Di puncak
Bukit
Lelah namun mendapat pengalaman seru yang tidak akan
terlupakan itulah yang aku rasakan setelah seharian berjalan-jalan di Jurong
Bird Park. Maka ketika aku sampai di Shophouse
Hostel aku langsung melemparkan tubuhku di atas kasur yang empuk. Malam nya aku langsung tidur nyenyak,
beruntung pasangan suami istri pembuat onar Jeremiah dan Jane sudah tidak lagi
menginap di kamar itu. Jeremiah semalam sudah dikeluarkan oleh manajer hotel,
sementara Jane entah kemana dia hingga larut malam kuperhatikan belum kembali
ke tempat tidurnya. Tapi jika melihat dari kopernya yang masih tergeletak di
depan loker berarti Jane belumlah check
out dari tempat ini. Sementara itu Thomas dan Pierre sedang merencanakan
kegiatan untuk esok hari, Pierre melirikku yang sedang meringkuk dibalik
selimut. Kelihatannya mereka punya rencana asyik besok dan hendak mengajakku
ikut serta lagi.
Esok paginya cuaca di Singapore belum juga berubah
masih diselimuti kabut putih hari ini bahkan kabutnya bertambah tebal. Anehnya
entah kenapa aku merasa mataku jadi perih berair dan bau dari kabut ini membuat
tenggorokkanku kering. Aku sekarang berada di kafe di belakang hostel, rasanya
segelas air putih harus kuteguk banyak-banyak sebelum beraktivitas untuk
membasahi tenggorokkan ku. Pierre tampaknya kasihan karena melihatku yang
kadang-kadang batuk-batuk hingga disodorkannya kepadaku sepiring melon, agar
bibirku tidak kering lagi.
“We are
going to go to Bukit Timah , it’s a nature reserve, it has a beautifull view so
we can do camping”, kata Thomas tiba-tiba dari balik meja makannya,
sepiring nasi goreng kerang tergeletak didepannya. “But first we must buy a tents in and
food for our supply”.
“Camping is fun
but I don’t like camping, mosquito and bugs must be annoying (Kemping itu
menyenangkan tapi aku tidak suka berkemah, nyamuk dan serangga pasti menggangu)
”, kataku pelan namun tampaknya Pierre enggan memahami alasanku. “And how about the weather this is not good
“(dan bagaimana cuacanya tidak bagus)”.
Dia kemudian berbicara kepada Thomas dalam bahasa
Perancis yang panjang dan cepat hingga tidak sama sekali bisa kutangkap dengan translater. Pada akhirnya mereka berdua
hanya diam saja menatapku.
Namun setelah menyuap hingga 3 sendok nasi goreng
Thomas berkata kepadaku, ”It has a lake
we can do fishing and how about swimming, do you like swimming? (Tempat itu
memiliki danau jadi kita bisa memancing dan bagaimana tentang berenang, apakah
kamu suka berenang?)”.
Aku berpikir sejenak hampir saja aku memasukkan
sepotong melon ke dalam mulutku sebelum akhirnya aku berkata,”Yes I like swimming, it’s my hobby swimming
on natural pool (yah aku suka berenang itu hobi ku berenang di kolam
alami)”.
“So let’s we get
there...I want you coming with me (jadi ayo kita kesana, aku ingin kamu
ikut bersama kami)”.
“Oke then I
hope we have a good time (baiklah aku harap kita akan
bersenang-senang),” sahutku pelan.
Kedua sekawan itu tersenyum sambil menghabiskan
makanan mereka dengan lahap. Sesekali kembali mengajakku berbicara soal tenda
yang akan mereka beli hingga perbekalan yang harus dipersiapkan seperti
buah-buahan. Aku menjadi antusias dengan acara berkemah ini, api unggun yang
menyala pasti akan jadi romantis nantinya. Thomas dan Pierre juga membicarakan
itu, karena cuaca yang berkabut menyalakan api unggun adalah opsi yang baik
untuk penerangan. Maka berdasarkan perencanaan itu kami beranjak menuju Bugis
untuk membeli perlatan berkemah. Memang mencarinya agak sulit karena di Bugis
mayoritas pedagang menjual pakaian, makanan, sepatu dan souvenir. Tapi tempat
ini sangat bagus untuk berbelanja dengan harga yang sangat murah walaupun
dahulu dikenal sebagai pasar loak jalan Bugis. Sehingga walaupun sulit mencari
peralatan berkemah diantara keramaian pedagang pakaian tapi untunglah Pierre
bermata jeli sehingga dia menemukan toko peralatan berkemah di tengah-tengah
toko-toko karpet. Dua buah tenda dia beli dengan warna berbeda, yang merah
untukku dengan ukuran tendanya lebih kecil, sementara tenda yang kuning untuk
dia dan Thomas. Tenda-tenda itu dimasukkan di dalam tas ransel besar yang mana
juga dijejali dengan beberapa makanan kaleng seperti sarden dan kornet kaleng,
juga air mineral dalam botol besar. Bugis sangatlah ramai banyak toko-toko
berjajar disepanjang jalan menawarkan berbagai macam barang, para pembelipun tumpah
ruah hingga ke badan jalan dan ke sudut-sudut daerahnya. Hal itu membuat kami
berdesakan dengan banyak orang saat kami hendak membeli kebutuhan kami.
“Hi I want to
buy some apples, oranges and durian for our picnic, what do you think? (Hai
aku ingin membeli beberapa apel, jeruk dan durian untuk acara piknik kita,
bagaimana menurutmu?)”, tanyaku kepada Pierre saat kujumpai toko buah-buahan
berjejalan di samping trotoar.
Pierre diam saja mendengar pertanyaanku, dia hanya
tersenyum saat itulah aku baru ingat kalau dia hanya bisa bahasa Perancis.
Untunglah Thomas membantuku dengan memasukkan buah-buahan tadi ke dalam
keranjang belanja. Tapi ketika kusodorkan buah durian untuk di makan di bukit
nanti Thomas langsung membelalakkan mata.
“It smell’s bad
I cannot stand, how about this yellow banana must be sweet (itu buah yang
bau aku tidak tahan baunya, bagaimana dengan pisang kuning ini pasti manis)”,
Kata Thomas sambil menawariku sesisir pisang yang akhirnya dimasukkan kedalam
keranjang.
Selesai berbelanja di Bugis kami lalu menggunakan MRT
menuju ke Bukit Timah. Hutan asli yang terletak ditengah kota ini menawarkan
pengalaman seru berkemah dan menjelajah – dengan monyet, ular dan semua alam
yang mengalunkan melodi jazz di malam hari – sehingga membuat kami tidak sabar
untuk sampai disana. Di dunia ini hanya dua kota yang masih memiliki hutan
tropis di tengahnya yaitu Rio De janero dan satunya lagi Singapore dengan Bukit
Timah nya ini, sungguh fakta yang fantastik. Hanya sepuluh menit menggunakan
bus dari Clementi MRT Station kami sudah bisa langsung masuk ke hutan.
Di Kantor Pusat Pengunjung yang terletak di pintu
masuk hutan ini kami memperhatikan peta hutan sekaligus merencanakan pendakian
kami. Hijaunya pepohonan dan suara burung-burung membuat segalanya sempurna.
Kabut yang tebal dan berbau aneh itu disini tidak terlalu menggangu karena
rapatnya pepohonan membuat udara lebih bersih. Kami mengikuti jalur kuning yang
dimulai dari mengikuti jalan lalu menerobos semak belukar. Tidak lama kemudian
sebuah jalan setapak terbentang di depan kami, kiri kanannya pohon-pohon besar
berjajar merapat meneduhkan perjalanan kami. Kami terus masuk ke dalam hutan
yang gelap dan tertutup kabut, mencoba mencari tempat yang bagus untuk
mendirikan tenda. Jalan setapak itu kemudian hilang hanya ada semak-semak
diantara pepohonan sekarang namun kami terus berjalan hingga tanahnya menanjak
terus ke atas. Bukit Timah Nature Reserve
sendiri memiliki luas 3.043 hektar itulah sebabnya jika tidak berhati-hati
berjalan di hutan ini bisa tersesat.
“Watch out to
for the trees ! (awas ada pohon didepanmu)”, seru Thomas kepadaku yang
sedang mengagumi langit-langit hutan ini yang ditutupi daun-daun dan burung
berterbangan.
Hampir saja aku menabrak sebatang pohon di depanku,
maka aku bergeser melewatinya. Pierre tertawa cekikikan di belakangku, wajahku
menjadi merah padam menahan malu. Tapi kami tetap mendaki sampai ke atas
walaupun dengan susah payah karena curamnya bukit ini. Hawa dingin perlahan
mulai menyergap, suasana bukit yang muram membuat segalanya tampak menyeramkan.
Tanah yang kupijak agak licin apalagi ditambah kerikil yang tidak terlihat
karena tertutup kabut, membuatku terpeleset beberapa kali. Napasku
terengah-engah manakala kupanjat bukit curam ini.
Jam tanganku menunjukkan sudah pukul dua belas dan
hingga saat itu belum juga kami sampai di puncak bukit. Akhirnya kami
memutuskan untuk mendirikan tenda di tengah hutan yang – untunglah kami
menemukan tanah landai di antara tanjakan yang curam – penuh dengan semak
bunga-bunga wedelia. Peirre mengambil pisau lipat untuk memangkas semak-semak itu
hingga tidak lama kemudian tanah lapang membentang seluas 5 meter, cukup untuk
mendirikan tenda dan sebuah api unggun di tengahnya. Sementara aku menyiapkan
tikar dan makanan Thomas mengumpulkan ranting-ranting untuk dibakar, dan Pierre
sibuk mendirikan tenda – dia terbalik menaruh bagian atas tenda dengan bagian
bawahnya, membuat ku gelang-gelang kepala, sampai kemudian Thomas membetulkan
tendanya.
Tidak lama kemudian perkemahan kami siap dengan api
unggun menyala besar di tengahnya mengingat Thomas menempatkan sebatang besar
pokok pohon sebagai bahan bakarnya. Kabut tetap menghalangi pandangan kami,
tapi itu tidak membuat aku berhenti memasak tiga kaleng sarden yang di taruh
begitu saja ditengah api unggun agar cepat matang.
“So what do you
do Thomas? (Jadi apa pekerjaanmu Thomas?)”, tanyaku sambil mengawasi sarden
kalengan yang sedang kumasak.
“I’m a engineer
same like Pierre, we created robot for built building and bridge (Aku
insinyur sama seperti Pierre, kami menciptakan robot untuk membangun gedung dan
jembatan)”, jawab Thomas yang sedang bersandar di pohon dibelakangnya.
“What robot? A
cute robot? ( robot apa? robot yang
imut?)”, tanyaku penasaran.
“Not cute for
girls but giant robot (tidak imut untuk gadis-gadis tapi robot ukuran
raksasa)”.
“Uhuuk...uhuukk”,
tiba-tiba Pierre terbatuk-batuk tampaknya kombinasi asap api unggun dan kabut
tebal membuat tenggorokannya gatal.
Untung kami telah membeli kopi kaleng dingin untuk
kami nikmati di perkemahan ini. Sehingga Pierre langsung kuberi satu kemudian
di teguk dengan cepat untuk menyiram tenggorokkannya yang kering itu.
“ I live in
Toulose a small city in France. This is not our first time travelling around
the world (Aku tinggal di Toulose sebuah kota kecil di
Perancis. Ini bukan kali pertama kami berjalan-jalan ke luar negeri)”, kata
Thomas lagi kepadaku yang sedang menepuk punggung Pierre untuk meredakan
sedikit batuknya.
Aku menoleh kepada Thomas dan berkata ,” you must be a lucky man can travelling
arround the world everytime you want (kamu pasti seorang yang beruntung
karena bisa keliling dunia setiap kali kamu menginginkannya)”.
“Not everytime,
only on summer (tidak setiap hari, hanya di musim panas)”.
Kuah sarden yang kental dalam kaleng sudah
meletup-letup, aku mencari pencapit agar bisa kuangkat kaleng sarden itu dari
bara api unggun. Tapi sayang tidak kutemukan alat itu dimanapun. Hingga Pierre menggunakan
batang kayu bercabang dua untuk menjepit kaleng itu lalu memindahkannya dari
atas api.
“Avez-vous faim?
(apa kamu lapar?)”, tanya Pierre sambil menyodorkan sekaleng sarden yang telah
matang kepadaku.
“ Oui...mais
j'ai attendu jusqu'à ce que le froid alimentaire (ya..tapi aku menunggu
makanannya dingin dulu)”, jawabku setelah melihat asap mengepul dari kaleng
sarden itu, tampaknya panas.
“Donc depuis
quand n'avez vous aimez voyager? (jadi sejak kapan kamu suka berwisata?)”.
“La première
fois Je suis hors du pays (ini pertama kali aku luar negeri)”,
jawabku sambil menghirup dalam-dalam aroma sarden yang harum dan menggugah
selera. “Mais en Indonésie Je suis allé à
la plage et les montagnes. Beaucoup d'endroits que j'ai visité dans mon pays. Jusqu'à
ce que, à l'angle(tapi di Indonesia aku sudah ke gunung dan pantai. Banyak
tempat yang sudah aku kunjungi di negaraku. Sampai ke pelosok)”.
Suara derak kayu yang dijilati api terdengar jelas
oleh kami, hal itu karena kesunyian disekitar kami benar-benar menusuk hati.
Padahal di kaki bukit tadi banyak sekali burung bulbul berkicau, tapi entah
kenapa di atas sini tidak ada seekor binatangpun yang tampak apalagi burung
yang berterbangan.
“Je voudrais
vous demander un jour d'aller à eiffel (aku ingin sekali mengajak kamu ke
Eiffel suatu hari nanti)”.
“Oh..aku akan sangat senang sekali! Je veux le voir dans toute ma vie ( aku
selalu ingin melihat menara Eifel dalam seumur hidupku)”, kataku antusias.
Pierre tersenyum mendengar kata-kataku, Thomas yang
berada di sampingnya mengerling lalu menyambar kaleng sarden yang tadi sudah
diangkat dan langsung menelan isinya. Sungguh sial bagiku karena aku telah
menunggu sarden itu dingin. Aku merengut, Thomas dengan asyik tetap saja
mengunyah tanpa merasa bersalah sama sekali.
“ Ihh...you
aremeany ( iiih...kamu jahat)”, celetuk aku sambil menepuk
lengan Thomas. Yang ditepuk nyengir kemudian mengangkat sekaleng sarden lain
dari dalam api unggun lalu menyodorkannya kepadaku. “ This is still hot (ini masih panas)”, kataku enggan memakan sarden
kalengan yang diberikan Thomas.
“Ne vous
inquiétez pas, il sera froid plus tard (jangan kuatir, nanti juga dingin)”,
bisik Pierre di telingaku. Dia lalu menggenggam tanganku lalu menggodaku supaya
aku tidak merengut lagi. “Chaque fois que
j'ai fait un rêve, je prie un jour, vous pouvez m'aimer(Setiap kali aku
bermimpi, aku berdoa suatu saat kamu bisa cinta kepadaku).
Thomas tertawa geli kemudian dia berkata ,” aaah...roman dime heheh (aaaah...roman
picisan hehe)”.
Aku tersipu malu, tapi Pierre tidak juga berhenti
menggodaku. Dia menggelitik pipiku dan merangkul aku dalam dekapannya sambil
berkata, “quels sont vos hobbies?pour que
vous sachiezJ'aime jouer au football (apa hobi kamu? Untuk kamu tahu aku
suka bermain sepakbola)”.
Aku berpikir sejenak lalu aku mengingat satu hal yang
aku suka ,” bien J'aime peindre paysages
peints principalement (aku suka melukis terutama melukis pemandangan)”.
“ Bon
passe-temps (hobi yang bagus)”, Thomas menyela pembicaraan aku dan Pierre.
Pierre mematut daguku dengan buku jarinya kemudian
berkata,”l'étoile brillante aussi
brillant que mon cœur toujours représenté ma bien aimée Dans chaque rêve, je
chanterai toujours(Bintang benderang secerah hatiku yang selalu terbayang
kekasihku sayang di setiap mimpiaku akan selalu berdendang)”.
Usai bersantap siang dengan sarden kalengan dan
potongan daging sapi yang dibakar kami lalu memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan ke puncak bukit. Namun karena tenda kami sudah berdiri yang artinya
tidak bisa kami tinggalkan begitu saja, maka Thomas akhirnya mengalah menjaga
tenda sementara aku dan Pierre naik ke atas bukit sebelum gelap.
“Ne vous
inquiétez pas, Je me rattraperai demain (jangan kuatir aku akan menyusul
besok)”, kata Thomas saat melihat kami bersiap mendaki.
Pierre menimpali perkataan kawannya itu,“peut-être que vous serez là demain, parce
que nous n'allons pas rester là ce soir(mungkin kamu akan berada disana
besok, karena kami tidak akan bermalam disana malam ini)”.
“ Oui.. il peut
aussi (ya...itu boleh juga)”.
Setelah memastikan kami membawa air minum dan roti
akhirnya aku dan Pierre mulai mendaki bukit kembali.
“Je suis content
que vous comprendrea (aku senang kamu pengertian)”, ujar Pierre sebelum
meninggalkan perkemahan.
Awalnya kami menyibak tanaman liar, terus berjalan sesekali
berpegangan pada batang pohon trembesi.Napas kami terengah-engah sungguh suatu
perjalanan yang berat. Ditengah perjalanan kami menjumpai fairy bluebirdmerupakan burung cantik berwarna biru yang merupakan
satwa liar di cagar alam ini. Pierre yang merupakan pecinta burung langsung
mengabadikan sosok burung ini dengan kamera. Tidak lama kemudian setelah
melewati sebuah batang pohon yangtumbang kami berjumpa dengan flying lemur yang lucu. Binatang ini
mirip musang berwarna cokelat kelam berbulu halus namun memiliki selaput lebar dan
menyambung di keempat kakinya membuatnya dapat meluncur dari dahan ke dahan
seolah terbang. Tingkah laku flying lemur
ini membuat aku dan Pierre terkejut melihatnya.
Bukan hal yang mengherankan jika di hutan ini kami
menjumpai banyak hewan hal ini mengingat Bukit
Timah Nature Reserve diberkati dengan keanekaragaman hayati berupa 840
tanaman berbunga hingga 500 spesies hewan, dan sampai saat ini jumlah spesies
baru yang ditemukan di hutan ini terus bertambah. Memang luas hutan hujan
tropis di negeri singa ini jauh lebih kecil daripada jumlah dan luas hutan yang
dimiliki oleh negeriku Indonesia, tapi jika mengingat upaya pelestarian sungguh
Singapore sangat menjaga hutan satu-satunya yang mereka miliki ini. Tentu hal ini kontras
dengan Indonesia yang terus saja membabat hutannya hingga banyak yang gundul,
sungguh ironis.
Terus mendaki bukit menembus rerimbunan pohon membuat
kami kelelahan. Akhirnya kami sampai ke sebuah sungai kecil dengan air yang
dangkal mengalir pelan. Di sungai itu aku melihat beberapa ekor ikan mas
berenang dengan riang. Kami akhirnya menyeberangisungai itu dengan hati-hati.
“Me tenir la
main,nous devons aller de l'autre côté (pegang tangan aku, kita harus
sampai keseberang)”, kata Pierre sambil menuntun tanganku menuju ke seberang
sungai.
Walaupun kami sudah pelan-pelan tapi percuma saja
karena air membuat gerakan kami sulit sehingga aku terjatuh kedalamnya dan
tubuhku basah kuyup. Untunglah ada batang pohon macaranga yang mengapung di sungai, Pierre mengambilnya dan
menjadikannya tumpuan bagiku agar aku tidak lagi terjatuh. Kakiku yang basah
mulai membuatku kedinginan, Pierre menyadari hal ini saat aku bersin-bersin.
“Allons courir
plus vite afin que vous n'êtes pas exposé à l'hypothermie(ayo jalannya
lebih cepat supaya kamu tidak terkena hipotermia)”. kata Pierre sambil
mempercepat langkahnya.
Aku terus mengikuti Pierre hingga akhirnya sampailah
kami diseberang, sebentar beristirahat dan minum dibawah pohon macaranga yang daunnya berbentuk hati
itu baru kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi. Menerobos serumpunan rotan
dengan susah payah, hingga akhirnya tibalah kami ke dataran yang dipenuhi
cahaya matahari dengan rumput hijau tumbuh pendek dibawahnya. Sepuluh langkah
setelahnya kami tiba di puncak bukit, tepatnya diatas sebuah tebing curam
dimana jurang menganga di bawah kami begitu kami sampai diujungnya. Aku
teringat Kenshi yang mengatakan kalau Singapore tidak punya tebing dan bukit
saat malam pertama aku bertemu dengannya, ternyata dia salah. Memang negara ini
tidak punya gunung, tapi kalau bukit Singapore rupanya punya satu.
Aku
menapakkan kakiku di tanah berumput pendek dan langsung terduduk. Napasku
terengah-engah kelehan karena mendaki bukit yang merupakan titik tertinggi di
Singapore ini. Kupandang sekelilingku ada pohon fig yang buahnya ungu dan
ranum. Kemudian menjulang tinggi pohon albazia besar dengan daunnya yang hijau
dan rindang. Pohon pepaya serta pisang
juga menancap disini seolah memagari puncak bukit. Semak-semak dibawahnya
adalah pakis gajah dan lili hitam membuat tanah cokelat yang gembur tertutup
semua. Beberapa langkah dariku kulihat
Pierre membelakangiku, dia terdiam saat melihat pemandangan dari puncak bukit
ini.
“Avez-vousun repos ? il ya quelque choseàvousmontrer, quelque chose de
beau
(apakah kamu sudah beristirahat ? ada sesuatu yang ingin kutunjukkan
kepadamu. Sesuatu yang indah) “, kata Pierre menoleh kepadaku
sambil menunjuk pemandangan dibawah tebing didekat kakinya.
“Pierre, J'étaistrès
soif
(aku sangat haus Pierre) “, kataku sambil menyeka peluh
yang bercucuran.
“J'ai apportédes boîtes de cafédansle sac à dos.prendreprès de chez vous (aku membawa kopi kaleng dalam
ransel ambil saja didekatmu) “.
Aku
menarik ransel Pierre yang tergeletak di tanah, setelah kubuka segera sekaleng
kopi menyembul dari dalamnya. Kuteguk kopi itu dengan nikmatnya, ternyata
dingin. Seketika itu juga dahagaku hilang berganti kesejukan yang manis dari
kopi kaleng. Setelah itu kuatur napasku dengan menghirup udara disini yang
begitu jernih dan bersih, karena letaknya yang setinggi 538 kaki maka puncak
Bukit Timah ini tidak tertutup kabut membuat udara terasa sejuk. Kakiku yang
sedari tadi terasa pegal sudah lebih baik setelah beristirahat beberapa menit.
Kuberanikan berdiri lalu melangkah mendekati Pierre, seketika itu juga
terhampar pemandangan indah yang tertangkap dipelupuk mataku.Aku dapat melihat
seluruh negara Singapore dari atas sini. Bukan karena bukit ini begitu
tingginya – karena jika dibandingkan dengan Gunung Salak di halaman belakang
Jakarta sesungguhnya ketinggian Bukit Timah tidak ada apa-apanya – melainkan
karena negara ini begitu kecilnya.
“Voir qu'il yaMarina Bay avec Marina Sand Bay pour décorer (lihat itu Teluk Marina yang
disana dengan Marina Sand Bay sebagai penghias) “, kata Pierre sambil menunjuk suatu titik biru di
kejauhan. “Età l'horizon estvotre pays (dan yang di horizon adalah negaramu)’’.
Aku
terpesona dengan segala pemandangan yang kulihat dari atas bukit. Tepat dibawah
kami sebuah telaga berwarna biru bak permata lalu
hutannya seperti bentangan permadani hijau. Dikaki langit Singapore ada puluhan
gedung yang menjulang tinggi bagai menara-menara dikejauhan, dengan deretan rumah-rumah
beratap merah yang kelihatan kecil tersembul dari tebalnya kabut yang
mengelilinginya. Lebih jauh lagi ada lautan biru dengan kapal-kapal yang tampak
kecil dari tempat kuberpijak mengapung membawa barang dan penumpangnya.
Sementara itu di cakrawala terhalang pulau hijau permai yang merupakan milik
negeri dengan julukan zamrud khatulistiwa, Indonesia.
Pierre
memggenggam tanganku sambil berkata, “etlevoyage a étéune zonede l'espace profond, comme l'incarnation dela compréhensiondela beauté à traversla
compassionet l'amourpour la beauté de (dan perjalanan itu seluas angkasa tanpa batas, sebagai
pemahaman keindahan perwujudan melalui rasa kasih dan cinta kepada keindahan
tersebut :Kahlil Gibran)’’.
Aku
terpaku lama memandangi bentangan alam tepat dibawah kakiku. Suara burung blackthroat bersiul-siul di atas pohon
albazia dengan tidak jemu-jemu. Angin lembah yang sejuk berhembus dari bawah
kami, membuat kering peluhku dan membawa pergi kelelahan tubuhku. Hembusan
angin itu lalu membuat pepohonan disekitar kami bergoyang bergemerisik
menciptakan melodi alam yang indah.
“Voulez-vous devenir mon
amie?(apakah kau mau menjadi kekasihku?)”, tanya Pierre
ditengah-tengah melodi alam yang indah itu.
Aku terpaku tidak tahu
harus berkata apa, wajahku memerah tersipu malu. Dengan perlahan aku lalu
menjawab,” Oui Pierre...Oui je fais(ya Pierre...aku bersedia jadi
kekasihmu)”.
Pierre
lalu melangkah kearah semak-semak
bunga mawar dibelakang kami, dipetiknya setangkai mawar merah. Kemudian dia
menuju pohon
fig yang rimbun, dipetiknya beberapa buah fig yang sudah masak, ungu dan empuk.
Lalu dengan susah payah dia juga
memetik pepaya kuning yang tinggi menggantung dipohonnya, sayang sekali pohon
pisang batu dipojok sedang tidak berbuah hingga Pierre tidak membawakan aku
pisang batu yang sepat manis. Dibelahnya pepaya dan fig dengan pisau lipat, segera daging buahnya yang harum membuat
kami meneteskan air liur. Kususul dia kebelakang, segera kami duduk berdua
dengan hanya beralaskan rerumputan hijau menikmati buah-buahan liar itu.
Rasanya sungguh manis dan berair, begitu sedap hingga menghilangkan dahaga dan
membuat mataku terpejam.
Sementara itu disematkannya bunga mawar merah liar yang dipetiknya di
telingaku.
Tidak
lama kemudian beberapa ekor macaca
berloncatan mendekati kami. Mereka yang tadinya bergelayutan di atas dahan
pohon shorea tampaknya mengetahui bahwa kami sedang mengadakan pesta
buah-buahan yang memang merupakan makanan kesukaan monyet-monyet berbulu
keabuan ini. Piere melemparkan beberapa buah fig ke arah mereka berharap mereka segera pergi.Lalu monyet-monyet
itu memungutnya dan tidak lama kemudian ikut asyik memakan buah fig yang dagingnya berwarna ungu dan
berbulir halus sedikit mirip bulir jeruk bali. Setelah makanan habis macaca akhirnya pergi begitu juga dengan
kami. Karena matahari di cakrawala sudah ingin tenggelam, semburat jingga
warnanya membuat kami bergegas menuruni bukit sebelum gelap.
Tidak terasa hari sudah senja sinar matahari yang tadi
cerah perlahan memudar menyisakan gelap yang menyusup ke dalam hutan tempat
kami berkemah. Thomas menambah kayu bakar agar api unggun tetap menyala dan
menyinari kami. Tendaku yang berwarna merah kini terasa sebagai tempat hangat
dan nyaman untukku yang baru saja menuruni bukit
dengan susah payah bersama Pierre. Kabut masih saja menutupi hutan
ini, tapi untunglah suasana hutan yang tadinya sunyi perlahan berubah sedikit
ceria dengan adanya suara jangkrik dan sesekali suara burung
hantu.
“Commentl'ascension? (bagaimana pendakiannya ?)”, tanya Thomas kepadaku yang sedang terbaring di dalam
tenda.
“Amusant, maisépuisante (asyik tapi melelahkan)’’.
Pierre
lalu melanjutkan pembicaraan sambil melemparkan beberapa buah fig kepada
Thomas, ceque j'ai apprisde lacolline, il ya
encore beaucoupdessus. Demainvous
allezy arriver, non?(ini aku petik dari puncak
bukit, masih banyak diatas sana. Besok kamu akan kesana kan ?).
“Oui, je vais y allerdemainsi la météos'améliore (ya aku akan kesana kalau cuaca lebih baik)’’.
“Que
voulez-vousdire?, c'était soleilsi brillantlà-haut (apa maksudmu ? itu
matahari di atas sana sangat cerah)’’.
Thomas
membentangkan tangannya sambil berkata, “nevoyez-vous pasce brouillards'aggrave? (tidakkah kamu lihat kabut ini semakin buruk ?)’’.
Aku
yang sedang berbaring terpejam di dalam tenda hanya dapat terdiam mendengarkan
percakapan mereka, tapi tentu saja kalau dipikir-pikir memang benar adanya apa
yang dikatakan Thomas. Kabut di negara ini semakin buruk saja selama dua hari
terakhir, membuatku kuatir dan bertanya-tanya. Apakah ini sebuah fenomena cuaca
atau suatu pertanda yang buruk sedang melanda negara ini.
“Ne pasdéranger,ce matinj'aientendu aux nouvellesà la télévision le brouillardest toujours un mystère. Cause est inconnue, doit êtrebientôt
disparaître (jangan dipusingkan, tadi pagi aku dengar di televisi kabut ini masih
misteri. Belum diketahui apa penyebabnya, pasti akan segera hilang)”, ujar Pierre sambil menepuk bahu Thomas, suaranya
terdengar ragu-ragu.
“J'espère bien (aku harap juga begitu)’’.
Kemudian
suara dentang kaleng terdengar beberapa kali, rupanya mereka sedang pesta bir
kalengan. Tidak lama tercium wangi daging bakar dari arah perapian. Jagung
ditusuk dan dibakar, ketika jagungnya matang mereka lalu membangunkanku dan mengundangku
makan malam.
“Veulent unépicés ousalés?’’ (mau yang pedas atau yang gurih ?)’’ tanya Pierre
kepadaku, disodorkannya jagung bakar yang harumnya mengundang selera itu.
“Eerr…épicée? (eerr…yang
pedas ?).
Seketika
itu juga Pierre melumuri jagung bakarku dengan saus botolan, sungguh tindakan
yang ceroboh. Sekarang jagung itu berlumuran saus sehingga terlihat merah dan
agak menjijikkan. Seharusnya tadi kuminta jagung yang gurih saja.
“He is a talented chef, am I right ? (dia koki
yang berbakat bukan ?)’’, kata Tomas sambil tertawa geli.
Karena
lapar kulahap saja jagung volcano yang diberikan Pierre kepadaku.
“Sial
pedasnya !’’, teriakku memecahkan keheningan dihutan ini.
Kami
bertiga lalu menyantap makan malam dengan riang gembira. Hawa dingin hutan yang
gelap menyergap kami saat itu, untunglah api unggun yang besar sedikit
memberikan kehangatan dan juga cahaya terang. Disekelilingku menggantung
akar-akar liana yang besar hingga kusangka ular yang sedang merayap. Pohon
palem tegak berdiri di belakang Pierre, kunang-kunang mengitari batangnya
hingga menciptakan efek cahaya kecil-kecil yang berputar dan melayang. Suara
burung hantu bertalu-talu setidaknya puluhan kali, tampaknya si penguasa malam
itu sedang bertengger dicabang pohon meranti merah yang tinggi menjulang di
seberang perkemahan kami. Paduan suara burung hantu dan jangkrik membuat
suasana suram di hutan ini menjadi lebih ceria, setidaknya lebih baik daripada
sunyi sama sekali.
Tiba-tiba tiga ekor kodok
melompat didepan kami, mereka sempat bernyanyi lagu malam sebelum akhirnya menghilang di balik
batu. Kutengadahkan kepalaku, di atas kami langit terlihat
sungguh jernih, bintang-bintang bertaburan bagaikan bubuk berlian putih. Diufuk
barat bulan sabit menggelayut manja menggoda kami dengan cahayanya yang kuning
keemasan. Aku bisa melihat bintang kejora yang gemerlap sekarang yang konon
sebenarnya adalah penampakan planet venus.
“Aprèsplus tard,nous sommes rentrésdans nos pays respectifs.sinous nous
reverrons (Setelah nanti kita kembali ke negara masing-masing, apakah kita akan
bertemu lagi ?)’’, tiba-tiba Pierre bertanya kepadaku, dia menatapku
lekat-lekat saat itu hingga aku terjerumus masuk ke dalam bola matanya yang
biru.
“Oh.. Pierre Je ne veuxpas parler del'éclatement(oh Pierre..aku tidak ingin
membahas soal perpisahan)’’.
“pasadieu..(bukan perpisahan)’’, Pierre menghela napasnya sebelum melanjutkan
kata-katanya kembali. ‘’maisquant à
l'avenir (tapi soal masa depan)’’.
“L'avenirest
un mystère, mais je suis sûrque nous nous reverrons. Peut-êtredansJakarta? (masa depan adalah misteri,
tapi aku yakin kita akan bertemu lagi. Mungkin di Jakarta)’’.
Thomas
tiba-tiba menyela pembicaraan kami,”ahh…we have no plan to go to Jakarta until the next one year. Too bad.. (ahh kami tidak ada rencana
sampai dengan tahun depan. Sayang sekali)’’.
“Yes too bad, I’m gonna miss you guys (ya sayang sekali, aku akan merindukan kalian
kawan-kawan)’’.
Lalu
Pierre yang tadi sempat menoleh kearah Thomas kembali menatapku sambil berkata,”mais sije vous laisse aller Je ne saurai jamais quelle est mavie serait. Je
tiens àvous tenirprès de moi (tapi jika aku membiarkan kamu pergi aku tidak akan
pernah tahu hidupku akan seperti apa. Aku ingin memelukmu dekat denganku)’’.
Aku
terdiam sesaat, memang rasanya sulit untuk berjumpa lagi dengannya kalau aku
sudah kembali pulang ke Jakarta. Tapi lalu harus
bagaimana ? Apalagi Perancis adalah negeri yang terletak nun jauh disana.
Negeri Eropa yang dingin dan jauh, entah kapan kubawa kakiku berpijak disana.
“Vous parlezde mon cœur, c'est pourquoi jetrouve qu'il est difficiled'être loin devous (kamu berbicara ke dalam
hatiku, itu sebabnya aku susah berada jauh darimu)’’, kata Pierre lagi.
Aku
merenungkan jalan yang akan membawaku pergi dan menjauh dari Pierre, pasti akan
berat nanti. Tapi kusingkirkan segala kegalauan hati itu, dan kuhela napasku
panjang-panjang sambil
memberikan secarik kertas yang berisi e-mail dan alamat rumahku kepadanya, “Vous pouvez m'appeler. ou
envoyez-moiune-mail et la lettre. Nousresterons ensemble (kamu bisa menelponku atau kirimi aku e-mail dan surat.
Kita akan selalu bersama)’’.
“Oui, c'estune vie moderne,
d'un frère. Ne vous inquiétez pas (Ya, ini adalah kehidupan
modern, bro. Jangan kuatir)’’, celetuk Thomas tiba-tiba, sekerat daging
panggang kemudian dia masukkan ke dalam mulut.
Desau
angin bertiup disekitar kami, Thomas merapatkan jaketnya yang berwarna hitam
itu. Pierre mencoba mengacak-acak api unggun dengan memindahkan sebatang kecil
ranting di dalam apinya. Lalu
dia menyimpan kertas yang kuberikan kepadanya, kemudian meminta nomer
teleponku.
Setelah
beberapa lama berpikir akhirnya Pierre kembali berkata kepadaku,’’ok, à condition que nousserons toujours
ensemble (baiklah asalkan kita akan selalu bersama)’’.
“ Ouaisc'est sûr. Je vous promets (iya pasti, aku berjanji kepadamu)’’.
Malam yang dingin dan
muram di Bukit Timah kami habiskan dengan berbincang-bincang tentang apa saja.
Mengenai rencana berlibur mereka ke Pulau Langkawi di Malaysia yang mereka
sebut sebagai pulau yang eksotis. Kemudian soal mengapa mereka enggan berlibur
ke Jakarta dalam waktu dekat, rupanya kemacetan yang mengular di ibu kota
Indonesia itu telah terkenal sampai ke Perancis hingga membuat kedua orang ini
tidak berniat berlibur kesana. Thomas juga bercerita soal keluarganya, dia tiga
bersaudara dan merupakan anak bungsu, menjelaskan sifatnya yang manja dan
konyol itu. Aku sendiri sedikit saja menceritakan soal negeriku yang gemah
ripah loh jinawi itu, supaya mereka tidak berpikir sempit hanya karena Jakarta
macet tidak terkira. Pierre sebaliknya enggan sekali bercerita soal
keluarganya, dia hanya bercerita soal petualangannya sebelumnya di Australia,
tanah gurun yang gersang dengan kangguru berlompatan dan koala bergelayut manja
dipohon eucalyptus.Di atas kami
langit semakin membuka pintunya, awan tipis yang melayang disana tersibak angin
hingga menghilang. Ribuan bintang gemerlap bersinar dengan nebula yang terlihat
seperti cahaya keunguan dari permukaan bumi menampakkan dirinya. Bulan sabit
kini telah bergulir dari ufuk barat ke atas kepala kami. Sinarnya kuning terang
membuat siapapun bertanya-tanya apakah ada negeri dongeng disana, negeri dengan
para peri berterbangan dan para liliput bernyanyi riang. Tidak disangka dari
arah barat kami melihat bintang jatuh berwarna merah, bintang itu bergulir
pelan menuju ke arah selatan.
“Make a wish Pierre....(buat permohonan Pierre)”, kataku kepada
kekasihku yang juga menyadari kehadiran bintang jatuh itu, bahkan Thomas
menunjuk ke arah langit mengisyaratkan kalau dia juga melihatnya.
“Me
faire confiance même dans l'obscurité de la nuit, vous n'êtes pas seul. parce
que de toutes les étoiles que je laisse vous accompagner jusqu'au bout de la
nuit (percayalah padaku
walaupun di gelap malam kamu tidak sendirian. Karena semua bintang yang
kutinggalkan temani kamu sampai akhir malam)”, kata Pierre kepadaku memecahkan
kesunyian
“Aku
ingin sekali percaya kepadamu kalau aku bisa”, jawabku dengan bahasa ibuku.
*******
Pagi
di Bukit Timah begitu ceria dengan mataharinya yang bersinar terang mengintip
dari celah-celah pohon dan rerimbunan daunnya. Tapi sayang seperti dugaan
Thomas semalam kalau hari ini kabut belum juga hilang. Di pucuk pohon meranti
merah di seberang kami burung bulbul berbunyi bersiul-siul sepanjang hari
dengan tidak jemu-jemu. Kami menyiapkan sarapan di pagi itu dengan kembali
menyalakan api unggun yang rupanya telah redup setelah semalaman dibiarkan
menantang angin malam yang kencang Tampaknya hamburger adalah pilihan sarapan
yang praktis ditengah hutan seperti ini. Tiga roti hamburger kukeluarkan dari
kemasannya, lalu kusiapkan daging dengan memanggangnya terlebih dahulu.
Saat
hendak memilah selada Thomas tiba-tiba berseru kepadaku,”make it five!...we eat too much, three hamburgers not enough for us
(masak lima!..kami makan terlalu banyak, tiga hamburger tidak cukup untuk
kami).
“Dasar
gembul”, aku menggerutu saat mengetahui nafsu makan mereka yang besar itu. Lalu
aku menambahkan dua roti hamburger lagi untuk diolesi mentega kemudian kubakar
sebentar diatas nyala api unggun.
Memasak
di tengah hutan memang memberikan suasana tersendiri, hawa yang sejuk di pagi
hari sangat bebas dari polusi membuat masakan yang kumasak jauh dari
kontaminasi. Apalagi Pierre menemukan ketimun liar dan stroberi liar yang tumbuh
didalam hutan yang kemudian dipetiknya dengan dengan hati-hati kemudian
diberikan kepadaku. Ketimun dan stroberi itu masih basah oleh embun pagi yang
sejuk dihutan ini. Sementara stroberi tersebut kuhidangkan sebagai pencuci
mulut, ketimun liar kuiris-iris beserta tomat yang kemarin kubeli di Bugis,
potongan buah-buah segar segar itu kemudian kuselipkan diantara potongan roti
hamburger. Setelah daging matang kuselipkan juga ditengah roti lalu kutambahkan
keju lembaran, jangan lupakan selada yang tadi sudah kupilah-pilah agar dengan
rapi bisa tertata diantara dua tangkup roti hamburger bertabur wijen. Wangi
hamburger yang menggugah selera tentu saja membuat Pierre dan Thomas tidak
tahan untuk segera memakannya. Tentu saja itu setelah kuoleskan mayonaise dan
saus tomat didalamnya. Khusus untuk Pierre yang gemar pedas, dia menambahkan
sendiri saus cabai diatas rotinya alih-alih didalamnya.
“Yummy...this is so savory. Crunchy and
delicious inside but soft outside, and don’t forget the chesee bring special
taste (yummy....ini sangat gurih. Renyah dan lezat didalam tapi lembut
diluar, danjangan lupakan kejunya yang memberikan rasa yang istimewa)”, kata
Thomas memuji masakanku.
Pierre
tampaknya juga menikmati hamburger buatanku, buktinya dia terus mengunyah tanpa
henti. Wajahnya memerah karena kepedasan, yah siapa suruh dia menambahkan saus
cabai diatas rotinya. Setelah semua orang kenyang – benar kata Thomas, mereka baru
berhenti makan jika sudah melahap dua hamburger – semangkuk stoberi menjadi
santapan kami selanjutnya, ditambah dengan susu segar dalam kemasan juga ikut
tandas sebagai minuman kami. Sungguh sarapan yang sedap, apalagi ditemani
nyanyian burung kutilang yang terdengar merdu dari dalam hutan. Api unggun
ditengah kami bederak-derak karena kayu besar yang kami jadikan bahan bakarnya
rupanya merupakan kayu yang sangat kering.
Saat
matahari mulai menanjak, Thomas kemudian bersiap untuk mendaki ke puncak bukit
seperti yang dikatakannya kemarin. Walaupun kabut tebal masih saja menutupi
hutan ini, dia merapatkan jaket dan meletakkan ranselnya dipunggungnya, sebotol
air dibawa dengan tangan kanannya, bertekad untuk tetap mendaki. Rambut
pirangnya terlihat mencolok karena tertimpa sinar matahari. Sementara menunggu
Thomas kembali dari pendakian, aku dan Thomas merapikan tenda serta
membersihkan perkemahan kami dari sampah plastik bekas bungkus makanan dengan
membakarnya habis ditengah api unggun. Baru kemudian api unggun yang mulai
masih menyala itu kami siram dengan air dan tanah agar padam.
Lama
juga menunggu Thomas kembali dari pendakiannya hingga tiga jam lamanya. Kami
habiskan waktu kami selama itu untuk menikmati keindahan sekitar perkemahan.
Rupanya tanpa aku sadari sebelumnya bahwa disekitar kami ada rerumpunan anggrek
liar yang menempel dibatang pohon seraya yang merupakan pohon berharga tinggi,
biasanya kayunya digunakan untuk bahan bangunan dengan kualitas wahid walaupun
masih dibawah kualitas kayu jati tentu saja. Pohon seraya di hutan ini memang
banyak walaupun begitu pohon ini harus bersaing dengan pohon lain yang
berukuran tidak kalah besar dengannya yaitu pohon keranji dialum dan merbau
intsia. Keranji dialum merupakan
pohon besar dengan daun lonjong lebar bergurat, pohon berbuah ungu kehitaman
ini tampaknya merupakan tempat favorit bagi common
tree sreew, mamalia mirip tikus hitam namun memiliki ekor berbulu tebal
yang hidup di cabang pepohonan. Karena buah keranji dialummemiliki rasa asam
manis yang disukai oleh binatang ini, dan kejutannya adalah buah keranji dialum rupanya juga bisa dimakan
oleh manusia. Sama dengan keranji dialum,
merbau intsia yang memiliki daun berbentuk oval berwarna hijau muda ini juga
dapat tumbuh menjulang tinggi didalam hutan hingga membuat kanopi hutan hujan
tropis yang sempurna. Apalagi bijinya yang bulat sedikit pipih dan berwarna
hitam itu begitu mudah terjatuh dari pohonnya hanya karena angin bertiup saja,
sehingga membuat merbau intsia dapat tumbuh menyebar dengan cepat. Bedanya buah
merbau intsia tidak dapat dimakan
manusia, tapi sepertinya hewan malam pengerat seperti landak menyukai buah ini
sebagai kudapan.
Matahari
sudah berada diatas kepala kami saat Thomas menampakkan batang hidungnya dari
balik semak-semak lili hitam tidak jauh dari perkemahan kami. Seraya dia
menyibak semak-semak, beberapa ekor plantain
squirelyang tadinya bersembunyi diantara rerimbunan lili hitam terlihat
berlarian kesegala arah. Wajah lucu Thomas terlihat kelelahan setelah turun
dari puncak, peluh mmembuat seluruh tubuhnya basah. Namun tampaknya dia
senang-senang saja karena telah mengalami petualangan mengasyikkan di atas
sana, setidaknya itulah yang dia katakan kepada kami. Dia juga membawa seikat
rambutan yang dia petik ditengah hutan, katanya dia memanjat pohon rambutan
yang tidak terlalu besar untuk mendapatkan buah dengan kulit berambut merah
ini. Sayangnya dia tidak menyadari kalau banyak semut rangrang mengepung pohon
itu, akibatnya bisa ditebak tubuh Thomas gatal-gatal digigit semut.
“This fruit so sweet, a little bit odd but
it’s juicy and delicious (buah ini sangat manis, sedikit aneh memang tapi
berair dan enak)”, kata Thomas menjelaskan tentang rambutan yang dibawanya.
Aku
senang saja menyantap rambutan yang memang merupakan buah favoritku ini,
apalagi ini jenis yang dagingnya renyah serta mudah telepas dari bijinya.
Membuatku merem melek menikmati sedapnya buah rambutan liar yang dibawa Thomas.
Berbeda dengan Pierre yang memperhatikan buah ini sambil mengernyitkan dahi,
memang penampilan buah yang unik bisa menimbulkan rasa keheranan bagi orang
yang belum pernah melihatnya apalagi menyantapnya. Tapi toh akhirnya Pierre
mengupas kulitnya juga lalu menggigitnya perlahan, air buahnya meleleh
didagunya.
“Après cela, nous allons vers le bas de la
colline....nyamm..nyam....(setelah ini kita ke bawah tebing..
nyam..nyamm....),” kata Pierre yang sedang asyik menikmati rambutan.”Hier, j'ai vu le lac en contrebas des
falaises de là-haut. Nous allons à la pêche au bord du lac (kemarin aku
melihat telaga di bawah tebing dari atas sana. Kita akan memancing di telaga
itu).
Demi
mendengar ajakan Pierre, Thomas bersorak senang tidak terkira,” Hourra, c'est le plus beau jour de ma vie(hore,
ini adalah hari terbaik dalam hidupku).
Aku
hanya tersenyum saja, pasalnya aku baru mengetahui hobi Thomas ini. Rupanya di
Perancis dia senang menghabiskan waktunya memancing di danau, setidaknya itu
menurut Pierre yang bercerita kepadaku saat kami menuruni bukit melewati jalan
setapak yang berlumpur dan licin. Semak-semak pakis gajah yang menutupi jalan
setapak kami sibak demi dapat berpijak lebih mantap. Piere memegangi tanganku
agar aku tidak terjatuh di jalan setapak yang licin itu. Kemudian kami melewati
rerimbunan pohon bambu yang berjajar dikanan dan kiri jalan setapak, daunnya
menutupi langit-langit hingga sinar matahari tidak mampu menembusnya. Sedikit
jauh melewati rerimbunan bambu kami menemukan sebatang pohon nangka yang
tumbang menutup jalan kami.
“Watch out to that animal, don’t step on it (hati-hati terhadap
binatang itu, jangan menginjaknya)”, seru Thomas tiba-tiba mengejutkan kami.
Rupanya saat kami
sedang berhati-hati melangkahi sebatang pohon nangka yang tumbang ituseekor
trenggiling seketika melintas di depan kami menuju ke arah buah nangka yang
matang tergeletak di tanah. Dengan cekatan trenggiling itu memeluk si buah
nangka yang berdaging kuning lembut dan manis kemudian mengunyahnya
cepat-cepat, sungguh lucu melihatnya.
Akhirnya
kami tiba di telaga yang airnya tampak berwarna hijau spring dari dekat. Alang-alang tinggi mengelilinginya hingga kita
harus cermat untuk menemukan telaga ini. Beruntung ada jalan setapak membelah
padang alang-alang hijau itu, jalan yang jika kita ikuti akan membawa kita ke
sebuah bungalow dari kayu tanpa atap di tepi telaga. Aku bisa menjulurkan
tanganku menyentuh air telaga ini jika kubungkukkan badanku dari atas bungalow.
Airnya sangat dingin dan jika kupandang lama aku merasa seolah ditarik
kedalamnya, mungkin karena bayanganku terefleksi dipermukaannya yang jernih
itu. Jika kupandang jauh diseberang telaga ada banyak sekali pepohonan besar
berdiri rapat, sehingga diantara pepohonan itu hanya ada bayangan gelap tidak
ada cahaya yang dapat menembusnya. Awan putih tipis menutupi langit biru diatas
kami, sesekali burung gagak terlihat terbang melintas disana. Ikan-ikan kulihat
sesekali berenang ke atas permukaan telaga yang tertutup kabut putih, seolah
menggodaku dengan gerakannya yang gemulai berenang di air yang tenang. Thomas tentu sajabegitu senang saat melihat
ikan-ikan itu. Tampaknya dia berharap mendapat banyak tangkapan untuk dibakar
diatas api unggun yang sedang disiapkan Pierre. Ikan bakar sebagai makan siang
adalah kesukaan orang Perancis.
“You can help Pierre collecting sticks to
make fire. Let him find the biggest one, you can find the lighter one. Easy, am
I right? (kamu bisa membantu Pieree mengumpulkan ranting pohon untuk
membuat api. Biarkan dia menemukan batang pohon yang besar, sementara kamu cari
yang ringan saja. Mudah bukan?)”, kata Thomas saat dia sedang menyiapkan alat
pancingnya, digalinya tanah gembur di tepi telaga untuk menemukan cacing gemuk
yang akan dijadikan umpan ikan.
“It will easier if you use artificial worm, I think fish doesn’t know the
different. Beside using a living worm looks jorok(akan lebih mudah
jika kamu menggunakan cacing buatan, aku pikir ikan tidak akan tahu bedanya.
Lagi pula menggunakan cacing hidup terlihat jorok)”, aku berkomentar saat
melihat Thomas menusuk seekor cacing tanah panjang ke pengait di alat
pancingnya.
“Ahh..artificial worm has no smell, fish wont
realized. And it will make me wont get nothing, I’m hungry now want to eat fish
for lunch (aaah....cacing buatan tidak berbau, ikan tidak akan
menyadarinya. Dan itu akan membuatku tidak akan mendapatkan apapun, aku sedang
lapar sekarang dan ingin makan ikan sebagaisantap siangku)”.
Aku
hanya geleng-geleng kepala saja mendengar ucapan Thomas, sementara Pierre sibuk
mengumpulkan kayu bakar. Sesekali karena susah menemukan kayu dia kemudian
mencabuti ilalang lalu ditumpuk bersama tumpukan ranting kering yang mana itu
membuat Thomas kesal karena menurutnya ilalang yang basah hanya akan merusak
cita rasa dari ikan saat dibakar nanti, lagipula apinya juga akan sulit menyala
dengan ilalang segar sebagai bahan bakarnya. Untuk masalah ini aku setuju
dengan Thomas. Walaupun itu artinya aku jadi ikut bersusah payah mengumpulkan
ranting kering demi bahan bakar api unggunnya. Kucari agak ke tengah sekumpulan
pohon-pohon albazia, percuma saja karena pohon ini berkayu lembut tidak cocok
untuk dibakar guna nyala api dalam jangka waktu yang lama. Tapi toh Pierre
tetap saja menyuruhku memungutnya.
“Mieux
que pas du tout de bois (Lebih baik daripada tidak ada kayu sama sekali)”, kata
Pierre sambil menunjuk-nunjuk ranting-ranting albazia yang jatuh berserakan di
tanah.
Rupanya
keberuntungan ada di pihak Thomas tidak lama setelah dia melemparkan kail
tiba-tiba tali pancingnya ditarik seekor ikan yang kelihatannya berukuran
besar, pasalnya Thomas menarik pancingannya kuat-kuat dan si ikan belum juga
sampai dipermukaan. Baru berselang sepuluh menit si ikan berhasil ditarik
keluar kemudian ditusuk dengan joran pendek, kulihat ikan lele besar
menggelepar di bawah kaki Thomas yang terkejut karena mendapati pancingannya
disambar ikan yang bisa mematil tangan manusia itu. Segera dia memasukkan ikan
ke dalam ember yang kemudian diatas penutupnya ditahan dengan batu besar agar
ikan tidak meloncat keluar.
“I hope for the gold fish ...not cat fish.
This is funny, look at her she has whisker! (Aku berharap mendapatlan ikan mas..bukan ikan lele.
Ini lucu, lihat dia punya kumis)”, Thomas menunjukkan isi embernya kepadaku
sambil berseru.
Aku
terkekeh melihat ikan lele yang menggeliat di dalam ember, berbeda dengan Pierre
yang justru tampak antusias melihat hasil tangkapan Thomas itu. Yang pada
akhirnya membuatnya tambah semangat mengumpulkan ranting dengan ukuran lebih
besar lagi sambil membayangkan nikmatnya lele bakar sebagai makan siang.
Apalagi dia menemukan sekumpulan jamur merang yang tumbuh dibalik tanggul pohon
di hutan yang gelap dan lembab dekat telaga, dipetiknya jamu merang itu
kemudian dicuci di air telaga untuk kemudian diolesi dengan mentega siap
dibakar sebagai teman lauk ikan nanti. Ada beberapa kentang di dalam ransel
yang akhirnya kubungkus dengan kertas aluminium sebelum kuletakkan ditengah api
unggun yang dengan sekejap dinyalakan Pierre. Sambil menunggu kentang dan
jamurnya matang, kucuci apel, jeruk dan pisang yang kemarin kubeli di Bugis
sebagai pencuci mulut. Saat kutata buah-buahan itu diatas daun teratai yang
kupetik dari pinggir telaga, Pierre melihatku dikepung serangga mulai dari
nyamuk hingga lalat buah dan belalang. Dia membantuku mengusir para serangga
nakal itu, namun apa daya akhirnya serangga-serangga itu berganti arah terbang
mengelilingi Pierre.
“ That because you have not shower yet. Make
you smell bad and bugs like stinky things (Itu karena kamu belum mandi.
Membuatmu bau dan serangga suka hal yang bau)”, celoteh Thomas saat melihatku
mengibaskan setangkai daun rambutan yang jatuh di tanah demi mengusir nyamuk
yang hinggap di tubuhku.
Aku
merasa malu disebut bau oleh Thomas jadi kupukul lengannya keras-keras, dia
meringis mendapati lengannya merah-merah kemudian dia nyengir kuda dihadapanku.
Tapi setelah kupikirkan memang dari tadi pagi aku belumlah mandi mengingat
tidak adanya fasilitas kamar mandi di hutan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk
menceburkan dirike air telaga yang dingin agar tubuhku yang lengket ini bisa
segera bersih dan segar. Namun apa daya niat itu kuurungkan karena Pierre
mencegahku.
“Baignade dangereuse dans le lac, l'eau est
profonde et boueuse vous pourriez noyer . Tu ferais mieux de l'utiliser comme
un pot de louche chercher de l'eau du lac et puis vous tirez sur le corps. mais
vous baigner dans le bungalow, ne pas plonger dans le lac(Berbahaya mandi di telaga, airnya
dalam dan berlumpur kamu bisa tenggelam. Lebih baik kamu menggunakan panci ini
sebagai gayung untuk mengambil air dari telaga lalu kamu siram ke tubuhmu. Tapi
kamu mandinya di bungalow itu ya, jangan sampai tercebur ke telaga)”, Pierre
menjelaskan sambil memegangi lenganku untuk mencegahku masuk ke dalam air. “Cette mine d'usure de savon. parfum est
également adapté pour les femmes parce que pas trop masculin(Ini sabunnya pakai punyaku, wanginya
juga cocok untuk wanita karena tidak terlalu maskulin)”.
Aku mengikuti saran
Pierre, memang berenang di telaga bisa beresiko tenggelam jika tidak hati-hati,
dan lagipula aku bukan perenang yang handal. Jadi aku beranjak ke bungalow yang
barlantai kayu oak itu, membuka kaus kuningku hei..tunggu aku kan tidak mungkin
melepaskan pakaianku begitu saja didepan dua orang lelaki. Jadi aku sembunyi di
balik ilalang agar tidak terlihat Thomas dan Pierre baru kulepas pakaianku dan
langsung kambil air dari telaga dengan panci lalu kusiram ke tubuhku.
“Do
not get here I’m in shower, I wear nothing! (jangan kesini ya aku sedang
mandi, tidak mengenakan apapun!)’’, teriakku kepada Thomas dan Pierre berharap
mereka tidak melihatku yang sedang mandi, yah walaupun tentu saja aku masih
mengenakan pakaian dalam dan tidak polos sama sekali.
“We
understand, do not worry! Hehehe ...(kami mengerti jangan kuatir!
Hehehe...)”, jawab Thomas dengan lantang, tampaknya dia tidak serius dengan
ucapannya.”Beside we are cooking some
gold fish and this funny fish errr...I mean this cat fish. Do you want it?
(lagipula kami sedang memasak ikan-ikan emas ini dan ikan lucu ini
errrrr...maksudku ikan lele ini. Apa kamu mau?)”.
“Maybe
later.. (mungkin nanti)”.
Air telaga begitu dingin dan segar
saat menyentuh tubuhku. Tepi telaga ini beralaskan rerumpunan daun semanggi
yang sebenarnya berguna untuk membuat tanah dibawahnya tidak licin jika
dipijak. Tapi apa daya aku tetap saja terpeleset beberapa kali dan akhirnya
terpelosok kedalam telaga. Untungnya aku tidak sampai ketengah sehingga lumpur
kecoklatan didalamnya tidak menjebakku. Beberapa ekor ikan gabus kulihat
menari-nari didalam telaga, sayangnya tidak lama kemudian seekor elang hutan
menyambar satu ikan gabus yang paling gemuk untuk kemudian dibawa terbang ke
sarangnya yang berada diatas pohon meranti. Mungkin burung pemangsa ini punya
anak-anak yang perlu diberi makan. Selain itu aku juga melihat seekor ular
hijau meliuk-liuk melintasi danau, mungkin dia juga suka ikan seperti anak-anak
si burung elang. Namun rupanya dugaanku salah karena si ular hijau berenang ke
arah daun teratai yang diatasnya ada seekor katak sedang bersantai menikmati
cerahnya matahari. Dan dalam sekejap saja katak malang itu dilahap oleh sang
ular, membuat air telaga beriak karena gerakan cepat sang ular saat menyergap mangsanya.
Selesai mandi aku lalu bergegas
menuju ke perapian berharap agar tubuhku yang menggigil karena mandi air dingin
bisa hangat kembali. Sesampainya di perapian yang hanya berjarak sepuluh
langkah dari tepi telaga kulihat Thomas dan Pierre sedang asyik membakar ikan
mas, mereka duduk membelakangi telaga yang mana itu membuatku lega karena
artinya mereka tidak dapat melihatku mandi. What
a gentleman (lelaki yang baik).
“Have
you finished cooking that fish? (apa kalian sudah selesai memasak
ikannya?)”, tanyaku kepada Thomas ketika aku sudah duduk diantara mereka
didepan perapian.
“Almost
done ....how is the water, cold?Because I want to get shower after you
(hampir selesai ...bagaimana airnya, dingin? Karena aku mau mandi juga setelah
kamu).
Aku lalu menjawab pertanyaan Thomas
sambil menaburkan daun kering yang kudapat disekitarku ke dalam perapian, “The water cold but fresh, no problem with
that. I guess it will perfect for you (airnya dingin tapi segar, tidak ada
masalah dengan itu. Aku rasa airnya cocok untukmu)”.
Angin lembah berhembus kencang
membuat api unggun meliuk-liuk ditiup angin. Pierre cepat-cepat memasukkan
jamur merang belumur mentega kedalam api, takut apinya padam ditiup angin.
Untunglah angin nakal hanya sebentar saja, yang justru setelahnya malah membuat
nyala api membesar. Ditambahkan ranting-ranting kedalamnya supaya nyala api
lebih lama. Dengan api yang menyala menjalar membakar jamur dan ikan membuat
semua masakan cepat matang. Kami lalu menyantap makan siang kami dengan lahap
ditemani nyanyian burung jalak dari pepohonan didekat kami dan sesekali melodi
dari katak-katak penghuni telaga. Jamur merang yang renyah dan berlemak mentega
sungguh membangkitkan selera sebagai hidangan pembuka.
“Carpe fraîche et le poisson-chat
sont doux et salé sel semé et le poivre noir a une saveur et un arôme du parfum,
approprié pour le déjeuner au milieu de la jungle.(Ikan mas dan lele segar
yang lembut dan gurih ditabur garam serta lada hitam memiliki cita rasa
tersendiri serta aroma yang harum, cocok untuk makan siang di tengah hutan
rimba)”, Pierre memberikan seekor ikan mas bakar kepadaku untuk disantap. “Le dessert était orange, banane et de pomme,
juteuse et sucrée rend l'ensemble du déjeuner ensemble est un parfait(Hidangan
penutupnya adalah jeruk, pisang dan apel, rasanya manis dan berair membuat
seluruh rangkaian santap siang ini menjadi sempurna)”.
Apalagi setelah itu kami meneguk air mineral segar yang kami bawa dari
Bugis terasa melegakan dahaga. Tidak mengherankan jika sehabis makan kami semua
benar-benar merasa kenyang tanpa cela. Tidak lama kemudian seekor kelinci
melompat-lompat disekeliling kami, itu membuat Thomas ingin menambahkan menu
kelinci panggang ke acara makan siang ini.
Tidak terasa hari sudah sore setelah
Thomas memanggang kelinci itu dan memakannya sendirian ditambah dengan kentang
panggang – perutku dan Pierre sudah penuh sekali dan tidak sanggup makan lagi—
setelah itu kami beranjak dari telaga kembali pulang ke Shophouse Hostel. Api kami padamkan telebih dahulu, dan sampah
makanan kami bereskan agar tidak mengotori cagar alam Bukit Timah ini. Kami
melewati jalan yang sama seperti awal kami sampai di telaga, menembus pohon
rotan yang berduri, melompati pohon nangka yang tumbang dengan kali ini
nangkanya sudah habis dimakan trenggiling, berjalan dijalan setapak yang licin
diantara pohon albizia menuju ke gerbang keluar cagar alam. Matahari sudah
hampir tenggelam saat itu sehingga membuat kami mempercepat langkah atau kami
disergap kegelapan malam. Saat kami keluar dari arena Bukit Timah sekelompok
kera sedang menaiki atap mobil milik sekeluarga pelancong yang baru saja tiba
dilapangan parkir sama seperti kami, kasihan keluarga itu apalagi mereka
terlihat sangat terkejut saat mendapati seekor kera bergelayut di kaca spion.
Dan yang tidak kalah membuat kami terkejut adalah kami melihat Jermiah dan Jane
bergandengan tangan baru saja keluar dari cagar alam, mereka terlihat mesra
sekali seolah tidak pernah bertengkar malam sebelumnya. Kami sempat
berpandangan dengan mereka yang tersenyum melihat kami. Aku dan Pierre saling
melirik, kami bahagia melihat pasangan suami istri tersebut telah rukun
kembali.
No comments:
Post a Comment