Kembali
Ke Masa Lalu
Hari sudah berganti, kami sudah kembali
ceria setelah kemarin mengunjungi kedutaan besar dari berbagai negara. Hari ini
cerah berangin membuat aku dan kawan-kawan merencanakan petualangan yang lain.
Sayang sekali Kenshi tidak bisa ikut dalam perjalanan kali ini karena dia sudah
dipulangkan ke Jepang oleh kedutaan besarnya. Di facebook dia menyampaikan salam kepada kami dengan foto wajahnya
yang nyengir kuda berlatar belakang menara Tokyo, tampaknya dia sudah sampai di
rumahnya. Sebenarnya masih banyak obyek wisata menarik yang bisa aku kunjungi
di Singapore, masalahnya apakah perjalanan kali ini akan kulakukan seorang diri
atau kembali berpetualang bersama kawan-kawanku? aku tidak tahu.
“I
heard this country has a fun adventure, it’s an amphibi boat which is exist in
world war. It’s on Singapore River they called it Wacky Duck. Must be great(Aku dengar negara ini memiliki
wisata petualangan yang menyenangkan, seperti perahu amphibi yang digunakan
pada masa perang dunia. Terdapat di Sungai Singapore, mereka menyebutnya Wacky Duck)”, kata Aqoon memecahkan
lamunanku.
Pemuda Taiwan ini memang menyukai wisata
yang seru dan menantang. Untuknya memacu adrenalin itu harus, walaupun
tampaknya perahu amphibi yang dia bicarakan tidak terlalu menantang tapi patut
dicoba.
“Hey
I agree with you Aqoon, we can do adventure on the river. I hope there is no
crocodile(Hey..aku setuju denganmu Aqoon, kita dapat melakukan petualangan
di sungai. Aku harap tidak akan menjumpai buaya)”, kata Raj menimpali. Matanya
tertuju pada selebaran pamflet obyek wisata Singapore yang baru saja dia ambil
dari meja receptionist hostel. “I like to get wet hehehe (aku suka
menjadi basah heheh)”.
“So
do you want to try that amphibi boat today? (jadi apakah kamu mau mencoba
perahu amphibi itu hari ini?)”, tanyaku kemudian. Ada sedikit rasa penasaran
dalam hatiku mendengar cerita Aqoon soal perahu amphibi ini. “This boat can float on the river and also
can ride on the street? (Perahu ini dapat mengapung di sungai dan sekaligus
berjalan di darat?)”.
Raj dan Aqoon terdiam sebentar lalu
dengan serempak mereka menjawab,” Yes!
(Ya!)”.
Seketika suasana di ruang TV menjadi
ramai, Sella dan Nali yang sedang asyik menonton berita pagi langsung ikut
berbincang. Membahas Duck Boat atau
apapun itu namanya tampaknya memang hal yang menarik bagi para gadis. Tidak
lama kemudian Pierre dan Thomas datang dari ruang makan, membawa masing-masing
sepiring sandwich dan sereal jagung. Sambil
melahap sereal jagungnya Thomas menganggukkan kepalanya setiap kali ditanya
Nali dan Sela soal rencana keinginan mereka menaiki perahu bebek itu. Pada
akhirnya Thomas dan Pierre setuju sama seperti yang lain bahwa hari ini kami bertujuh
akan berangkat keterminal kecil dimana perahu amphibi itu parkir sebelum menuju
sungai Singapore.
Menggunakan MRT turun di stasiunCity
Hall dilanjutkan dengan bus sampai Suntec
City. Disini kami tiba di terminal duck
amphibi boat yang berada di daratan. Untuk menuju sungai dari terminal
setidaknya membutuhkan waktu 15 menit, menggunakan duck amphibi dengan harga tiket S$33 pasti perjalanan ini akan
sangat menyenangkan. Sebelum kendaraan militer amphibi warisan perang dunia
kedua ini berangkatsemua penumpang wajib menggunakan jaket pelampung yang sudah
disediakan jasa tur ini. Duck sendiri
merupakan perahu amphibi berbentuk seperti perahuberoda dengan moncongnya
digambar dan dihias seperti bebek, itulah alasan kendaraan ini dinamakan Duck. Atapnya dari tenda berwarna merah
bergelombang dipinggirnya, kendaraan amphibi ini juga berwarna merah di
moncongnya tapi badan perahu berwarna kuning cerah.
Berangkat dari terminal di Suntec City, Duck melaju melintasi jalan raya beriringan dengan mobil-mobil. Sekilas
beberapa orang dijalan memperhatikan kami karena kendaran ini memang terlihat
lucu. Duck kadang-kadang bergoyang ke
kanan dan ke kiri walaupun aku perhatikan tidak ada kubangan di jalan yang
dilewati, tapi aku memakluminya karena ini merupakan kendaraan peninggalan masa
perang jadi sudah agak tua sehingga jalannya pasti aneh. Matahari mengintip
dari balik awan-awan putih yang tipis, sesekali angin berhembus menandakan
kendaraan ini berjalan cukup kencang. Tidak lama kemudian kami melintasi gedung
Suntec City yang merepresentasikan
tangan kiri manusia terinspirasi dari tradisional Fengshui. Dengan empat gedung
berlantai 45 menggambarkan sebagai jari manusia sementara satu gedung berlantai
18 menggambarkan jari jempol. Gedung yang menjulang seperti menara ini
digunakan sebagai perkantoran, kecuali podiumnya difungsikan sebagai pusat
perbelanjaan dan restoran. Dari kejauhan rangkaian komplek Suntec City memang membentuk siluet telapak tangan yang muncul dari
dalam tanah.Melintasi tengah-tengah gedung ada air mancur terbesar di dunia
yang disebut Fountain of Wealth, yang
merupakan simbol cincin di jari tengah seorang wanita sebagai pengingat akan
kekayaan negeri ini. Fountain of wealth
sendiri terbuat dari perunggu berbentuk cincin berdiameter 21 meter yang
ditopang empat tiang dengan kemiringan 45 derajat. Dari cincin itu mengucur air
deras yang jatuh ke sebuah gundukan besar yang ditengahnya terdapat lingkaran
dengan air mancur kecil yang menyembur dari bawah tanah. Aku dan kawan-kawan
sempat mampir ke air terjun ini dan mendaki gundukan besar di bawah air mancur,
sungguh pengalaman mendebarkan dan pastinya membuat kami basah kuyup. Konon
saat malam tiba air mancur ini dihiasi dengan lampu-lampu berwarna ungu dan
perak sementara cincinnya dibalut lampu-lampu kecil berwarna biru, membuatnya tampak
eksotik.
Tujuan Duck selanjutnya adalah gebyuran di Singapore River setelah sebelumnya melewati Flyer yaitu kincir raksasa setinggi 165 meter yang merupakan roda
observasi terbesar di dunia dan sudah pernah dicoba olehku dan Pierre beberapa
hari yang lalu. Begitu kami membelakangi Flyerderetan
pohon kelapa langsung menyambut kami, jalanan aspal berganti menjadi
rerumputan, baunya segar saat digilas roda kendaraan ini. Tidak lama kemudian
tanah hijau telah berganti menjadi pasir kecoklatan menandakan telah tiba
dibibir sungai, dengan kecepatan tinggi kendaraan amphibi ini langsung masuk ke
sungai Singapore. Byur! Seluruh penumpang yang duduk dipinggir langsung basah
kuyup namun semuanya tertawa riang. Duck kemudian
berbelok tajam menuju bawah jembatan monorail,
diatas kami kerta api MRT melintas dengan cepat derunya sampai terdengar ke
bawah jembatan. Terus melaju dengan kecepatan penuh membuat air sungai
membasahi kami, Duck meliuk mengikuti
aliran sungai panjang bak ular naga ini. Tidak lama kemudian kami melewati Flower Domeyang terletak di daerah Gardens by the Bay, kubah besar yang
berisi taman bunga beraneka warna dan jenis. Dari luar kubah ini terlihat megah
karena terbuat dari kaca transparan dengan bingkai baja di cat putih, sementara
dari dalam kubah ini tampak seperti taman surga. Bayang-bayang kubah ini di
permukaan sungai menampakkan pemandangan tersendiri, modern art tapi juga kembali ke alam karena bentuk kubahnya yang
mirip keong.
“lucky
the sun so bright now. I though it would be rain today due to the heavy cloud(Beruntung
kari ini cuaca cerah. Aku hari ini akan hujan karena awan yang tebal itu)”,
kata Raj tiba-tiba saat perahu amphibi ini sudah sepenuhnya melewati flower dome. Raj sebenarnya berbicara
kepadaku namun karena aku asyik menikmati pemandangan membuatku tidak
menimpalinya.
“Don’t
worry Raj there is no crocodile on this river heheh (jangan kuatir Raj tidak
ada buaya di sungai ini)”, kata Sella kepada Raj yang kelihatan sibuk mengamati
batang pohon besar yang mengambang di permukaan sungai, mungkin Raj menyangka
itu buaya yang ditakutinya.
“I
have never expected it (aku tidak pernah mengharapkan itu)”, kata Raj
kemudian.
Duck
melanjutkan perjalanan melewati bawah jembatanBayfront Ave yang besar dan cukup lebar hingga membuat gelap langit
saat kami melintas dibawahnya. Disamping kami bisa disaksikan bangunan
futuristik berbentuk kelopak bunga teratai raksasa yang ditopang oleh
tiang-tiang baja yang tampaknya digambarkan sebagai tangkai bunganya, bangunan
itu bernama Art Science Museum.
Dibuka tahun 2011 museum ini telah memamerkan berbagai karya seni internasional
dengan berbagai tema diantaranya “Titanic:
The Artifact Exhibition”, “Harry Potter: The Exhibition”, “Andy Warhol: 15
Minutes Eternal”; “Dali: Mind of a Genius”, dan “Van Gogh Alive”.Dimaksudkan
sebagai simbol selamat datang bagi bangsa dari seluru dunia, museum ini
mengutamakan kreatifitas dalam mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan seni.
Perahu kembali bergoyang kali ini
goyangannya agak kuat membuat sebagian besar penumpang menahan nafas, wajah
Thomas bahkan sampai pucat dibuatnya. “Is
this normal? (apakah goncangan ini wajar?)”, dia bertanya kepada dirinya
sendiri.
Nali yang duduk disampingnya lalu
menjawab,”don’t worry all of boats
usually like this (jangan kuatir semua perahu selalu seperti ini)”.
Tidak lama kemudian perahu kembali
melaju seperti biasa, membelah sungai Singapore hingga tiba di depan The Marina Bay Floating Stadium. Stadion
olahraga terapung terbesar di dunia ini memang tampak megah dari kejauhan,
berwarna-warni hijau, kuning, merah, biru merupakan warna dari deretan tempat
duduk penonton.Sungguh bangunan yang canggih dirancang untuk memanfaatkan ruang
yang tidak terpakai yaitu sungai. Platform
terapung yang terbuat dari baja di Teluk Marina ini di desain untuk menahan
beban hingga 9.000 orang, 200 ton perlengkapan pentas dan tiga kendaraan
militer seberat 30 ton, sehingga total semua beban yang dapat ditahan adalah
1.070 ton. Fantastik!. Dengan lebar 83 meter dan panjang 120 meterplatform ini dapat dibongkar pasang guna
memenuhi syarat dari berbagai acara yang berbeda. Sekilas lapangan rumput hijaunya
yang biasa difungsikan untuk menggelar pertandingan sepakbola memang terlihat
berukuran besar, ditambah dengan deretan bangku penonton sebenarnya stadion ini
tidak lebih besar dari Gelora Bung Karno, hanya saja 5% lebih luas dari National Stadium of Singapore. Saat aku
melintas stadion ini dari atas perahu amphibi aku bisa melihat tim nasional
sepakbola Singapore sedang berlatih menggocek bola, mereka keren.
Melewati The Marina Bay Floating Stadium,Duck kembali melaju melawan angin
kencang yang membuat air sungai beriak hingga mengoyang-goyangkan perahu,
untunglah Thomas sudah terbiasa akan hal ini sehingga dia tidak terserang
kepanikan lagi. “I feel excited now hehe (aku
merasa tegang sekarang heheh)”,kata
Thomas, kami hanya tersenyum mendengarnya.
Duck
berbelok ke kiri saat hampir tiba di depan Esplanade, bangunan artistik yang dari
kejauhan terlihat seperti dua buah durian raksasa atau mata facet serangga bagi sebagian orang
karena atapnya yang unik.Esplanade
sendiri tampak berkilau keperakan karena atapnya terbuat dari logam, hal itu
lah yang membuatnya menjadi landmark
Singapore selain Merlion. Bangunan ini juga banyak tercetak di kartu pos dan
brosur promosi wisata negeri seribu satu larangan ini. Berfungsi sebagai pusat
seni pertunjukan musik, tari, teater dan seni visual, terdiri dari dua ruangan
besar: Concert Hall dengan 1.600
kursi, sebuah teater dengan 2.000 kursi dan dilengkapi dengan dua studio yang
lebih kecil,sebuah mal serta sebuah teater luar ruang. Selanjutnya Duck bergerak mendekati Merlion, ikon Singapore ini tentu saja
selalu menyemburkan air deras dari mulutnya.Berwarna putihdengan ornamen
sisik-sisik di sekujur tubuhnya yang berwujud ikan dan kepalanya yang berwujud
singa, alasnya adalah air bergejolak berwarna biru. Saat perahu amphibi kami
melintas didepannya dipenuhi turis yang sedang mengabadikan keunikannya sebagai
kenang-kenangan, air yang menyembur dari mulut Merlionmenyentuh permukaan teluk dengan deras hingga percikannyamembasahi
semua penumpang. It was so fun
(sangat seru)!.
Air sungai Singapore yang kelam
menandakan dalamnya sungai, karena ini bulan mei maka negeri ini sedang berada
di musim panas membuat setiap hari hampir tanpa hujan sehingga air sungai
–untungnya- tidak deras. Duck
bergerak membelah air sungai yang kelam itu terus melewati Merlion yang kini sudah berada di belakangnya, beberapa gedung bisa
disaksikan dari geladak perahu ditambah dengan pepohonan akasia dan palem
disepanjang sungai membawa kesejukan tersendiri, burung-burung gagak dengan
riang bermain disekitar sungai mencari apa saja yang bisa mereka makan. Setelah
jauh melewati Merlion sampailah Duck pada ujung teluk marina yang buntu
hingga membuat perahu amphibi ini berputar halauan ke kiri menuju ke arah Marina Bay City Gallery. KemudianDuck kembali ke tempat semula yaitu Suntec City setelah sebelumnya melewati
tikungan dimana terdapat Gardens by the
Bay disudutnya.
“You
just too good to be true...can take my eyes off you”, Pierre membisikkan
sebuah lagu yang begitu manis terdengar di telingaku. Dibenamkan bibirnya di
pipiku, aku tersenyum tersipu malu.“You
feel like heaven to touch....I wanna hold you so much...At long last love has arrived...And I thank
God I'm alive...”, nyanyiannya bertambah lantang membuat seluruh penumpang
memperhatikannya. Sejenak Pierre merasa canggung karena banyak pasang mata
meliriknya bahkan ada penumpang yang menoleh ke arahnya. Namun Pierre tetap
saja bernyanyi, dirangkulnya pundakku dengan erat dan disandarkannya kepalaku
di dadanya, aku merasa sangat hangat.
Tiba-tiba saja seorang penumpang lelaki berbaju
biru ikut melanjutkan lirik lagu yang dinyanyikan Pierre, suara bass nya
diselingi cekikian gadis-gadis yang duduk dibelakangnya,”You're just too good to be true...Can't take my eyes off of you”.
Tapi setelah itu giliran gadis-gadis melanjutkan
lirik lagu merdu itu,”I love you, baby
and if it's quite alright”.
Mendengar para penumpangnya bernyanyi
sang nahkoda perahu ikut bernyanyi, suaranya terdengar hingga deretan tempat
duduk belakang karena dia menggunakan pelantang,”I need you, baby to warm the lonely nights....I love you, baby, trust
in me when I say....’’.
Para penumpang tertawa mereka menjadi
riang sehingga semuanya serempak menyanyikan lagu can’t take my eyes on you sambil bertepuk tangan,” Oh, pretty baby, don't bring me down I
pray...Oh, pretty baby, now that I've found you stay..Let me love you, baby,
let me love you”.
Sungguh
melodi yang akan selalu terpatri dalam ingatanku,”You just too good to be true..can’t take my eyes off of you”.
Kembali ke Suntec City si bebek rupanya tidak berhenti, Duckmelanjutkan perjalanan ke tengah kota setelah dengan agak susah
payah keluar dari permukaan air sungai lalu mendaki tanah menanjak menembus
semak belukar yang mengarah ke jalan raya. Gundukan-gundukan batu kali
berukuran sedang sangat terasa sekali saat roda Duck menggilasnya, membuat penumpang diatasnya bergoyang kekanan
dan kekiri. Beruntung tidak lama kemudian jalan aspal mengganti landscape,perjalanan terasa mulus walaupun
dipenuhi beberapa taksi yang melaju di jalurnya. Lurus di depan segera kami
bisa melihat WarMemorial, monumen
tugu dengan empat pilar kembar berwarna putih setinggi 70 meter yang terletak
di sebuah lapangan rumput yang luas yang disebut sebagai War Memorial Park. Menurut sejarah negeri ini pernah dijajah
Britania raya hingga meletus Perang Dunia II. Pada masa perang itu Jepang
menjajah Malaya dan berakhir pada pertempuran Singapore. Pada pertempuran itu
Britania dikalahkan oleh Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dalam enam hari.
Sehingga memaksa Britania menyerahkan benteng yang seharusnya tidak terkalahkan
pada 15 februari 1942 kepada Jenderal Tomoyuki Yamashita. Peristiwa ini membuat
malu Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris pada saat itu bahkan menyebut
penyerahan ini sebagai “bencana terburuk dan penyerahan
terbesar dalam sejarah Britania Raya". War
Memorial itu sendiri didirikan sebagai tugu peringatan akan perang
Singapore dan untuk mengenang para korban sejumlah 25.000 jiwa yang gugur dalam
pembantaian Pembantaian Sook
Ching terhadap etnis Cina setelah Singapura ditaklukkan
oleh Jepang. Tapi satu bulan setelah penyerahan Jepang yaitu pada 12 September
1945 Britania kembali menduduki Singapore. Pada 1955 setelah berakhirnya perang
barulah Britania mengizinkan Singapore untuk mengadakan pemerintahan sendiri.
Duck menukik kekanan
membuat para penumpangnya terhuyung ke kanan, menyusuri Historic Civic District terlihat banyak orang sedang bersantai
menikmati cerahnya langit di lapangan yang ditumbuhi rumput itu. Disamping kiri
kami dapat melihat Asian Civilitation
Museum dengan gedungnya berbentuk huruf F jika dilihat dari atas awan dan
halaman berumput hijau nan asri. Bercat putih setinggi tiga lantai, tiga
gerbang masuknya yang melengkung dengan jendela kaca persegi panjang besar
membuat museum ini tampak retro.
Museum yang menghadirkan sejarah peradaban dan budaya Singapore ini sungguh
cocok dikunjungi bagi anak-anak sekolah karena sifatnya yang edukatif, walaupun
tentu saja orang dewasa juga dapat mengunjungi museum ini. Terdapat pula
artefak peninggalan bangsa Asia, dan bukti-bukti sejarahnya selama hampir 5000
tahun. Victoria Theatre terdapat
tidak jauh dari lokasi ini tepatnya ditikungan samping kanan. Memiliki sejarah
yang panjang, pada 1979 digunakan untuk pertunjukan Singapore Symphony Orchestra, namun baru ditetapkan sebagai monumen
nasional pada 14 Februari 1992. Sebuah gedung teater internasional dengan
sebuah menara tinggi berkubah ditengah dua gedung putih berarsitektur Eropa, di
menaranya terdapat sebuah jam besar berbentuk lingkaran. Banyak pertunjukan
teater yang telah dipentaskan di gedung ini seperti Machbet, Panthom and the Opera, semua adalah pertunjukan
berkualitas internasional. Disamping Victoria
Theater berdiri megah City Hall
gedung balai kota Singapore tempat pusat pemerintahan kota berlangsung. Selesai
dibagun tahun 1929, gedung yang tadinya bernama Principal Building ini memiliki tiang-tiang tinggi menopang atap persegi
panjang yang besar ditengahnya ada menara pendekdengan atap kubah berwarna
hijau toska. Arsitekturnya khas Eropa, didepan pintu masuknya ada tangga yang
lebar dan cukup tinggi, para pegawainya berlalu-lalang ditangga ini masuk dan
keluar gedung. Hari yang sibuk.
Tur Sejarah Singapore ini hampir berakhir, Duck melintas di depan Supreme Court yang bersebelahan dengan City Hall jadi fungsinya sama dengan
balai kota sebagai gedung pemerintahan. Diatas atap gedung ini ada sebuah
piring besar ditopang tiang-tiang, tampak seperti pemancar atau parabola untuk
telekomunikasi menurutku. Berbelok ke kanan akhirnya si bebek kembali ke
terminalnya di Suntec City,
penumpangnya sudah kehausan karena dilarang makan dan minum selama mengikuti
tur ini, peraturan yang aneh. Perlahan turun dari kendaraan amphibi ini, Pierre
langsung mampir ke sebuah stand
penjual ice cream cokelat dengan dua
keping wafel mengapitnya, harganya S$1 dia pesan dua, satu untuknya dan satu
lagi diberikan kepadaku. Rasa ice creamnya
enak sekali, lumer dimulut membuat rasa panas karena hausku berganti menjadi
dingin yang segar. Sungguh tur yang menyenangkan sekaligus edukatif, tubuh kami
yang basah kuyup terkena percikan air sungai diperjalanan tadi kini sudah
kering tertimpa panas matahari di siang hari ini yang begitu menyengat tanpa
ampun.Setelah ini kami lalu memutuskan untuk pulang ke hostel, melepas lelah
sekaligus mengisi perut yang sudah keroncongan, siapa tahu ada menu baru di breakfeast room, ayam kalkun mungkin?
****************
Tidak terasa hari sudah malam, shophouse hostel rupanya kedatangan tamu lagi seorang Afrika
berambut keriting, tubuhnya kurus dengan kulit hitam legam. Dia ikut sekamar
dengan kami membuat seluruh tempat tidur akhirnya terisi penuh. Lelaki ini
bernama Jeremiah, wajahnya oval matanya bulat telur berwarna hitam, alis yang
tebal dan bibir yang juga tebal membuat penampilannya sungguh khas apalagi dia
memakai kaus kuning menyala. Jeremiah memperkenalkan dirinya sebagai orang
Nigeria, seorang bankir yang datang ke Singapore hanya untuk bersenang-senang. Good!.
Segera setelah Jeremiah tiba di kamar dia langsung
akrab dengan Aqoon dan Bob, bertiga mereka tertawa kencang sekali entah apa
yang mereka bicarakan. Pukul sepuluh ruang TV menjadi ramai, karena si Jeremiah
ini rupanya pandai melucu. Segudang lelucon dilemparkannya membuat semua orang
terbahak-bahak kecuali Jane, rupanya perempuan bermata hijau ini merasa enggan
kepada Jeremiah. Rasis?
“Why don’t you
laugh when he is talking aboutjoke (Kenapa
kamu tidak tertawa saat dia melontarkan lelucon)?”, tanyaku kepada Jane karena
penasaran.” He is so funny I think (menurutku
dia sangat lucu)”.
Jane menoleh kepadaku terlihat mimik wajahnya yang
bingung mau menjawab apa. Setelah berpikir sejenak Jane lalu menjawab ,”I know him, he is my husband (Aku kenal
dia adalah suamiku)”.
Wooow...aku terkejut mendengarnya,
bukan tanpa sebab karena kupikir mereka terlihat tidak serasi. Jane berkulit
putih berambut pirang, sementara Jeremiah memiliki warna kulit yang kontras
dengan istrinya apalagi ditambah dengan rambut keriting yang kecil-kecil itu.
Tapi aku diam saja dan tidak banyak komentar mengetahui fakta yang mungkin
tidak diketahui penghuni kamar yang lain. Rahasia kecil aku dan Jane hehehe.
Malamnya saat waktu sudah
menunjukkan pukul 12 ketika seluruh penghuni kamar asyik tertidur, lampu kamar
sudah dimatikan kecuali lampu tidur di dinding tempat tidur Bob yang memberikan
cahaya untuknya membaca buku. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara gaduh, rupanya
Jeremiah dengan Jane sedang bertengkar hebat. Bagaimana pertengkaran itu bisa
bermula? dan entah apa yang mereka teriakkan, bahasa yang digunakan pastinya
bukan bahasa Inggris. Sepasang suami istri ini rupanya tidak sadar kalau
keributan yang mereka perbuat membangunkan semua orang. Raj bahkan sampai
terheran-heran melihat keduanya, kecuali Pierre yang asyik saja terus tidur
karena menggunakan headseat yang
disumpal di telinganya. Dasar licik.
“Sie
hat eine Affäre mit einer anderen Frau! (kamu selingkuh dengan perempuan
lain!)”, teriak Jane begitu keras matanya melotot menatap dalam-dalam suaminya.
“Ich hasse dich! (aku benci kamu)”.
Teriakan Jane membuat Thomas
melonjak dari tempat tidurnya, diperhatikannya sekeliling mungkin mencari
sumber keributan dalam kamar yang gelap ini. Begitu mengetahui sumbernya adalah
karena masalah roman picisan, Thomas hanya bisa memegang keningnya dengan kedua
tangannya, pusing.Jeremiah terlihat berkacak pinggang mendengar teriakan
istrinya itu, siluetnya terlihat karena sinar lampu jalan yang menyelinap dari
balik korden tipis jendela kamar memberikan sedikit cahaya remang-remang.
Beberapa saat kemudian terdengar
bunyi lemparan suatu benda.”Aarrrghhh!!!!
Ich stimme
nicht mit Ihnen wichtig (aaarghh! Masa bodo dengan kamu)”,
rupanya benda itu dilempar Jane hingga mengenai kening suaminya membuat Jeremiah
mengerang dan bertambah marah.
Keributan itu tentu saja membuat
semua orang dikamar tersebut terbangun dari tidur mereka. Aqoon keluar dari
selimut yang menutupi tubuhnya, tampaknya dia bingung atas apa yang sedang
terjadi. Sementara Bob yang sedari tadi membaca “The Three Dancer”-Tiga Penari-
kemudian melipat bukunya dan melepaskan kacamatanya, terganggu dengan
pertengkaran sepasang suami istri itu. Nali dan Sella bahkan sampai beranjak
dari tempat tidurnya lalu berdiri disamping dinding, waspada jika lemparan
benda yang selanjutnya mengenai tempat tidur mereka. Sementara itu Jeremiah dan
Jane kembali berteriak, satu sama lain saling menuding hingga benda-benda
melayang disekitarnya dilempar Jane yang semakin tidak terkendali.
“Enough!...this
is already night and we want to sleep(cukup!..hari sudah malam dan kami mau
tidur)”, kata Timmy tegas berharap bisa menghentikan pertengkaran itu.
Namun rupanya perkataan Timmy sia-sia belaka, baik
Jane maupun Jeremiah masih saling menyerang dengan kata-kata yang terdengar
kasar, tidak ada yang mau mengalah. Timmy melirik kepadaku, mungkin mencoba
meminta bantuanku yang memang dikenal dekat dengan Jane. Aku sebenarnya ingin
mencoba untuk menengahi pertengkaran sialan itu tapi aku bukan juru runding
yang baik, sayang sekali. Harapan Timmy hanya tinggal angin lalu.
Nali berjingkat dari dinding
tempatnya bersandar, menghindari koper-koper besar miliknya sendiri yang
tergeletak disamping tempat tidurnya agar tidak tersandung. Begitu sampai di
dekat Jane dia langsung menarik lengan Jane sambil berkata,”common guys you can talk about anything of
you problem tommorow, not now...we are trying to get sleep (ayolah kawan
kalian bisa membicarakan masalah kalian besok saja, jangan sekarang...kami
sedang mencoba untuk tidur)”.Usaha yang gagal dari Nali. Karena segera setelah dia
menarik tangan Jane dia malah terseret dalam pertengkaran rumit sepasang suami
istri itu. Akibatnya keributan semakin menjadi-jadi, membuat semua orang di dalam
kamar kesal dibuatnya. “This is wrong,
I’m nothing to do with this (ini sebuah kesalahan, aku tidak ada
hubungannya dengan ini)”, kata Nali kemudian saat semua orang melihatnya seolah
menudingnya sebagai provokator pembuat masalah menjadi besar.
“They are a couple, you know..husband and
wife (mereka sepasang suami istri, kamu tahu lah)”, kataku mencoba membuat
semua orang paham mengapa Jane dan Jeremiah bertengkar. Lebih tepatnya membuat
semua orang mengetahui apa hubungan keduanya sehingga membuat kemungkinan kedua
orang ini bertengkar.
Beberapa orang yang mendengar penjelasanku berkata
‘oooh’ seakan memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, sementara yang lain
mengernyitkan dahi. Yah, setidaknya aku sudah berusaha untuk mengakhiri
pertengkaran mereka, dengan memberi penjelasan lisan, sungguh cara yang tidak
efektif. Di sela-sela keributan yang dibuat sepasang suami istri itu terdengar
hujan rintik-rintik jatuh di atap gedung, tidak lama kemudian suara petir
menggelegar di luar sana. Cahaya kilat terlihat menggerayangi jendela kamar
sebelum petir itu datang.
Thomas akhirnya beranjak dari tempat tidurnya,
mengintip keluar jendela hujan deras sedang mengguyur jalan yang gelap dengan
pohon-pohon di sudut bergemerisik bergoyang ditiup angin.
Sementara itu ditengah ruangan Jane dan Jeremiah masih
saja bertengkar, hingga akhirnya habis kesabaran Thomas membuatnya
memperingatkan pasangan itu.” Hey if
won’t stop screaming I’m going to talk to manager, so you can walk out from
this place (kalau kalian tidak berhenti bertengkar aku akan melapor ke
manajer agar kalian dikeluarkan dari tempat ini)”.
Peringatan Thomas diacuhkan oleh keduanya, saat ini
Jane bahkan telah meringkuk di tempat tidurnya menangis keras sekali, sementara
suaminya masih sibuk berteriak ke arahnya, ribut sekali. Thomas akhirnya
melangkah keluar kamar, terlihat dari celah pintu kamar yang tadi dibukanya,
dia tampak setengah berlari menuruni tangga. Menunggu Thomas kembali kami hanya
bisa terdiam membisu menyaksikan Jeremiah mencengkeram lengan istrinya sambil
terus berbicara dengan nada keras. Sementara itu diluar hujan deras semakin
menjadi-jadi hingga kaca jendela menjadi basah diterjang hujan yang berangin.
Tidak lama kemudian Thomas kembali bersama seorang
lelaki gempal berkulit putih, wajahnya bulat dan matanya sipit dengan alis yang
tipis dan hidung kecil, dialah si manajer hostel.
Begitu memasuki kamar hal yang dilakukannya terlebih
dahulu adalah menyalakan lampu kamar hingga terang, setelah itu dia berbicara
kepada Jeremiah,”excuse me mister, would
you please stop fighting with your wife. I’m afraid you have disturbed everyone
here (maaf tuan bisakah anda berhenti bertengkar dengan istri anda. Saya
kuatir anda telah mengganggu semua orang disini)”.
Desau angin terdengar dari luar jendela tiupannya
membuat korden melambai pelan, si manajer melangkah dari tengah ruangan menuju
jendela kamar lalu menutup kaca jendela yang masih terbuka.
“I’m a manajer
here. I got complaint from Thomas, he said you are fighting here, and that was
so annoying (saya manajer disini, saya mendapat pengaduan dari Thomas
katanya anda sedang bertengkar disini, dan itu sangat menggangu)”, katanya
kemudian.
Jeremiah lalu melihat ke arahnya, dilipat tangannya di
dadanya seolah enggan kehidupan pribadinya diganggu. “I don’t think this is your bussiness (aku pikir ini bukan masalah
anda)”, katanya menatap si manajer tajam.” I
tried to make my wife understand that I love her(saya mencoba membuat istri
saya mengerti bahwa saya mencintai dia)”.
“Du bist einLügner, sie
liebenmich dass die Hündin nicht(kamu pembohong, kamu mencintai perempuan jalang itu
bukan mencintai aku)”, kata Jane parau wajahnya terlihat sembab karena airmata.
“You can fight
outside if you want not here please (kalian bisa bertengkar diluar tolong
jangan disini)”, kata Sella tiba-tiba dari balik selimutnya, dia juga terbangun
karena pertengkaran itu tentu saja.
Mendengar Sella berkata demikian, si manajer hostel
langsung menggiring Jeremiah keluar kamar sementara Jane dibiarkannya duduk
dibibir tempat tidurnya sedang menyeka air matanya, untunglah dia sudah tenang.
“I have no choice, I must to do this for our
peace and look all of people here they were trying to get sleep when you
starting to fight(Saya tidak punya pilihan, saya harus melakukan ini untuk
ketenangan bersama dan lihatlah semua orang disini mereka tadi sedang mencoba
untuk tidur saat anda memulai pertengkaran anda)”, kata si manajer saat membawa
Jeremiah keluar dari kamar.
Lelaki asal Nigeria itu akhirnya melangkah keluar
ruangan walaupun dia tampak terpaksa. Suasana kamar kembali tenang, si manajer
mematikan lampu saat keluar kamar, semua orang kembali merambat ke tempat tidur
masing-masing mencoba untuk kembali terlelap. Sekarang yang terdengar hanya
rintik hujan deras di atas atap dan jeritan angin malam yang membuat bulu kuduk
merinding.
No comments:
Post a Comment