Thursday, October 24, 2013

Singapore With Love eps.8

Hidden Paradise
Pagi akhirnya tiba, matahari dengan genit mengintip dari balik awan tebal dilangit, tanah diluar begitu basah begitu pula dengan daun-daun pepohonan semua karena hujan deras tadi malam. Semua orang masih teringat pertengkaran tadi malam, buktinya saat Jane melangkah ke Breakfast Room semua orang memperhatikannya. Tiga perempuan cina yang menginap di lantai tiga bahkan menunjuk-nunjuk dia, tampaknya semua tamu di hostel ini sudah mendengar tentang kegaduhan semalam. Jane sebaliknya tampak tenang seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi semalam, dia bahkan tampak menikmati sereal cokelatnya yang disiram susu putih. Nali dan Timmy mengajaknya bicara soal semalam, namun Jane enggan mengungkit masalah itu hingga mereka bertiga akhirnya berakhir dalam kegiatan sarapan yang canggung.
Pagi ini tampak agak berbeda dari biasa, suasananya berkabut tebal padahal hari-hari yang lalu tidak seperti ini. Kabut ini bahkan agak berbau aneh seperti bau kayu terbakar, namun aku mencoba untuk berpikir ke arah yang lebih logis seperti faktor cuaca atau mungkin pengaruh hujan semalam membawa kabut turun dari langit?. Seorang pegawai di hostel ini anehnya terlihat panik dia berlari ke atas atap lalu mencoba memandang sekeliling kota yang terletak dibawahnya, sia-sia tentu saja karena kabut menutupi pandangan. Tidak lama kemudian dia turun kelantai satu setelah menabrak Raj yang sedang membawa segelas teh manis hangat hingga tumpah. Namun daripada marah dengan si penabrak, Raj dengan sembarangan menaruh gelas di pinggir meja lalu mulai memotret keadaan sekitarnya yang tertutup kabut putih.
 یہایکمظاہرہے(ini sebuah fenomena)”, gumamnya.
Tidak berapa lama kemudian dia mengajak gadis-gadis untuk berfoto bersamanya, dengan meminta tolong Thomas untuk memegang kamera handphonenya dan mengambil gambar. Hasilnya? foto-foto digital yang dramatis.
What is your plan today with a fog like this? (apa rencana kamu hari ini dengan kabut seperti ini?)”, tanya Bob kepada Sella, keduanya sedang duduk dipinggir balkon melihat gedung-gedung di kejauhan yang tampak tenggelam oleh kabut tebal. Aku yang saat itu sedang melahap roti bakar selai blueberry duduk di belakang mereka sehingga bisa mendengar percakapan mereka.
Sella lalu menjawab dengan wajah muram,“I’m working today so I cannot come with your travelling, so sad (aku bekerja hari ini sehingga aku tidak bisa ikut dengan perjalananmu, sungguh sedih)”.
Hey!”, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, aku menoleh kebelakang kulihat Thomas nyengir kuda sambil memegang sekerat bacoon yang ditusuk digarpunya. “Pierre ask us to get to the bird park, must be fun. Are you coming with us? (Pierre ajak kita bertiga ke Taman Burung, pasti seru. Apa kamu mau ikut dengan kami?), tanya Thomas, kemudian dia melahap bacoonnya.
Aku berpikir sejenak, pergi ke Taman Burung dengan cuaca seperti ini, bagaimana ya.”Okay guys I’m coming with you, but after we get breakfast outside.I feel bored with the menu at this place. I mean I would like to tried something else like peking duck? (oke aku ikut dengan kalian tapi setelah kita mencari sarapan diluar. Aku merasa bosan dengan menu di tempat ini. Maksudku aku ingin mencoba sesuatu yang lain seperti bebek peking misalnya)”, jawabku.
Thomas langsung melirik Pierre setelah mendengar jawabanku, rupanya Pierre sedang asyik melahap sandwich isi keju dan tuna, dia lalu mengeluarkan jari jempol dalam genggamannya pertanda memahami maksud lirikan Thomas. Aku tersenyum saja melihat mereka berdua, yang diberikan senyum malah menjulurkan lidahnya kepadaku hehehe.
            Satu jam kemudian kami bertiga telah siap. Aku menggunakan rok jeans biru dengan t-shirt pink bermotif bunga, agaknya sedikit parfum akan menambah ceria busana ku. Pierre menggunakan celana selutut dari bahan tebal dan t-shirt hijau tua, tampak kontras dengan matanya yang biru. Sementara Thomas juga menggunakan celana pendek namun t-shirt nya berwarna merah bata, kedua sekawan ini sama-sama menggunakan sandal gunung. Kami berangkat jam sembilan pagi, saat seharusnya matahari bersinar cerah namun yang terjadi adalah hawa yang dingin berkabut hingga matahari tidak tampak penuh. Tapi sebelum kami memulai perjalanan kami singgah terlebih dahulu di sebuah kedai masakan china di daerah bugis. Aku memesan bebek peking idamanku, cukup sepotong saja tidak sampai satu ekor utuh sudah membuatku terbuai karena kelezatannya apalagi harganya cukup terjangkau hanya S$7. Thomas dan Pierre ikut memesan menu yang sama seperti menu pesananku, sementara untuk minuman jus jeruk dingin seharga S$2 menjadi pilihan kami bertiga.
            Setlah kenyang barulah kami melanjutkan perjalanan. MenujuJurong Bird Park sangat mudah, kami menggunakan MRT lalu turun di stasiun Boonlay. Setelah itu kami ke Bus Interchange lalu menggunakan bus nomer 194, perjalanan hanya memakan waktu kurang dari satu jam. Harga tiket masuk ke Taman Burung ini S$18 cukup terjangkau untuk backpaker seperti kami. Jurong Bird Park sendiri sebenarnya semacam kebun binatang hanya saja isinya semuanya burung. Ada 5000 burung yang dilindungi di taman yang merupakan surga burung terbesar di Asia ini. Sungguh sebuah surga tersembunyi di Singapore. Begitu memasuki gerbang kami menyusuri jalan hingga mendapati diri kami berada di terowongan bunga, dimana diatas kami tertutup oleh bunga-bunga berwarna ungu, biru, dan kuning yang mekar diantara semak-semak hijau mahogandi. Sesekali melesat burung-burung berwarna kuning, kutebak mereka adalah burung kenari, sungguh menggemaskan melihat mereka berterbangan kesana-kemari dengan bebasnya. Lepas dari terowongan ada lapangan rumput yang begitu asri, tertutup kabut tebal tidak membuat keindahan di taman burung ini berkurang. Burung merak yang anggun bercanda riang di padang rumput ini, sesekali di rentangkannya ekornya yang berwarna-warni itu saat melihat merak betina, sungguh burung yang cantik. Para pengunjung yang lain juga tampak terpukau melihat keindahan burung merak yang konon katanya asli dari Indonesia.Apalagi Thomas dan Pierre yang berasal dari benua biru membuat mereka sangat jarang melihat spesies burung seperti ini di negara mereka, tidak bisa dipungkiri itulah yang membuat Thomas tidak bisa berhenti memotret.Kicauan burung murai terdengar merdu dari kejauhan, membuatku penasaran ingin melihat burung yang bentuknya mungil itu. Akhirnya keinginanku tercapai, dibalik semak-semak bunga berembang burung-burung itu hinggap. Pierre sangat gemas melihat si kuning kecil murai yang bersiul tanpa henti sehingga di tangkapnya burung itu satu digenggaman tangan. Aku terkejut karena takut tindakan Pierre itu dilarang di taman ini, namun tampaknya tidak seorang pun memperhatikannya. Si murai malah tampak senang berada di genggaman Pierre alih-alih meronta burung kecil itu bernyanyi simfoni alam. Pierre lalu mengelus kepala burung itu, aku yang awalnya geli sekarang ikut mengelus burung yang sayapnya berwarna hitam ini. Bulunya begitu halus, dan tampaknya burung mungil ini juga menikmati dimanja oleh Pierre, buktinya si mungil ini mengangguk-angguk tanpa henti. Setelah beberapa saat bercengkerama dengan burung murai ini, Pierre akhirnya melepaskannya. Si kecil kuning itu kemudian terbang ke arah pepohonan lalu hinggap di cabangnya yang rapuh.
            Perjalanan kami berlanjut menuju habitat elang hutan yang tersohor akan keganasannya. Tebing-tebing buatan menjulang dari tanah merah dibawahnya, dicelahnya burung-burung elang bersantai sambil sesekali mengamati kami. Tiba-tiba seekor burung elang terbang membentuk formasi lingkaran di atas kepala kami, sayapnya merenggang lebar membuatnya mampu terbang dengan cepat. Seekor tikus bodohnya tidak menyadari kehadiran elang yang sedang berpatroli ini, tikus cokelat yang gemuk itu keluar dari lubangnya dibawah tanah untuk mencari makan. Malang sekali bagi tikus karena sudah bisa ditebak bahwa nasibnya akan berada diujung tanduk jika dia terlihat oleh mata elang yang jeli. Bukan main, begitu elang ini melihat tikus itu langsung dia menukik tajam dari angkasa dengan kecepatan tinggi, gerakan akrobatik yang dilakukannya sungguh dengan perhitungan yang tepat.Rupanya tikus kurus itu menyadari datangnya bahaya hingga dia sempat berlari kebalik batu hitam, namun terlambat elang sudah menentukan targetnya dan jika itu sudah terjadi maka tidak ada satu binatang pun yang dapat lolos dari cengkeramannya. Seketika itu juga tikus itu dicabik-cabik tanpa ampun oleh elang yang perkasa, aku tidak tega melihat tikus itu digigit oleh paruh sang elang lalu dimakan sepotong demi sepotong. Sungguh pemandangan yang mengerikan dan membuatku mual. Namun untuk anak lelaki peristiwa itu malah menjadi tontonan yang mengasyikkan, buktinya Pierre bertepuk tangan atas atraksi elang yang memukau itu. Sedangkan Thomas merekam dengan video dari awal sampai akhir.
            Tidak tahan melihat darah berceceran dimana-mana akibat kegiatan memangsa dan dimangsa itu, aku akhirnya memaksa Thomas dan Pierre beranjak dari habitat elang hutan. Menuju kanopi setinggi sepuluh meter diatas lembah yang penuh pepohonan, jembatan gantung yang terbuat dari kawat bercat putih ini terentang sejauh 200 meter. Aku sungguh tidak sabar melintasi jembatan gantung yang lebarnya hanya muat oleh satu sampai dua orang saja. Jembatan ini sedikit bergoyang saat kami berpijak diatasnya, menegangkan memang karena dibawah kami tebing curam yang dengan pepohonan bercabang tajam sudah menanti jika kami terjatuh. Untunglah keselamatan diutamakan di jembatan ini, karena talinya terbuat dari baja yang dikaitkan juga dengan tiang baja di tiap ujung jembatan.  Dari atas jembatan kaki langit taman burung bisa terlihat dengan jelas, kebanyakan tertutup rimbunnya pepohonan, lainnya adalah padang rumput hijau belaka, dikelilingi kabut putih yang tebal. Langit yang biru tanpa awan ada di cakrawala, angin semilir berhembus lemah. Ditengah perjalanan kami berjumpa dengan banyak burung Nuri berwarna–warni, ada yang hijau, kuning dan merah. Mereka hinggap di tali jembatan gantung yang terbuat dari baja, berjalan kesana kemari dengan dua kakinya yang bercakar tiga, mengeluarkan suara ribut sekali. Untunglah kabut tidak sampai melayang keatas dan menutupi jalan kami di kanopi hingga pandangan kami di atas sini jelas dan tidak terhalang putihnya kabut. Di sisi kanan kami lihat ada sebuah mangkuk berisi makanan burung berbentuk kapsul-kapsul berwarna cokelat bertekstur kasar. Thomas mengambil segenggam makanan burung dan dibukanya telapak tangannya lalu disodorkan kedepan burung-burung lucu itu.
Voici...birdybirdy..viennent àpapa(kesini burung-burung ...datanglah ke ayah)”, kata Thomas seraya membujuk burung-burung itu datang kepadanya.
Langsung saja sepasukan nuri kuning dan hijau menyerbu tangan Thomas, mematuki makanan ditelapaknya dengan riang. Pierre hanya tertegun melihat peristiwa itu. Sementara aku hendak meniru Thomas namun sayang makanan burung dalam mangkuk sudah dihabiskan oleh burung-burung nuri berwarna merah dalam sekejap.Pierre akhirnya mengelus-elus punggung burung-burung nuri itu, yang dielus diam saja dan tidak marah malah senang. Keriuhan mereka benar-benar menjadi tontonan seru, hingga kami beranjak melanjutkan perjalanan menyusuri kanopi burung-burung nuri itu bersiul kencang seolah tidak mau ditinggal pergi.Ditengah-tengah kanopi ada bungalow kecil yang di sangga tiang besar di bawahnya, atapnya terbuat dari jerami dindingnya terbuat dari kawat tebal yang dijalin menyerupai jaring untuk mencegah pengunjung jatuh ke bawah jurang. Kami beristirahat sejenak disana, sekedar melepas lelah dan meneguk air mineral yang dibawa Thomas dalam ranselnya. Tiba-tiba dari kejauhan terbang mendekat segerombolan hairy emperor, capung berwarna biru dan hijau metalik. Ini pertama kalinya aku melihat spesimen hidup dari jenis capung bernama latin Anax Guttatus ini. Biasanya mereka hidup didekat aliran sungai bersih yang mengalir, sungguh jarang capung jenis ini terbang tinggi hingga ke atas pucuk-pucuk pohon.
            Do you want some? (apa kamu mau ini?)”, tanya Thomas sambil menyodorkan sebungkus biskuit lapis selai stroberi kepada ku.
Aku sedang enggan mengunyah camilan, jadi aku berkata kepadanya,” No thank you, you can give it to bird perhaps the gonna like it (tidak terimakasih, kamu bisa berikan itu ke burung-burung mungkin mereka akan menyukai nya)”.
Tanpa diduga Pierre langsung mengambil bungkusan biskuit itu dari tangan Thomas. “Nyamm...nyaamm...c'estdélicieux(Nyamm...nyammam...ini sedap)”, katanya dengan mulut penuh biskuit.
Tampaknya dia agak lapar setelah dua jam menjelajahi Jurong Bird Park ini hingga melahap dua keping biskuit sekaligus. Angin semilir kembali berhembus kali ini membuat sejuk tubuh kami yang basah bermandikan keringat. Aku menikmati benar sensasi hembusan angin yang turun ke lembah dibawah kami. Hingga tidak terasa mataku terpejam dan hampir saja membuatku terlelap tidur. Beruntung Pierre menggoncang pelan pundakku, aku kembali terjaga dan langsung berdiri bersamanya dan Thomas lalu melanjutkan perjalanan kembali.
Hampir sampai ke ujung jembatan kami berpapasan dengan sekeluarga Arab dengan anak lelaki mereka yang lucu menggenggam pesawat mainan. Si anak merengek minta turun dari jembatan, tampaknya dia takut ketinggian. Kami hanya tersenyum saat melewati keluarga itu, terlihat sang ayah kesulitan menenangkan anaknya yang sedang ketakutan itu. Kemudian kami berjumpa dengan sepasang burung Rainbow Lorrie yang sedang asyik bermesraan di tali jembatan. Burung ini sangat cantik sekilas mirip betet yang membedakan adalah tubuhnya berwarna bak pelangi merah, jingga, kuning, hijau, biru dari ujung kepala sampai ekor, tidak seperti betet yang hanya memiliki satu warna mencolok saja. Seperti biasa Pierre penasaran ingin mengelus punggung burung-burung manis ini, sial baginya kali ini jarinya dipatuk paruh burung hingga terkejut dia dibuatnya dan urunglah dia menyentuh si Rainbow Lorrie. Aku dan Thomas tertawa terpingkal-pingkal melihatnya, Pierre merengut karena ditertawakan kami.
Tidak lama kemudian sampailah kami ke ujung jembatan aku merasa lega pasalnya aku ingin ke toilet, mungkin karena terlalu banyak minum di bungalow tadi. Tidak sulit mencari toilet disekitar kami, hingga aku pun bisa segera pergi ke toilet secepat mungkin. Selesai dari toilet baru kemudian kami melangkah ke arah jalan setapak yang di kiri-kanannya dikelilingi hutan bambu, sangat eksotik. Suara gemerisik batang dan daun bambu saat ditiup angin membuat bulu kudukku merinding, agak seram kedengarannya. Namun untuk kawan-kawanku suara-suara alam itu tidak mempengaruhi mereka. Ditengah hutan bambu itu kami melewati jembatan kayu yang menyeberangi sebuah kolam berukuran sedang, jembatan itu berderak saat kami tiba diatasnya. Kolam yang ditumbuhi teratai putih itu rupanya merupakan sarang bagi sepuluh flamingo berwarna merah jambu mencolok. Flamingo itu terlihat sibuk mencari ikan dikolam, beberapa diantaranya ada yang sedang bersantai dengan mengangkat satu kakinya yang hanya berjumlah dua hingga praktis mereka sekarang hanya berdiri dengan satu kaki, sungguh lucu. Thomas kembali mengeluarkan kameranya, bunyi jepretan dan cahaya flash dari kamera sayangnya mengusik sekawanan burung yang berasal dari Amerika Selatan itu. Hingga membuat mereka terbang rendah bersama-sama kepojok kolam, berkerumun disana membelakangi kami. Thomas hanya garuk-garuk kepala melihatnya, sekarang obyek fotonya jadi tidak menarik dengan hanya ekor serta bagian belakang flamingo yang bisa dipotret. Akhirnya dengan kesal Thomas hanya mengambil gambar dari seekor kodok jelek yang meledeknya di atas daun teratai.
Keluar dari hutan bambu kami mendapati jalan setapak dengan pohon-pohon renggang di kiri kanannya. Alangkah terkejut kami saat menyadari ada burung-burung rangkong memperhatikan kami dari atas dahan. Rangkong adalah burung berbulu hitam dengan paruh besar dan panjang menyerupai sabitberwarna kuning, selain itu tubuh burung ini juga cukup besar. Tidak jauh dari kami seorang petugas taman burung tampaknya hendak memberi makan rangkong-rangkong itu. Sekeranjang kecil jambu biji dijinjing petugas dengan warna pakaian cokelat muda itu. Diambilnya sebuah jambu lalu ditiup peluit panjang, suara peluit itu melengking memanggil sekawanan rangkong yang tadi sedang bermalas-malasan di dahan. Jambu ditangan si petugas langsung di sambar seekor rangkong sementara yang lainnya terlihat menunggu giliran diatas tanah. Satu persatu jambu biji dilempar ke arah kawanan rangkong, burung-burung itu lalu melahap bulat-bulatjambu biji seukuran bola tenis tersebut.
“Koaaa...koooakk..”, begitulah bunyi si rangkong pertanda senang mendapat makanan buah yang manis dan berair.
Pierre yang melihat ukuran jumbo burung-burung ini tampak enggan menyentuh mereka, mungkin juga karena takut dipatuk paruh kuningnya yang tajam bak sabit bermata dua.Selesai melihat para rangkong makan dengan rakusnya, kami bertiga lalu berjalan ke arah utara. Melewati kebun bunga lili yang ungu dengan burung-burung kolibri berterbangan di atas kelopak bunganya. Sekilas kolibri ini tidak bisa dilihat karena ukurannya yang kecil, namun beruntung Pierre memiliki mata yang jeli sehingga kami bisa menyaksikan burung berwarna hijau tua ini melayang dengan kepakan sayap yang sangat cepat sedang mengisap madu dari sekuntum bunga lili. Tidak jauh dari kebun bunga lili ada hamparan lapangan pasir berwarna cokelat yang luas dengan kaktus-kaktus tumbuh menyebar di dalamnya. Yang menarik adalah rupanya lapangan pasir ini merupakan habitat burung unta. Fantastik. Burung unta sendiri adalah burung berukuran raksasa dengan jika dibandingkan dengan burung-burung lain.Memiliki tinggi badan mencapai 2 meter, warna bulunya hitam, dengan leher panjang berkulit merah dan kepala bulat yang dilengkapi paruh yang kuat. Sayangnya burung ini tidak bisa terbang, namun untunglah burung ini memiliki kelebihan yaitu sepasang kaki panjang dengan jari berkuku tajam hingga mampu membuatnya berlari dengan kecepatan kilat. Ketahanan fisik burung ini juga luar biasa, terbiasa hidup di benua Afrika yang kering membuatnya menjadi burung yang kuat hingga mampu bertahan dengan hanya sedikit makan dan minum.
Look out! (awas minggir!)”, teriak Thomas menghalau kami saat sekawanan burung unta tiba-tiba saja berlari melintas di depan kami. Derap kaki para burung unta terdengar begitu berat, debu-debu pasir berterbangan kesegala arah saat mereka berlari membuat mata kami pedih karena terkena debu.“Uuhhuuuk...uhukk..”, Thomas terbatuk setelah debu itu terhirup olehnya.
Lari burung unta sangat cepat hingga dalam sekejap mereka telah sampai di ujung lapangan, langsung menyerbu seember pakan yang baru saja diberikan oleh petugas taman. Kami hanya bisa terperangah melihat tingkah laku mereka saat santap siang, sungguh burung yang rakus.
Melewati lapangan pasir kami kembali menyusuri jalan setapak lalu berbelok ke arah jalan yang lebih besar dan beraspal. Menikmati rindangnya pepohonan di sepanjang jalan itu kami mendapati seeokor binatang lucu berbulu sedang asyik mengunyah buah ceremai di atas pohonnya. Slender Squirrel merupakan tupai berbulu cokelat yang sangat imut, dia langsung meloncat bersembunyi dibalik dahan saat tahu kami memperhatikannya. Di jalan ini kami berpapasan dengan banyak sekali wisatawan lokal dan juga sesama backpaker internasional seperti kami. Mereka terlihat gembira menikmati taman burung yang permai ini, beberapa bahkan menggelar tikar di atas tanah berumput sambil membuka bekal makan siang dari dalam keranjang piknik. Celotehan mengenai keindahan obyek wisata ini, juga lucunya para penghuni taman burung menjadi topik yang dominan dibicarakan oleh para pengunjung.Aku bukannya enggan berjalan beriringan dengan para pelancong yang lain, tapi kehadiran mereka yang membuat ramai jalan tentu bukan hal yang nyaman untuk dinikmati.
Maka saat ada jalan kecil yang berbelok ke kanan aku langsung menggandeng tangan Pierre dan mengajaknya kesana.“Let’s we get there I can not stand with all this people (ayo  kita kesana aku tidak tahan dengan semua orang ini)”, kataku dengan nada membujuk.
 Pierre menurutiajakanku dengan Thomas mengekor dibelakangnya kami berjalan menyusuri jalan setapak yang menurun ini. “Où est cette route va nous prendre? (kemanakah jalan ini akan membawa kita?)”, tanya Pierre kepadaku.
Je ne sais pas (aku tidak tahu)”, jawabku tanpa banyak berpikir.
Dikiri kanan kami terdapat semak belukar yang terkadang rantingnya menggores tanganku. Terus menurun kebawah ada tangga yang setelah kami lewati rupanya menggiring kami ke sebuah kolam yang cukup besar dengan batu-batu gamping di dasarnya aku melihat di ujung kolam itu ternyata ada sebuah air terjun bertingkat tiga yang airnya cukup deras jatuh mengenai bebatuan besar dibawahnya. Percikan air yang jatuh dari air terjun ini juga membasahi tubuh kami. Sungguh seru. Jernihnya air terjun seolah mengundang kami untuk masuk ke dalam kolam, airnya setinggi betis begitu segar dan dingin hingga membuat lelah yang terasa di kaki hilang. Kejutan datang saat beberapa ekor little greebes berenang di dekat kami. Bebek kecil dengan corak bulu menawan ini melenggak-lenggok dipermukaan air, sesekali kepala mereka menyelam mencari ikan-ikan kecil di dalam kolam. Bebek yang bernama latin Tachybaptus ruficollis ini memiliki warna leher yang hijau dengan sayap hitam dan coklat, matanya imut berwarna hitam, kesukaan mereka adalah berenang sepanjang hari.
Oh..they are so cute (oh mereka sangat imut)”, kata Thomas sembari memperhatikan bebek-bebek itu.
I like that one, reminds me about something...ah Daffy Duck from cartoon Looney Toons (Aku suka yang satu itu, mengingatkanku akan sesuatu ..ah Daffy Duck dari Looney Toons)”, kataku saat melihat seekor bebek yang mirip sekali dengan tokoh kartun kegemaran adikku.
 Pierre ikut memperhatikan bebek yang aku tunjuk, dia kemudian tersenyum hingga giginya kelihatan, memang lucu bebek yang satu itu.Tidak seperti little grebes yang gemar berenang hingga sepanjang hari, kami bertiga hanya merendam kaki sekitar sepuluh menit saja kemudian langsung kembali berjalan. Petualangan kami di Jurong Bird Park inimemakan waktu seharian. Setelah menjumpai rangkong dan burung unta masih banyak lagi spesies burung yang kami temui. Diantaranya burung jalak, kasuari yang galak, burung hantu yang tidur sepanjang siang ini, hingga burung bangkai yang terlihat penasaran akan kehadiran manusia diantara mereka. Menjelang senja kami baru beranjak pulang, menggunakan monorail setinggi 10 meter dari atas tanah yang terdapat di taman burung sungguh cara yang cepat untuk menuju pintu keluar karena tubuh yang telah lelah sehabis berjalan–jalan tentu lebih baik jika menuju pintu keluar menggunakan kendaraan. Monorail ini membawa penumpangnya mengitari taman burung sehingga dari jendela kereta aku bisa melihat landscape obyek wisata ini yang terdiri dari rerimbunan pohon, padang rumput dan bahkan ada danaunya. Begitu sampai dipintu keluar kami sempat singgah di Burger King untuk mengisi perut baru kemudian pulang ke hostel.




No comments:

Post a Comment