (dan perjalanan itu seluas angkasa tanpa batas, sebagai pemahaman keindahan perwujudan melalui rasa kasih dan cinta kepada keindahan tersebut :Kahlil Gibran)’’.
Aku terpaku lama memandangi bentangan alam tepat dibawah kakiku. Suara burung blackthroat bersiul-siul di atas pohon albazia dengan tidak jemu-jemu. Angin lembah yang sejuk berhembus dari bawah kami, membuat kering peluhku dan membawa pergi kelelahan tubuhku. Hembusan angin itu lalu membuat pepohonan disekitar kami bergoyang bergemerisik menciptakan melodi alam yang indah.
Voulez-vous devenir mon amie?(apakah kau mau menjadi kekasihku?)”, tanya Pierre ditengah-tengah melodi alam yang indah itu.
Aku terpaku tidak tahu harus berkata apa, wajahku memerah tersipu malu. Dengan perlahan aku lalu menjawab,” Oui Pierre...Oui je fais(ya Pierre...aku bersedia jadi kekasihmu)”.
Pierre lalu melangkah kearah semak-semak bunga mawar dibelakang kami, dipetiknya setangkai mawar merah. Kemudian dia menuju pohon fig yang rimbun, dipetiknya beberapa buah fig yang sudah masak, ungu dan empuk. Lalu dengan susah payah dia juga memetik pepaya kuning yang tinggi menggantung dipohonnya, sayang sekali pohon pisang batu dipojok sedang tidak berbuah hingga Pierre tidak membawakan aku pisang batu yang sepat manis. Dibelahnya pepaya dan fig dengan pisau lipat, segera daging buahnya yang harum membuat kami meneteskan air liur. Kususul dia kebelakang, segera kami duduk berdua dengan hanya beralaskan rerumputan hijau menikmati buah-buahan liar itu. Rasanya sungguh manis dan berair, begitu sedap hingga menghilangkan dahaga dan membuat mataku terpejam. Sementara itu disematkannya bunga mawar merah liar yang dipetiknya di telingaku.
Tidak lama kemudian beberapa ekor macaca berloncatan mendekati kami. Mereka yang tadinya bergelayutan di atas dahan pohon shorea tampaknya mengetahui bahwa kami sedang mengadakan pesta buah-buahan yang memang merupakan makanan kesukaan monyet-monyet berbulu keabuan ini. Piere melemparkan beberapa buah fig ke arah mereka berharap mereka segera pergi.Lalu monyet-monyet itu memungutnya dan tidak lama kemudian ikut asyik memakan buah fig yang dagingnya berwarna ungu dan berbulir halus sedikit mirip bulir jeruk bali. Setelah makanan habis macaca akhirnya pergi begitu juga dengan kami. Karena matahari di cakrawala sudah ingin tenggelam, semburat jingga warnanya membuat kami bergegas menuruni bukit sebelum gelap.
Tidak terasa hari sudah senja sinar matahari yang tadi cerah perlahan memudar menyisakan gelap yang menyusup ke dalam hutan tempat kami berkemah. Thomas menambah kayu bakar agar api unggun tetap menyala dan menyinari kami. Tendaku yang berwarna merah kini terasa sebagai tempat hangat dan nyaman untukku yang baru saja menuruni bukit dengan susah payah bersama Pierre. Kabut masih saja menutupi hutan ini, tapi untunglah suasana hutan yang tadinya sunyi perlahan berubah sedikit ceria dengan adanya suara jangkrik dan sesekali suara burung hantu.
Commentl'ascension? (bagaimana pendakiannya ?), tanya Thomas kepadaku yang sedang terbaring di dalam tenda.
Amusant, maisépuisante (asyik tapi melelahkan)’’.
Pierre lalu melanjutkan pembicaraan sambil melemparkan beberapa buah fig kepada Thomas, ceque j'ai apprisde lacolline,  il ya encore beaucoupdessus. Demainvous allezy arriver, non?(ini aku petik dari puncak bukit, masih banyak diatas sana. Besok kamu akan kesana kan ?).
Oui, je vais y allerdemainsi la météos'améliore (ya aku akan kesana kalau cuaca lebih baik)’’.
Que voulez-vousdire?, c'était soleilsi brillantlà-haut (apa maksudmu ? itu matahari di atas sana sangat cerah)’’.
Thomas membentangkan tangannya sambil berkata, nevoyez-vous pasce brouillards'aggrave? (tidakkah kamu lihat kabut ini semakin buruk ?)’’.
Aku yang sedang berbaring terpejam di dalam tenda hanya dapat terdiam mendengarkan percakapan mereka, tapi tentu saja kalau dipikir-pikir memang benar adanya apa yang dikatakan Thomas. Kabut di negara ini semakin buruk saja selama dua hari terakhir, membuatku kuatir dan bertanya-tanya. Apakah ini sebuah fenomena cuaca atau suatu pertanda yang buruk sedang melanda negara ini.
Ne pasdéranger,ce matinj'aientendu aux nouvellesà la télévision le brouillardest toujours un mystère. Cause est inconnue, doit êtrebientôt disparaître (jangan dipusingkan, tadi pagi aku dengar di televisi kabut ini masih misteri. Belum diketahui apa penyebabnya, pasti akan segera hilang), ujar Pierre sambil menepuk bahu Thomas, suaranya terdengar ragu-ragu.
J'espère bien (aku harap juga begitu)’’.
Kemudian suara dentang kaleng terdengar beberapa kali, rupanya mereka sedang pesta bir kalengan. Tidak lama tercium wangi daging bakar dari arah perapian. Jagung ditusuk dan dibakar, ketika jagungnya matang mereka lalu membangunkanku dan mengundangku makan malam.
Veulent unépicés ousalés?’’ (mau yang pedas atau yang gurih ?)’’ tanya Pierre kepadaku, disodorkannya jagung bakar yang harumnya mengundang selera itu.
Eerr…épicée? (eerr…yang pedas ?).
Seketika itu juga Pierre melumuri jagung bakarku dengan saus botolan, sungguh tindakan yang ceroboh. Sekarang jagung itu berlumuran saus sehingga terlihat merah dan agak menjijikkan. Seharusnya tadi kuminta jagung yang gurih saja.
He is a talented chef, am I right ? (dia koki yang berbakat bukan ?)’’, kata Tomas sambil tertawa geli.
Karena lapar kulahap saja jagung volcano yang diberikan Pierre kepadaku.
Sial pedasnya !’’, teriakku memecahkan keheningan dihutan ini.
Kami bertiga lalu menyantap makan malam dengan riang gembira. Hawa dingin hutan yang gelap menyergap kami saat itu, untunglah api unggun yang besar sedikit memberikan kehangatan dan juga cahaya terang. Disekelilingku menggantung akar-akar liana yang besar hingga kusangka ular yang sedang merayap. Pohon palem tegak berdiri di belakang Pierre, kunang-kunang mengitari batangnya hingga menciptakan efek cahaya kecil-kecil yang berputar dan melayang. Suara burung hantu bertalu-talu setidaknya puluhan kali, tampaknya si penguasa malam itu sedang bertengger dicabang pohon meranti merah yang tinggi menjulang di seberang perkemahan kami. Paduan suara burung hantu dan jangkrik membuat suasana suram di hutan ini menjadi lebih ceria, setidaknya lebih baik daripada sunyi sama sekali.
            Tiba-tiba tiga ekor kodok melompat didepan kami, mereka sempat bernyanyi lagu malam sebelum akhirnya menghilang di balik batu. Kutengadahkan kepalaku, di atas kami langit terlihat sungguh jernih, bintang-bintang bertaburan bagaikan bubuk berlian putih. Diufuk barat bulan sabit menggelayut manja menggoda kami dengan cahayanya yang kuning keemasan. Aku bisa melihat bintang kejora yang gemerlap sekarang yang konon sebenarnya adalah penampakan planet venus.
            Aprèsplus tard,nous sommes rentrésdans nos pays respectifs.sinous nous reverrons (Setelah nanti kita kembali ke negara masing-masing, apakah kita akan bertemu lagi ?)’’, tiba-tiba Pierre bertanya kepadaku, dia menatapku lekat-lekat saat itu hingga aku terjerumus masuk ke dalam bola matanya yang biru.
            Oh.. Pierre Je ne veuxpas parler del'éclatement(oh Pierre..aku tidak ingin membahas soal perpisahan)’’.
            pasadieu..(bukan perpisahan)’’, Pierre menghela napasnya sebelum melanjutkan kata-katanya kembali. ‘’maisquant à l'avenir (tapi soal masa depan)’’.
            L'avenirest un mystère, mais je suis sûrque nous nous reverrons. Peut-êtredansJakarta? (masa depan adalah misteri, tapi aku yakin kita akan bertemu lagi. Mungkin di Jakarta)’’.
Thomas tiba-tiba menyela pembicaraan kami,ahh…we have no plan to go to Jakarta until the next one year. Too bad.. (ahh kami tidak ada rencana sampai dengan tahun depan. Sayang sekali)’’.
Yes too bad, I’m gonna miss you guys (ya sayang sekali, aku akan merindukan kalian kawan-kawan)’’.
Lalu Pierre yang tadi sempat menoleh kearah Thomas kembali menatapku sambil berkata,mais sije vous laisse aller Je ne saurai jamais quelle est mavie serait. Je tiens àvous tenirprès de moi (tapi jika aku membiarkan kamu pergi aku tidak akan pernah tahu hidupku akan seperti apa. Aku ingin memelukmu dekat denganku)’’.
Aku terdiam sesaat, memang rasanya sulit untuk berjumpa lagi dengannya kalau aku sudah kembali pulang ke Jakarta. Tapi lalu harus bagaimana ? Apalagi Perancis adalah negeri yang terletak nun jauh disana. Negeri Eropa yang dingin dan jauh, entah kapan kubawa kakiku berpijak disana.
Vous parlezde mon cœur, c'est pourquoi jetrouve qu'il est difficiled'être loin devous (kamu berbicara ke dalam hatiku, itu sebabnya aku susah berada jauh darimu)’’, kata Pierre lagi.
Aku merenungkan jalan yang akan membawaku pergi dan menjauh dari Pierre, pasti akan berat nanti. Tapi kusingkirkan segala kegalauan hati itu, dan kuhela napasku panjang-panjang sambil memberikan secarik kertas yang berisi e-mail dan alamat rumahku kepadanyaVous pouvez m'appeler. ou envoyez-moiune-mail et la lettre. Nousresterons ensemble (kamu bisa menelponku atau kirimi aku e-mail dan surat. Kita akan selalu bersama)’’.
Oui, c'estune vie moderne, d'un frère. Ne vous inquiétez pas (Ya, ini adalah kehidupan modern, bro. Jangan kuatir)’’, celetuk Thomas tiba-tiba, sekerat daging panggang kemudian dia masukkan ke dalam mulut.
Desau angin bertiup disekitar kami, Thomas merapatkan jaketnya yang berwarna hitam itu. Pierre mencoba mengacak-acak api unggun dengan memindahkan sebatang kecil ranting di dalam apinya. Lalu dia menyimpan kertas yang kuberikan kepadanya, kemudian meminta nomer teleponku.
Setelah beberapa lama berpikir akhirnya Pierre kembali berkata kepadaku,’’ok, à condition que nousserons toujours ensemble (baiklah asalkan kita akan selalu bersama)’’.
 Ouaisc'est sûr. Je vous promets (iya pasti, aku berjanji kepadamu)’’.
Malam yang dingin dan muram di Bukit Timah kami habiskan dengan berbincang-bincang tentang apa saja. Mengenai rencana berlibur mereka ke Pulau Langkawi di Malaysia yang mereka sebut sebagai pulau yang eksotis. Kemudian soal mengapa mereka enggan berlibur ke Jakarta dalam waktu dekat, rupanya kemacetan yang mengular di ibu kota Indonesia itu telah terkenal sampai ke Perancis hingga membuat kedua orang ini tidak berniat berlibur kesana. Thomas juga bercerita soal keluarganya, dia tiga bersaudara dan merupakan anak bungsu, menjelaskan sifatnya yang manja dan konyol itu. Aku sendiri sedikit saja menceritakan soal negeriku yang gemah ripah loh jinawi itu, supaya mereka tidak berpikir sempit hanya karena Jakarta macet tidak terkira. Pierre sebaliknya enggan sekali bercerita soal keluarganya, dia hanya bercerita soal petualangannya sebelumnya di Australia, tanah gurun yang gersang dengan kangguru berlompatan dan koala bergelayut manja dipohon eucalyptus.Di atas kami langit semakin membuka pintunya, awan tipis yang melayang disana tersibak angin hingga menghilang. Ribuan bintang gemerlap bersinar dengan nebula yang terlihat seperti cahaya keunguan dari permukaan bumi menampakkan dirinya. Bulan sabit kini telah bergulir dari ufuk barat ke atas kepala kami. Sinarnya kuning terang membuat siapapun bertanya-tanya apakah ada negeri dongeng disana, negeri dengan para peri berterbangan dan para liliput bernyanyi riang. Tidak disangka dari arah barat kami melihat bintang jatuh berwarna merah, bintang itu bergulir pelan menuju ke arah selatan.
Make a wish Pierre....(buat permohonan Pierre)”, kataku kepada kekasihku yang juga menyadari kehadiran bintang jatuh itu, bahkan Thomas menunjuk ke arah langit mengisyaratkan kalau dia juga melihatnya.
“Me faire confiance même dans l'obscurité de la nuit, vous n'êtes pas seul. parce que de toutes les étoiles que je laisse vous accompagner jusqu'au bout de la nuit (percayalah padaku walaupun di gelap malam kamu tidak sendirian. Karena semua bintang yang kutinggalkan temani kamu sampai akhir malam)”, kata Pierre kepadaku memecahkan kesunyian
“Aku ingin sekali percaya kepadamu kalau aku bisa”, jawabku dengan bahasa ibuku.
*******
Pagi di Bukit Timah begitu ceria dengan mataharinya yang bersinar terang mengintip dari celah-celah pohon dan rerimbunan daunnya. Tapi sayang seperti dugaan Thomas semalam kalau hari ini kabut belum juga hilang. Di pucuk pohon meranti merah di seberang kami burung bulbul berbunyi bersiul-siul sepanjang hari dengan tidak jemu-jemu. Kami menyiapkan sarapan di pagi itu dengan kembali menyalakan api unggun yang rupanya telah redup setelah semalaman dibiarkan menantang angin malam yang kencang Tampaknya hamburger adalah pilihan sarapan yang praktis ditengah hutan seperti ini. Tiga roti hamburger kukeluarkan dari kemasannya, lalu kusiapkan daging dengan memanggangnya terlebih dahulu.
Saat hendak memilah selada Thomas tiba-tiba berseru kepadaku,”make it five!...we eat too much, three hamburgers not enough for us (masak lima!..kami makan terlalu banyak, tiga hamburger tidak cukup untuk kami).
“Dasar gembul”, aku menggerutu saat mengetahui nafsu makan mereka yang besar itu. Lalu aku menambahkan dua roti hamburger lagi untuk diolesi mentega kemudian kubakar sebentar diatas nyala api unggun.
Memasak di tengah hutan memang memberikan suasana tersendiri, hawa yang sejuk di pagi hari sangat bebas dari polusi membuat masakan yang kumasak jauh dari kontaminasi. Apalagi Pierre menemukan ketimun liar dan stroberi liar yang tumbuh didalam hutan yang kemudian dipetiknya dengan dengan hati-hati kemudian diberikan kepadaku. Ketimun dan stroberi itu masih basah oleh embun pagi yang sejuk dihutan ini. Sementara stroberi tersebut kuhidangkan sebagai pencuci mulut, ketimun liar kuiris-iris beserta tomat yang kemarin kubeli di Bugis, potongan buah-buah segar segar itu kemudian kuselipkan diantara potongan roti hamburger. Setelah daging matang kuselipkan juga ditengah roti lalu kutambahkan keju lembaran, jangan lupakan selada yang tadi sudah kupilah-pilah agar dengan rapi bisa tertata diantara dua tangkup roti hamburger bertabur wijen. Wangi hamburger yang menggugah selera tentu saja membuat Pierre dan Thomas tidak tahan untuk segera memakannya. Tentu saja itu setelah kuoleskan mayonaise dan saus tomat didalamnya. Khusus untuk Pierre yang gemar pedas, dia menambahkan sendiri saus cabai diatas rotinya alih-alih didalamnya.
Yummy...this is so savory. Crunchy and delicious inside but soft outside, and don’t forget the chesee bring special taste (yummy....ini sangat gurih. Renyah dan lezat didalam tapi lembut diluar, danjangan lupakan kejunya yang memberikan rasa yang istimewa)”, kata Thomas memuji masakanku.
Pierre tampaknya juga menikmati hamburger buatanku, buktinya dia terus mengunyah tanpa henti. Wajahnya memerah karena kepedasan, yah siapa suruh dia menambahkan saus cabai diatas rotinya. Setelah semua orang kenyang – benar kata Thomas, mereka baru berhenti makan jika sudah melahap dua hamburger – semangkuk stoberi menjadi santapan kami selanjutnya, ditambah dengan susu segar dalam kemasan juga ikut tandas sebagai minuman kami. Sungguh sarapan yang sedap, apalagi ditemani nyanyian burung kutilang yang terdengar merdu dari dalam hutan. Api unggun ditengah kami bederak-derak karena kayu besar yang kami jadikan bahan bakarnya rupanya merupakan kayu yang sangat kering.
Saat matahari mulai menanjak, Thomas kemudian bersiap untuk mendaki ke puncak bukit seperti yang dikatakannya kemarin. Walaupun kabut tebal masih saja menutupi hutan ini, dia merapatkan jaket dan meletakkan ranselnya dipunggungnya, sebotol air dibawa dengan tangan kanannya, bertekad untuk tetap mendaki. Rambut pirangnya terlihat mencolok karena tertimpa sinar matahari. Sementara menunggu Thomas kembali dari pendakian, aku dan Thomas merapikan tenda serta membersihkan perkemahan kami dari sampah plastik bekas bungkus makanan dengan membakarnya habis ditengah api unggun. Baru kemudian api unggun yang mulai masih menyala itu kami siram dengan air dan tanah agar padam.
            Lama juga menunggu Thomas kembali dari pendakiannya hingga tiga jam lamanya. Kami habiskan waktu kami selama itu untuk menikmati keindahan sekitar perkemahan. Rupanya tanpa aku sadari sebelumnya bahwa disekitar kami ada rerumpunan anggrek liar yang menempel dibatang pohon seraya yang merupakan pohon berharga tinggi, biasanya kayunya digunakan untuk bahan bangunan dengan kualitas wahid walaupun masih dibawah kualitas kayu jati tentu saja. Pohon seraya di hutan ini memang banyak walaupun begitu pohon ini harus bersaing dengan pohon lain yang berukuran tidak kalah besar dengannya yaitu pohon keranji dialum dan merbau intsia. Keranji dialum merupakan pohon besar dengan daun lonjong lebar bergurat, pohon berbuah ungu kehitaman ini tampaknya merupakan tempat favorit bagi common tree sreew, mamalia mirip tikus hitam namun memiliki ekor berbulu tebal yang hidup di cabang pepohonan. Karena buah keranji dialummemiliki rasa asam manis yang disukai oleh binatang ini, dan kejutannya adalah buah keranji dialum rupanya juga bisa dimakan oleh manusia. Sama dengan keranji dialum, merbau intsia yang memiliki daun berbentuk oval berwarna hijau muda ini juga dapat tumbuh menjulang tinggi didalam hutan hingga membuat kanopi hutan hujan tropis yang sempurna. Apalagi bijinya yang bulat sedikit pipih dan berwarna hitam itu begitu mudah terjatuh dari pohonnya hanya karena angin bertiup saja, sehingga membuat merbau intsia dapat tumbuh menyebar dengan cepat. Bedanya buah merbau intsia tidak dapat dimakan manusia, tapi sepertinya hewan malam pengerat seperti landak menyukai buah ini sebagai kudapan.
            Matahari sudah berada diatas kepala kami saat Thomas menampakkan batang hidungnya dari balik semak-semak lili hitam tidak jauh dari perkemahan kami. Seraya dia menyibak semak-semak, beberapa ekor plantain squirelyang tadinya bersembunyi diantara rerimbunan lili hitam terlihat berlarian kesegala arah. Wajah lucu Thomas terlihat kelelahan setelah turun dari puncak, peluh mmembuat seluruh tubuhnya basah. Namun tampaknya dia senang-senang saja karena telah mengalami petualangan mengasyikkan di atas sana, setidaknya itulah yang dia katakan kepada kami. Dia juga membawa seikat rambutan yang dia petik ditengah hutan, katanya dia memanjat pohon rambutan yang tidak terlalu besar untuk mendapatkan buah dengan kulit berambut merah ini. Sayangnya dia tidak menyadari kalau banyak semut rangrang mengepung pohon itu, akibatnya bisa ditebak tubuh Thomas gatal-gatal digigit semut.
            This fruit so sweet, a little bit odd but it’s juicy and delicious (buah ini sangat manis, sedikit aneh memang tapi berair dan enak)”, kata Thomas menjelaskan tentang rambutan yang dibawanya.
            Aku senang saja menyantap rambutan yang memang merupakan buah favoritku ini, apalagi ini jenis yang dagingnya renyah serta mudah telepas dari bijinya. Membuatku merem melek menikmati sedapnya buah rambutan liar yang dibawa Thomas. Berbeda dengan Pierre yang memperhatikan buah ini sambil mengernyitkan dahi, memang penampilan buah yang unik bisa menimbulkan rasa keheranan bagi orang yang belum pernah melihatnya apalagi menyantapnya. Tapi toh akhirnya Pierre mengupas kulitnya juga lalu menggigitnya perlahan, air buahnya meleleh didagunya.
            Après cela, nous allons vers le bas de la colline....nyamm..nyam....(setelah ini kita ke bawah tebing.. nyam..nyamm....),” kata Pierre yang sedang asyik menikmati rambutan.”Hier, j'ai vu le lac en contrebas des falaises de là-haut. Nous allons à la pêche au bord du lac (kemarin aku melihat telaga di bawah tebing dari atas sana. Kita akan memancing di telaga itu).
            Demi mendengar ajakan Pierre, Thomas bersorak senang tidak terkira,” Hourra, c'est le plus beau jour de ma vie(hore, ini adalah hari terbaik dalam hidupku).
            Aku hanya tersenyum saja, pasalnya aku baru mengetahui hobi Thomas ini. Rupanya di Perancis dia senang menghabiskan waktunya memancing di danau, setidaknya itu menurut Pierre yang bercerita kepadaku saat kami menuruni bukit melewati jalan setapak yang berlumpur dan licin. Semak-semak pakis gajah yang menutupi jalan setapak kami sibak demi dapat berpijak lebih mantap. Piere memegangi tanganku agar aku tidak terjatuh di jalan setapak yang licin itu. Kemudian kami melewati rerimbunan pohon bambu yang berjajar dikanan dan kiri jalan setapak, daunnya menutupi langit-langit hingga sinar matahari tidak mampu menembusnya. Sedikit jauh melewati rerimbunan bambu kami menemukan sebatang pohon nangka yang tumbang menutup jalan kami.
Watch out to that animal, don’t step on it (hati-hati terhadap binatang itu, jangan menginjaknya)”, seru Thomas tiba-tiba mengejutkan kami.
Rupanya saat kami sedang berhati-hati melangkahi sebatang pohon nangka yang tumbang ituseekor trenggiling seketika melintas di depan kami menuju ke arah buah nangka yang matang tergeletak di tanah. Dengan cekatan trenggiling itu memeluk si buah nangka yang berdaging kuning lembut dan manis kemudian mengunyahnya cepat-cepat, sungguh lucu melihatnya.
            Akhirnya kami tiba di telaga yang airnya tampak berwarna hijau spring dari dekat. Alang-alang tinggi mengelilinginya hingga kita harus cermat untuk menemukan telaga ini. Beruntung ada jalan setapak membelah padang alang-alang hijau itu, jalan yang jika kita ikuti akan membawa kita ke sebuah bungalow dari kayu tanpa atap di tepi telaga. Aku bisa menjulurkan tanganku menyentuh air telaga ini jika kubungkukkan badanku dari atas bungalow. Airnya sangat dingin dan jika kupandang lama aku merasa seolah ditarik kedalamnya, mungkin karena bayanganku terefleksi dipermukaannya yang jernih itu. Jika kupandang jauh diseberang telaga ada banyak sekali pepohonan besar berdiri rapat, sehingga diantara pepohonan itu hanya ada bayangan gelap tidak ada cahaya yang dapat menembusnya. Awan putih tipis menutupi langit biru diatas kami, sesekali burung gagak terlihat terbang melintas disana. Ikan-ikan kulihat sesekali berenang ke atas permukaan telaga yang tertutup kabut putih, seolah menggodaku dengan gerakannya yang gemulai berenang di air yang tenang.  Thomas tentu sajabegitu senang saat melihat ikan-ikan itu. Tampaknya dia berharap mendapat banyak tangkapan untuk dibakar diatas api unggun yang sedang disiapkan Pierre. Ikan bakar sebagai makan siang adalah kesukaan orang Perancis.
            “You can help Pierre collecting sticks to make fire. Let him find the biggest one, you can find the lighter one. Easy, am I right? (kamu bisa membantu Pieree mengumpulkan ranting pohon untuk membuat api. Biarkan dia menemukan batang pohon yang besar, sementara kamu cari yang ringan saja. Mudah bukan?)”, kata Thomas saat dia sedang menyiapkan alat pancingnya, digalinya tanah gembur di tepi telaga untuk menemukan cacing gemuk yang akan dijadikan umpan ikan.
            It will easier if you use artificial worm, I think fish doesn’t know the different. Beside using a living worm looks jorok(akan lebih mudah jika kamu menggunakan cacing buatan, aku pikir ikan tidak akan tahu bedanya. Lagi pula menggunakan cacing hidup terlihat jorok)”, aku berkomentar saat melihat Thomas menusuk seekor cacing tanah panjang ke pengait di alat pancingnya.
            Ahh..artificial worm has no smell, fish wont realized. And it will make me wont get nothing, I’m hungry now want to eat fish for lunch (aaah....cacing buatan tidak berbau, ikan tidak akan menyadarinya. Dan itu akan membuatku tidak akan mendapatkan apapun, aku sedang lapar sekarang dan ingin makan ikan sebagaisantap siangku)”.       
            Aku hanya geleng-geleng kepala saja mendengar ucapan Thomas, sementara Pierre sibuk mengumpulkan kayu bakar. Sesekali karena susah menemukan kayu dia kemudian mencabuti ilalang lalu ditumpuk bersama tumpukan ranting kering yang mana itu membuat Thomas kesal karena menurutnya ilalang yang basah hanya akan merusak cita rasa dari ikan saat dibakar nanti, lagipula apinya juga akan sulit menyala dengan ilalang segar sebagai bahan bakarnya. Untuk masalah ini aku setuju dengan Thomas. Walaupun itu artinya aku jadi ikut bersusah payah mengumpulkan ranting kering demi bahan bakar api unggunnya. Kucari agak ke tengah sekumpulan pohon-pohon albazia, percuma saja karena pohon ini berkayu lembut tidak cocok untuk dibakar guna nyala api dalam jangka waktu yang lama. Tapi toh Pierre tetap saja menyuruhku memungutnya.
            Mieux que pas du tout de bois (Lebih baik daripada tidak ada kayu sama sekali)”, kata Pierre sambil menunjuk-nunjuk ranting-ranting albazia yang jatuh berserakan di tanah.
            Rupanya keberuntungan ada di pihak Thomas tidak lama setelah dia melemparkan kail tiba-tiba tali pancingnya ditarik seekor ikan yang kelihatannya berukuran besar, pasalnya Thomas menarik pancingannya kuat-kuat dan si ikan belum juga sampai dipermukaan. Baru berselang sepuluh menit si ikan berhasil ditarik keluar kemudian ditusuk dengan joran pendek, kulihat ikan lele besar menggelepar di bawah kaki Thomas yang terkejut karena mendapati pancingannya disambar ikan yang bisa mematil tangan manusia itu. Segera dia memasukkan ikan ke dalam ember yang kemudian diatas penutupnya ditahan dengan batu besar agar ikan tidak meloncat keluar.
            I hope for the gold fish ...not cat fish. This is funny, look at her she has whisker! (Aku berharap mendapatlan ikan mas..bukan ikan lele. Ini lucu, lihat dia punya kumis)”, Thomas menunjukkan isi embernya kepadaku sambil berseru.
            Aku terkekeh melihat ikan lele yang menggeliat di dalam ember, berbeda dengan Pierre yang justru tampak antusias melihat hasil tangkapan Thomas itu. Yang pada akhirnya membuatnya tambah semangat mengumpulkan ranting dengan ukuran lebih besar lagi sambil membayangkan nikmatnya lele bakar sebagai makan siang. Apalagi dia menemukan sekumpulan jamur merang yang tumbuh dibalik tanggul pohon di hutan yang gelap dan lembab dekat telaga, dipetiknya jamu merang itu kemudian dicuci di air telaga untuk kemudian diolesi dengan mentega siap dibakar sebagai teman lauk ikan nanti. Ada beberapa kentang di dalam ransel yang akhirnya kubungkus dengan kertas aluminium sebelum kuletakkan ditengah api unggun yang dengan sekejap dinyalakan Pierre. Sambil menunggu kentang dan jamurnya matang, kucuci apel, jeruk dan pisang yang kemarin kubeli di Bugis sebagai pencuci mulut. Saat kutata buah-buahan itu diatas daun teratai yang kupetik dari pinggir telaga, Pierre melihatku dikepung serangga mulai dari nyamuk hingga lalat buah dan belalang. Dia membantuku mengusir para serangga nakal itu, namun apa daya akhirnya serangga-serangga itu berganti arah terbang mengelilingi Pierre.
            That because you have not shower yet. Make you smell bad and bugs like stinky things (Itu karena kamu belum mandi. Membuatmu bau dan serangga suka hal yang bau)”, celoteh Thomas saat melihatku mengibaskan setangkai daun rambutan yang jatuh di tanah demi mengusir nyamuk yang hinggap di tubuhku.
            Aku merasa malu disebut bau oleh Thomas jadi kupukul lengannya keras-keras, dia meringis mendapati lengannya merah-merah kemudian dia nyengir kuda dihadapanku. Tapi setelah kupikirkan memang dari tadi pagi aku belumlah mandi mengingat tidak adanya fasilitas kamar mandi di hutan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk menceburkan dirike air telaga yang dingin agar tubuhku yang lengket ini bisa segera bersih dan segar. Namun apa daya niat itu kuurungkan karena Pierre mencegahku.
            Baignade dangereuse dans le lac, l'eau est profonde et boueuse vous pourriez noyer . Tu ferais mieux de l'utiliser comme un pot de louche chercher de l'eau du lac et puis vous tirez sur le corps. mais vous baigner dans le bungalow, ne pas plonger dans le lac(Berbahaya mandi di telaga, airnya dalam dan berlumpur kamu bisa tenggelam. Lebih baik kamu menggunakan panci ini sebagai gayung untuk mengambil air dari telaga lalu kamu siram ke tubuhmu. Tapi kamu mandinya di bungalow itu ya, jangan sampai tercebur ke telaga)”, Pierre menjelaskan sambil memegangi lenganku untuk mencegahku masuk ke dalam air. “Cette mine d'usure de savon. parfum est également adapté pour les femmes parce que pas trop masculin(Ini sabunnya pakai punyaku, wanginya juga cocok untuk wanita karena tidak terlalu maskulin)”.
            Aku mengikuti saran Pierre, memang berenang di telaga bisa beresiko tenggelam jika tidak hati-hati, dan lagipula aku bukan perenang yang handal. Jadi aku beranjak ke bungalow yang barlantai kayu oak itu, membuka kaus kuningku hei..tunggu aku kan tidak mungkin melepaskan pakaianku begitu saja didepan dua orang lelaki. Jadi aku sembunyi di balik ilalang agar tidak terlihat Thomas dan Pierre baru kulepas pakaianku dan langsung kambil air dari telaga dengan panci lalu kusiram ke tubuhku.
            Do not get here I’m in shower, I wear nothing! (jangan kesini ya aku sedang mandi, tidak mengenakan apapun!)’’, teriakku kepada Thomas dan Pierre berharap mereka tidak melihatku yang sedang mandi, yah walaupun tentu saja aku masih mengenakan pakaian dalam dan tidak polos sama sekali.
            We understand, do not worry! Hehehe ...(kami mengerti jangan kuatir! Hehehe...)”, jawab Thomas dengan lantang, tampaknya dia tidak serius dengan ucapannya.”Beside we are cooking some gold fish and this funny fish errr...I mean this cat fish. Do you want it? (lagipula kami sedang memasak ikan-ikan emas ini dan ikan lucu ini errrrr...maksudku ikan lele ini. Apa kamu mau?)”.
            Maybe later.. (mungkin nanti)”.
            Air telaga begitu dingin dan segar saat menyentuh tubuhku. Tepi telaga ini beralaskan rerumpunan daun semanggi yang sebenarnya berguna untuk membuat tanah dibawahnya tidak licin jika dipijak. Tapi apa daya aku tetap saja terpeleset beberapa kali dan akhirnya terpelosok kedalam telaga. Untungnya aku tidak sampai ketengah sehingga lumpur kecoklatan didalamnya tidak menjebakku. Beberapa ekor ikan gabus kulihat menari-nari didalam telaga, sayangnya tidak lama kemudian seekor elang hutan menyambar satu ikan gabus yang paling gemuk untuk kemudian dibawa terbang ke sarangnya yang berada diatas pohon meranti. Mungkin burung pemangsa ini punya anak-anak yang perlu diberi makan. Selain itu aku juga melihat seekor ular hijau meliuk-liuk melintasi danau, mungkin dia juga suka ikan seperti anak-anak si burung elang. Namun rupanya dugaanku salah karena si ular hijau berenang ke arah daun teratai yang diatasnya ada seekor katak sedang bersantai menikmati cerahnya matahari. Dan dalam sekejap saja katak malang itu dilahap oleh sang ular, membuat air telaga beriak karena gerakan cepat sang ular saat menyergap mangsanya.
            Selesai mandi aku lalu bergegas menuju ke perapian berharap agar tubuhku yang menggigil karena mandi air dingin bisa hangat kembali. Sesampainya di perapian yang hanya berjarak sepuluh langkah dari tepi telaga kulihat Thomas dan Pierre sedang asyik membakar ikan mas, mereka duduk membelakangi telaga yang mana itu membuatku lega karena artinya mereka tidak dapat melihatku mandi. What a gentleman (lelaki yang baik).
            Have you finished cooking that fish? (apa kalian sudah selesai memasak ikannya?)”, tanyaku kepada Thomas ketika aku sudah duduk diantara mereka didepan perapian.
            Almost done ....how is the water, cold?Because I want to get shower after you (hampir selesai ...bagaimana airnya, dingin? Karena aku mau mandi juga setelah kamu).
            Aku lalu menjawab pertanyaan Thomas sambil menaburkan daun kering yang kudapat disekitarku ke dalam perapian, “The water cold but fresh, no problem with that. I guess it will perfect for you (airnya dingin tapi segar, tidak ada masalah dengan itu. Aku rasa airnya cocok untukmu)”.
            Angin lembah berhembus kencang membuat api unggun meliuk-liuk ditiup angin. Pierre cepat-cepat memasukkan jamur merang belumur mentega kedalam api, takut apinya padam ditiup angin. Untunglah angin nakal hanya sebentar saja, yang justru setelahnya malah membuat nyala api membesar. Ditambahkan ranting-ranting kedalamnya supaya nyala api lebih lama. Dengan api yang menyala menjalar membakar jamur dan ikan membuat semua masakan cepat matang. Kami lalu menyantap makan siang kami dengan lahap ditemani nyanyian burung jalak dari pepohonan didekat kami dan sesekali melodi dari katak-katak penghuni telaga. Jamur merang yang renyah dan berlemak mentega sungguh membangkitkan selera sebagai hidangan pembuka.
Carpe fraîche et le poisson-chat sont doux et salé sel semé et le poivre noir a une saveur et un arôme du parfum, approprié pour le déjeuner au milieu de la jungle.(Ikan mas dan lele segar yang lembut dan gurih ditabur garam serta lada hitam memiliki cita rasa tersendiri serta aroma yang harum, cocok untuk makan siang di tengah hutan rimba)”, Pierre memberikan seekor ikan mas bakar kepadaku untuk disantap. “Le dessert était orange, banane et de pomme, juteuse et sucrée rend l'ensemble du déjeuner ensemble est un parfait(Hidangan penutupnya adalah jeruk, pisang dan apel, rasanya manis dan berair membuat seluruh rangkaian santap siang ini menjadi sempurna)”.
Apalagi setelah itu kami meneguk air mineral segar yang kami bawa dari Bugis terasa melegakan dahaga. Tidak mengherankan jika sehabis makan kami semua benar-benar merasa kenyang tanpa cela. Tidak lama kemudian seekor kelinci melompat-lompat disekeliling kami, itu membuat Thomas ingin menambahkan menu kelinci panggang ke acara makan siang ini.
            Tidak terasa hari sudah sore setelah Thomas memanggang kelinci itu dan memakannya sendirian ditambah dengan kentang panggang – perutku dan Pierre sudah penuh sekali dan tidak sanggup makan lagi— setelah itu kami beranjak dari telaga kembali pulang ke Shophouse Hostel. Api kami padamkan telebih dahulu, dan sampah makanan kami bereskan agar tidak mengotori cagar alam Bukit Timah ini. Kami melewati jalan yang sama seperti awal kami sampai di telaga, menembus pohon rotan yang berduri, melompati pohon nangka yang tumbang dengan kali ini nangkanya sudah habis dimakan trenggiling, berjalan dijalan setapak yang licin diantara pohon albizia menuju ke gerbang keluar cagar alam. Matahari sudah hampir tenggelam saat itu sehingga membuat kami mempercepat langkah atau kami disergap kegelapan malam. Saat kami keluar dari arena Bukit Timah sekelompok kera sedang menaiki atap mobil milik sekeluarga pelancong yang baru saja tiba dilapangan parkir sama seperti kami, kasihan keluarga itu apalagi mereka terlihat sangat terkejut saat mendapati seekor kera bergelayut di kaca spion. Dan yang tidak kalah membuat kami terkejut adalah kami melihat Jermiah dan Jane bergandengan tangan baru saja keluar dari cagar alam, mereka terlihat mesra sekali seolah tidak pernah bertengkar malam sebelumnya. Kami sempat berpandangan dengan mereka yang tersenyum melihat kami. Aku dan Pierre saling melirik, kami bahagia melihat pasangan suami istri tersebut telah rukun kembali.

No comments:

Post a Comment