Hidden Paradise
Pagi akhirnya tiba, matahari dengan genit mengintip
dari balik awan tebal dilangit, tanah diluar begitu basah begitu pula dengan
daun-daun pepohonan semua karena hujan deras tadi malam. Semua orang masih
teringat pertengkaran tadi malam, buktinya saat Jane melangkah ke Breakfast Room semua orang
memperhatikannya. Tiga perempuan cina yang menginap di lantai tiga bahkan
menunjuk-nunjuk dia, tampaknya semua tamu di hostel ini sudah mendengar tentang
kegaduhan semalam. Jane sebaliknya tampak tenang seperti biasa seolah tidak ada
yang terjadi semalam, dia bahkan tampak menikmati sereal cokelatnya yang
disiram susu putih. Nali dan Timmy mengajaknya bicara soal semalam, namun Jane
enggan mengungkit masalah itu hingga mereka bertiga akhirnya berakhir dalam
kegiatan sarapan yang canggung.
Pagi ini tampak agak berbeda dari biasa, suasananya
berkabut tebal padahal hari-hari yang lalu tidak seperti ini. Kabut ini bahkan
agak berbau aneh seperti bau kayu terbakar, namun aku mencoba untuk berpikir ke
arah yang lebih logis seperti faktor cuaca atau mungkin pengaruh hujan semalam
membawa kabut turun dari langit?. Seorang pegawai di hostel ini anehnya
terlihat panik dia berlari ke atas atap lalu mencoba memandang sekeliling kota
yang terletak dibawahnya, sia-sia tentu saja karena kabut menutupi pandangan.
Tidak lama kemudian dia turun kelantai satu setelah menabrak Raj yang sedang
membawa segelas teh manis hangat hingga tumpah. Namun daripada marah dengan si
penabrak, Raj dengan sembarangan menaruh gelas di pinggir meja lalu mulai
memotret keadaan sekitarnya yang tertutup kabut putih.
“یہایکمظاہرہے(ini sebuah fenomena)”, gumamnya.
Tidak berapa lama kemudian dia mengajak gadis-gadis
untuk berfoto bersamanya, dengan meminta tolong Thomas untuk memegang kamera handphonenya dan mengambil gambar.
Hasilnya? foto-foto digital yang dramatis.
“What is your
plan today with a fog like this? (apa rencana kamu hari ini dengan kabut
seperti ini?)”, tanya Bob kepada Sella, keduanya sedang duduk dipinggir balkon
melihat gedung-gedung di kejauhan yang tampak tenggelam oleh kabut tebal. Aku
yang saat itu sedang melahap roti bakar selai blueberry duduk di belakang mereka sehingga bisa mendengar
percakapan mereka.
Sella lalu menjawab dengan wajah muram,“I’m working today so I cannot come with your
travelling, so sad (aku bekerja hari ini sehingga aku tidak bisa ikut
dengan perjalananmu, sungguh sedih)”.
“Hey!”,
tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, aku menoleh kebelakang kulihat Thomas
nyengir kuda sambil memegang sekerat bacoon
yang ditusuk digarpunya. “Pierre ask us
to get to the bird park, must be fun. Are you coming with us? (Pierre ajak
kita bertiga ke Taman Burung, pasti seru. Apa kamu mau ikut dengan kami?),
tanya Thomas, kemudian dia melahap bacoonnya.
Aku berpikir sejenak, pergi ke Taman Burung dengan
cuaca seperti ini, bagaimana ya.”Okay
guys I’m coming with you, but after we get breakfast outside.I feel bored with the
menu at this place. I mean I would like to tried something else like peking
duck? (oke aku ikut dengan kalian tapi setelah kita mencari sarapan diluar.
Aku merasa bosan dengan menu di tempat ini. Maksudku aku ingin mencoba sesuatu
yang lain seperti bebek peking misalnya)”, jawabku.
Thomas langsung melirik Pierre setelah mendengar
jawabanku, rupanya Pierre sedang asyik melahap sandwich isi keju dan tuna, dia lalu mengeluarkan jari jempol dalam
genggamannya pertanda memahami maksud lirikan Thomas. Aku tersenyum saja
melihat mereka berdua, yang diberikan senyum malah menjulurkan lidahnya
kepadaku hehehe.
Satu jam kemudian kami bertiga telah
siap. Aku menggunakan rok jeans biru
dengan t-shirt pink bermotif bunga,
agaknya sedikit parfum akan menambah ceria busana ku. Pierre menggunakan celana
selutut dari bahan tebal dan t-shirt
hijau tua, tampak kontras dengan matanya yang biru. Sementara Thomas juga
menggunakan celana pendek namun t-shirt
nya berwarna merah bata, kedua sekawan ini sama-sama menggunakan sandal gunung.
Kami berangkat jam sembilan pagi, saat seharusnya matahari bersinar cerah namun
yang terjadi adalah hawa yang dingin berkabut hingga matahari tidak tampak
penuh. Tapi sebelum kami memulai perjalanan kami singgah terlebih dahulu di
sebuah kedai masakan china di daerah bugis. Aku memesan bebek peking idamanku,
cukup sepotong saja tidak sampai satu ekor utuh sudah membuatku terbuai karena
kelezatannya apalagi harganya cukup terjangkau hanya S$7. Thomas dan Pierre
ikut memesan menu yang sama seperti menu pesananku, sementara untuk minuman jus
jeruk dingin seharga S$2 menjadi pilihan kami bertiga.
Setlah kenyang barulah kami
melanjutkan perjalanan. MenujuJurong Bird
Park sangat mudah, kami menggunakan MRT lalu turun di stasiun Boonlay. Setelah itu kami ke Bus
Interchange lalu menggunakan bus nomer 194, perjalanan hanya memakan waktu
kurang dari satu jam. Harga tiket masuk ke Taman Burung ini S$18 cukup
terjangkau untuk backpaker seperti kami.
Jurong Bird Park sendiri sebenarnya
semacam kebun binatang hanya saja isinya semuanya burung. Ada 5000 burung yang
dilindungi di taman yang merupakan surga burung terbesar di Asia ini. Sungguh
sebuah surga tersembunyi di Singapore. Begitu memasuki gerbang kami menyusuri
jalan hingga mendapati diri kami berada di terowongan bunga, dimana diatas kami
tertutup oleh bunga-bunga berwarna ungu, biru, dan kuning yang mekar diantara
semak-semak hijau mahogandi. Sesekali melesat burung-burung berwarna kuning,
kutebak mereka adalah burung kenari, sungguh menggemaskan melihat mereka
berterbangan kesana-kemari dengan bebasnya. Lepas dari terowongan ada lapangan
rumput yang begitu asri, tertutup kabut tebal tidak membuat keindahan di taman
burung ini berkurang. Burung merak yang anggun bercanda riang di padang rumput
ini, sesekali di rentangkannya ekornya yang berwarna-warni itu saat melihat
merak betina, sungguh burung yang cantik. Para pengunjung yang lain juga tampak
terpukau melihat keindahan burung merak yang konon katanya asli dari Indonesia.Apalagi
Thomas dan Pierre yang berasal dari benua biru membuat mereka sangat jarang
melihat spesies burung seperti ini di negara mereka, tidak bisa dipungkiri
itulah yang membuat Thomas tidak bisa berhenti memotret.Kicauan burung murai
terdengar merdu dari kejauhan, membuatku penasaran ingin melihat burung yang
bentuknya mungil itu. Akhirnya keinginanku tercapai, dibalik semak-semak bunga
berembang burung-burung itu hinggap. Pierre sangat gemas melihat si kuning
kecil murai yang bersiul tanpa henti sehingga di tangkapnya burung itu satu
digenggaman tangan. Aku terkejut karena takut tindakan Pierre itu dilarang di
taman ini, namun tampaknya tidak seorang pun memperhatikannya. Si murai malah
tampak senang berada di genggaman Pierre alih-alih meronta burung kecil itu
bernyanyi simfoni alam. Pierre lalu mengelus kepala burung itu, aku yang
awalnya geli sekarang ikut mengelus burung yang sayapnya berwarna hitam ini.
Bulunya begitu halus, dan tampaknya burung mungil ini juga menikmati dimanja
oleh Pierre, buktinya si mungil ini mengangguk-angguk tanpa henti. Setelah
beberapa saat bercengkerama dengan burung murai ini, Pierre akhirnya melepaskannya.
Si kecil kuning itu kemudian terbang ke arah pepohonan lalu hinggap di
cabangnya yang rapuh.
Perjalanan kami berlanjut menuju
habitat elang hutan yang tersohor akan keganasannya. Tebing-tebing buatan
menjulang dari tanah merah dibawahnya, dicelahnya burung-burung elang bersantai
sambil sesekali mengamati kami. Tiba-tiba seekor burung elang terbang membentuk
formasi lingkaran di atas kepala kami, sayapnya merenggang lebar membuatnya
mampu terbang dengan cepat. Seekor tikus bodohnya tidak menyadari kehadiran
elang yang sedang berpatroli ini, tikus cokelat yang gemuk itu keluar dari
lubangnya dibawah tanah untuk mencari makan. Malang sekali bagi tikus karena
sudah bisa ditebak bahwa nasibnya akan berada diujung tanduk jika dia terlihat
oleh mata elang yang jeli. Bukan main, begitu elang ini melihat tikus itu
langsung dia menukik tajam dari angkasa dengan kecepatan tinggi, gerakan
akrobatik yang dilakukannya sungguh dengan perhitungan yang tepat.Rupanya tikus
kurus itu menyadari datangnya bahaya hingga dia sempat berlari kebalik batu
hitam, namun terlambat elang sudah menentukan targetnya dan jika itu sudah
terjadi maka tidak ada satu binatang pun yang dapat lolos dari cengkeramannya.
Seketika itu juga tikus itu dicabik-cabik tanpa ampun oleh elang yang perkasa,
aku tidak tega melihat tikus itu digigit oleh paruh sang elang lalu dimakan
sepotong demi sepotong. Sungguh pemandangan yang mengerikan dan membuatku mual.
Namun untuk anak lelaki peristiwa itu malah menjadi tontonan yang mengasyikkan,
buktinya Pierre bertepuk tangan atas atraksi elang yang memukau itu. Sedangkan
Thomas merekam dengan video dari awal sampai akhir.
Tidak tahan melihat darah berceceran
dimana-mana akibat kegiatan memangsa dan dimangsa itu, aku akhirnya memaksa
Thomas dan Pierre beranjak dari habitat elang hutan. Menuju kanopi setinggi
sepuluh meter diatas lembah yang penuh pepohonan, jembatan gantung yang terbuat
dari kawat bercat putih ini terentang sejauh 200 meter. Aku sungguh tidak sabar
melintasi jembatan gantung yang lebarnya hanya muat oleh satu sampai dua orang
saja. Jembatan ini sedikit bergoyang saat kami berpijak diatasnya, menegangkan
memang karena dibawah kami tebing curam yang dengan pepohonan bercabang tajam
sudah menanti jika kami terjatuh. Untunglah keselamatan diutamakan di jembatan
ini, karena talinya terbuat dari baja yang dikaitkan juga dengan tiang baja di
tiap ujung jembatan. Dari atas jembatan
kaki langit taman burung bisa terlihat dengan jelas, kebanyakan tertutup
rimbunnya pepohonan, lainnya adalah padang rumput hijau belaka, dikelilingi
kabut putih yang tebal. Langit yang biru tanpa awan ada di cakrawala, angin
semilir berhembus lemah. Ditengah perjalanan kami berjumpa dengan banyak burung
Nuri berwarna–warni, ada yang hijau, kuning dan merah. Mereka hinggap di tali
jembatan gantung yang terbuat dari baja, berjalan kesana kemari dengan dua
kakinya yang bercakar tiga, mengeluarkan suara ribut sekali. Untunglah kabut
tidak sampai melayang keatas dan menutupi jalan kami di kanopi hingga pandangan
kami di atas sini jelas dan tidak terhalang putihnya kabut. Di sisi kanan kami
lihat ada sebuah mangkuk berisi makanan burung berbentuk kapsul-kapsul berwarna
cokelat bertekstur kasar. Thomas mengambil segenggam makanan burung dan
dibukanya telapak tangannya lalu disodorkan kedepan burung-burung lucu itu.
“Voici...birdybirdy..viennent
àpapa(kesini burung-burung ...datanglah ke ayah)”, kata
Thomas seraya membujuk burung-burung itu datang kepadanya.
Langsung saja sepasukan nuri kuning dan hijau menyerbu
tangan Thomas, mematuki makanan ditelapaknya dengan riang. Pierre hanya
tertegun melihat peristiwa itu. Sementara aku hendak meniru Thomas namun sayang
makanan burung dalam mangkuk sudah dihabiskan oleh burung-burung nuri berwarna
merah dalam sekejap.Pierre akhirnya mengelus-elus punggung burung-burung nuri
itu, yang dielus diam saja dan tidak marah malah senang. Keriuhan mereka
benar-benar menjadi tontonan seru, hingga kami beranjak melanjutkan perjalanan
menyusuri kanopi burung-burung nuri itu bersiul kencang seolah tidak mau
ditinggal pergi.Ditengah-tengah kanopi ada bungalow kecil yang di sangga tiang
besar di bawahnya, atapnya terbuat dari jerami dindingnya terbuat dari kawat
tebal yang dijalin menyerupai jaring untuk mencegah pengunjung jatuh ke bawah
jurang. Kami beristirahat sejenak disana, sekedar melepas lelah dan meneguk air
mineral yang dibawa Thomas dalam ranselnya. Tiba-tiba dari kejauhan terbang
mendekat segerombolan hairy emperor,
capung berwarna biru dan hijau metalik. Ini pertama kalinya aku melihat
spesimen hidup dari jenis capung bernama latin Anax Guttatus ini. Biasanya mereka hidup didekat aliran sungai
bersih yang mengalir, sungguh jarang capung jenis ini terbang tinggi hingga ke
atas pucuk-pucuk pohon.
“ Do you want some? (apa kamu mau ini?)”, tanya Thomas sambil
menyodorkan sebungkus biskuit lapis selai stroberi kepada ku.
Aku sedang enggan mengunyah camilan, jadi aku berkata
kepadanya,” No thank you, you can give it
to bird perhaps the gonna like it (tidak terimakasih, kamu bisa berikan itu
ke burung-burung mungkin mereka akan menyukai nya)”.
Tanpa diduga Pierre langsung mengambil bungkusan
biskuit itu dari tangan Thomas. “Nyamm...nyaamm...c'estdélicieux(Nyamm...nyammam...ini sedap)”, katanya
dengan mulut penuh biskuit.
Tampaknya dia agak lapar setelah dua jam menjelajahi Jurong Bird Park ini hingga melahap dua
keping biskuit sekaligus. Angin semilir kembali berhembus kali ini membuat
sejuk tubuh kami yang basah bermandikan keringat. Aku menikmati benar sensasi
hembusan angin yang turun ke lembah dibawah kami. Hingga tidak terasa mataku
terpejam dan hampir saja membuatku terlelap tidur. Beruntung Pierre menggoncang
pelan pundakku, aku kembali terjaga dan langsung berdiri bersamanya dan Thomas
lalu melanjutkan perjalanan kembali.
Hampir sampai ke ujung jembatan kami berpapasan dengan
sekeluarga Arab dengan anak lelaki mereka yang lucu menggenggam pesawat mainan.
Si anak merengek minta turun dari jembatan, tampaknya dia takut ketinggian.
Kami hanya tersenyum saat melewati keluarga itu, terlihat sang ayah kesulitan
menenangkan anaknya yang sedang ketakutan itu. Kemudian kami berjumpa dengan sepasang
burung Rainbow Lorrie yang sedang
asyik bermesraan di tali jembatan. Burung ini sangat cantik sekilas mirip betet
yang membedakan adalah tubuhnya berwarna bak pelangi merah, jingga, kuning,
hijau, biru dari ujung kepala sampai ekor, tidak seperti betet yang hanya
memiliki satu warna mencolok saja. Seperti biasa Pierre penasaran ingin
mengelus punggung burung-burung manis ini, sial baginya kali ini jarinya
dipatuk paruh burung hingga terkejut dia dibuatnya dan urunglah dia menyentuh
si Rainbow Lorrie. Aku dan Thomas
tertawa terpingkal-pingkal melihatnya, Pierre merengut karena ditertawakan
kami.
Tidak lama kemudian sampailah kami ke ujung jembatan
aku merasa lega pasalnya aku ingin ke toilet, mungkin karena terlalu banyak
minum di bungalow tadi. Tidak sulit mencari toilet disekitar kami, hingga aku
pun bisa segera pergi ke toilet secepat mungkin. Selesai dari toilet baru
kemudian kami melangkah ke arah jalan setapak yang di kiri-kanannya dikelilingi
hutan bambu, sangat eksotik. Suara gemerisik batang dan daun bambu saat ditiup
angin membuat bulu kudukku merinding, agak seram kedengarannya. Namun untuk
kawan-kawanku suara-suara alam itu tidak mempengaruhi mereka. Ditengah hutan
bambu itu kami melewati jembatan kayu yang menyeberangi sebuah kolam berukuran
sedang, jembatan itu berderak saat kami tiba diatasnya. Kolam yang ditumbuhi
teratai putih itu rupanya merupakan sarang bagi sepuluh flamingo berwarna merah
jambu mencolok. Flamingo itu terlihat sibuk mencari ikan dikolam, beberapa
diantaranya ada yang sedang bersantai dengan mengangkat satu kakinya yang hanya
berjumlah dua hingga praktis mereka sekarang hanya berdiri dengan satu kaki, sungguh lucu. Thomas kembali
mengeluarkan kameranya, bunyi jepretan dan cahaya flash dari kamera sayangnya mengusik sekawanan burung yang berasal
dari Amerika Selatan itu. Hingga membuat mereka terbang rendah bersama-sama
kepojok kolam, berkerumun disana membelakangi kami. Thomas hanya garuk-garuk
kepala melihatnya, sekarang obyek fotonya jadi tidak menarik dengan hanya ekor
serta bagian belakang flamingo yang bisa dipotret. Akhirnya dengan kesal Thomas
hanya mengambil gambar dari seekor kodok jelek yang meledeknya di atas daun
teratai.
Keluar dari hutan bambu kami mendapati jalan setapak
dengan pohon-pohon renggang di kiri kanannya. Alangkah terkejut kami saat
menyadari ada burung-burung rangkong memperhatikan kami dari atas dahan.
Rangkong adalah burung berbulu hitam dengan paruh besar dan panjang menyerupai
sabitberwarna kuning, selain itu tubuh burung ini juga cukup besar. Tidak jauh
dari kami seorang petugas taman burung tampaknya hendak memberi makan
rangkong-rangkong itu. Sekeranjang kecil jambu biji dijinjing petugas dengan
warna pakaian cokelat muda itu. Diambilnya sebuah jambu lalu ditiup peluit
panjang, suara peluit itu melengking memanggil sekawanan rangkong yang tadi
sedang bermalas-malasan di dahan. Jambu ditangan si petugas langsung di sambar
seekor rangkong sementara yang lainnya terlihat menunggu giliran diatas tanah.
Satu persatu jambu biji dilempar ke arah kawanan rangkong, burung-burung itu lalu
melahap bulat-bulatjambu biji seukuran bola tenis tersebut.
“Koaaa...koooakk..”, begitulah bunyi si rangkong
pertanda senang mendapat makanan buah yang manis dan berair.
Pierre yang melihat ukuran jumbo burung-burung ini
tampak enggan menyentuh mereka, mungkin juga karena takut dipatuk paruh kuningnya
yang tajam bak sabit bermata dua.Selesai melihat para rangkong makan dengan
rakusnya, kami bertiga lalu berjalan ke arah utara. Melewati kebun bunga lili
yang ungu dengan burung-burung kolibri berterbangan di atas kelopak bunganya.
Sekilas kolibri ini tidak bisa dilihat karena ukurannya yang kecil, namun
beruntung Pierre memiliki mata yang jeli sehingga kami bisa menyaksikan burung
berwarna hijau tua ini melayang dengan kepakan sayap yang sangat cepat sedang
mengisap madu dari sekuntum bunga lili. Tidak jauh dari kebun bunga lili ada
hamparan lapangan pasir berwarna cokelat yang luas dengan kaktus-kaktus tumbuh
menyebar di dalamnya. Yang menarik adalah rupanya lapangan pasir ini merupakan
habitat burung unta. Fantastik. Burung unta sendiri adalah burung berukuran
raksasa dengan jika dibandingkan dengan burung-burung lain.Memiliki tinggi
badan mencapai 2 meter, warna bulunya hitam, dengan leher panjang berkulit
merah dan kepala bulat yang dilengkapi paruh yang kuat. Sayangnya burung ini
tidak bisa terbang, namun untunglah burung ini memiliki kelebihan yaitu
sepasang kaki panjang dengan jari berkuku tajam hingga mampu membuatnya berlari
dengan kecepatan kilat. Ketahanan fisik burung ini juga luar biasa, terbiasa
hidup di benua Afrika yang kering membuatnya menjadi burung yang kuat hingga
mampu bertahan dengan hanya sedikit makan dan minum.
“Look out!
(awas minggir!)”, teriak Thomas menghalau kami saat sekawanan burung unta tiba-tiba
saja berlari melintas di depan kami. Derap kaki para burung unta terdengar
begitu berat, debu-debu pasir berterbangan kesegala arah saat mereka berlari
membuat mata kami pedih karena terkena debu.“Uuhhuuuk...uhukk..”, Thomas
terbatuk setelah debu itu terhirup olehnya.
Lari burung unta sangat cepat hingga dalam sekejap
mereka telah sampai di ujung lapangan, langsung menyerbu seember pakan yang
baru saja diberikan oleh petugas taman. Kami hanya bisa terperangah melihat
tingkah laku mereka saat santap siang, sungguh burung yang rakus.
Melewati lapangan pasir kami kembali menyusuri jalan
setapak lalu berbelok ke arah jalan yang lebih besar dan beraspal. Menikmati
rindangnya pepohonan di sepanjang jalan itu kami mendapati seeokor binatang
lucu berbulu sedang asyik mengunyah buah ceremai di atas pohonnya. Slender Squirrel merupakan tupai berbulu
cokelat yang sangat imut, dia langsung meloncat bersembunyi dibalik dahan saat
tahu kami memperhatikannya. Di jalan ini kami berpapasan dengan banyak sekali
wisatawan lokal dan juga sesama backpaker
internasional seperti kami. Mereka terlihat gembira menikmati taman burung yang
permai ini, beberapa bahkan menggelar tikar di atas tanah berumput sambil
membuka bekal makan siang dari dalam keranjang piknik. Celotehan mengenai
keindahan obyek wisata ini, juga lucunya para penghuni taman burung menjadi
topik yang dominan dibicarakan oleh para pengunjung.Aku bukannya enggan
berjalan beriringan dengan para pelancong yang lain, tapi kehadiran mereka yang
membuat ramai jalan tentu bukan hal yang nyaman untuk dinikmati.
Maka saat ada jalan kecil yang berbelok ke kanan aku
langsung menggandeng tangan Pierre dan mengajaknya kesana.“Let’s we get there I can not stand with all this people (ayo kita kesana aku tidak tahan dengan semua
orang ini)”, kataku dengan nada membujuk.
Pierre menurutiajakanku
dengan Thomas mengekor dibelakangnya kami berjalan menyusuri jalan setapak yang
menurun ini. “Où est cette route va nous
prendre? (kemanakah jalan ini akan membawa kita?)”, tanya Pierre kepadaku.
“Je ne sais pas
(aku tidak tahu)”, jawabku tanpa banyak berpikir.
Dikiri kanan kami terdapat semak belukar yang
terkadang rantingnya menggores tanganku. Terus menurun kebawah ada tangga yang
setelah kami lewati rupanya menggiring kami ke sebuah kolam yang cukup besar
dengan batu-batu gamping di dasarnya aku melihat di ujung kolam itu ternyata
ada sebuah air terjun bertingkat tiga yang airnya cukup deras jatuh mengenai
bebatuan besar dibawahnya. Percikan air yang jatuh dari air terjun ini juga
membasahi tubuh kami. Sungguh seru. Jernihnya air terjun seolah mengundang kami
untuk masuk ke dalam kolam, airnya setinggi betis begitu segar dan dingin
hingga membuat lelah yang terasa di kaki hilang. Kejutan datang saat beberapa
ekor little greebes berenang di dekat
kami. Bebek kecil dengan corak bulu menawan ini melenggak-lenggok dipermukaan
air, sesekali kepala mereka menyelam mencari ikan-ikan kecil di dalam kolam.
Bebek yang bernama latin Tachybaptus
ruficollis ini memiliki warna leher yang hijau
dengan sayap hitam dan coklat, matanya imut berwarna hitam, kesukaan mereka
adalah berenang sepanjang hari.
“Oh..they
are so cute (oh mereka sangat imut)”, kata Thomas sembari memperhatikan
bebek-bebek itu.
“ I
like that one, reminds me about something...ah Daffy Duck from cartoon Looney
Toons (Aku suka yang satu itu, mengingatkanku akan sesuatu ..ah Daffy Duck dari Looney Toons)”, kataku saat melihat seekor bebek yang mirip sekali
dengan tokoh kartun kegemaran adikku.
Pierre ikut memperhatikan bebek yang aku
tunjuk, dia kemudian tersenyum hingga giginya kelihatan, memang lucu bebek yang
satu itu.Tidak seperti little
grebes yang gemar berenang hingga sepanjang hari, kami bertiga hanya
merendam kaki sekitar sepuluh menit saja kemudian langsung kembali berjalan. Petualangan
kami di Jurong Bird Park inimemakan
waktu seharian. Setelah menjumpai rangkong dan burung unta masih banyak lagi
spesies burung yang kami temui. Diantaranya burung jalak, kasuari yang galak,
burung hantu yang tidur sepanjang siang ini, hingga burung bangkai yang
terlihat penasaran akan kehadiran manusia diantara mereka. Menjelang senja kami
baru beranjak pulang, menggunakan monorail
setinggi 10 meter dari atas tanah yang terdapat di taman burung sungguh cara
yang cepat untuk menuju pintu keluar karena tubuh yang telah lelah sehabis
berjalan–jalan tentu lebih baik jika menuju pintu keluar menggunakan kendaraan.
Monorail ini membawa penumpangnya
mengitari taman burung sehingga dari jendela kereta aku bisa melihat landscape obyek wisata ini yang terdiri
dari rerimbunan pohon, padang rumput dan bahkan ada danaunya. Begitu sampai
dipintu keluar kami sempat singgah di Burger
King untuk mengisi perut baru kemudian pulang ke hostel.
No comments:
Post a Comment