Nasib
Malang Warga Negara Indonesia
Hari sudah pagi dan matahari pun sudah meninggi. Pierre
semalaman mengaduh kesakitan, pelipis kirinya yang lebam menyebabkan bengkak
yang perih. Namun beruntung pagi ini dia dan Thomas bisa bangun dan melangkah
ke kafe Arab di belakang hostel untuk sarapan. Nasi goreng udang dan segelas es
teh tarik dipesannya sebagai sarapan. Aku yang juga ikut sarapan bersamanya
memilih hamburger keju dan jus jeruk. Kesemua menu itu bisa didapat dengan
harga S$11, tidak lama setelah kami memesan makanan Thomas datang menyusul.
Kami duduk di bangku yang terletak pada teras kafe sambil memandangi Arab St.
yang selalu lenggang itu dengan latar belakang Sultan Mosque dikejauhan.
“We will get a car to going to our embassy, not only both of us but also
our friends. Are you coming with us? (kami akan sewa mobil untuk pergi ke
kedutaan kami, bukan hanya kami berdua tapi juga kawan-kawan kita. Apa kamu
ikut bersama kami?)”, tanya Thomas sambil memotong sekerat daging sapi panggang
lalu melahapnya.
“Yes I’m coming with you but how you can get a car? Do you now how to
get it in this country? (Ya aku akan ikut denganmu tapi bagaimana kamu bisa
mendapatkan mobil? Kamu tahu bagaimana untuk mendapatkannya di negara ini?)”,
tanyaku penasaran.
“That’s gluup...glluuppp....easy many rental here(itu mudah gluup..gluup
banyak penyewaan disini)”, jawab Thomas sambil meneguk jus melon kesukaannya. “By the way I had called for rental
lastnight, so they must be ready now (lagipula aku telah menelpon penyewaan
mobil tadi malam, jadi mereka pasti sudah kesini sekarang)”.
Kami pun melanjutkan
kegiatan sarapan kami hingga kawan-kawan yang lain pun datang dengan pakaian
yang rapi sudah bersiap menuju Kedutaan Besar negara mereka masing-masing.
Tidak jauh dibelakang mereka tampak sebuah mobil minibus berwarna hitam metalik
melintas, pengemudinya berhenti di pinggir jalan lalu mengeluarkan telponnya
kemudian menghubungi nomer seseorang.
Tidak lama kemudian Thomas berkata sambil
menunjuk mobil minibus yang tadi diparkir dipinggir jalan dengan tangan
kanannya, sementara tangan kirinya memegang handphone
,” hey... that’s the car (hey...itu
mobilnya)”.
Kami senang karena
mobil sewaan itu telah datang, memang jika menggunakan mobil akan lebih mudah
mencapai tujuan secara bersama. Akhirnya secara berurutan kami menaiki mobil
itu, Bob memilih duduk di samping supir yang berjenggot tebal, bola mata bulat,
dengan rahang yang tegas sehingga membuat wajahnya terlihat persegi, nama supir
itu Ali.Pierre, Thomas, Aqoon dan Timmy duduk dibelakang dengan jendela di
kanan kirinya serta kaca mobil belakang yang bisa dibuka. Sementara para gadis
duduk ditengah mobil termasuk aku yang dapat posisi disisi jendela. Pertama
kali kami akan melaju ke kedutaan besar Perancis. Hal itu karena dua diantara
kami adalah warga negara Perancis yaitu Pierre dan Thomas. Rencananya mereka
akan mengadukan masalah perkelahian yang semalam terjadi kepada Kedutaan Besar.
“Why do you think this isimportant case to talked to the embassy?(kenapa
kamu pikir ini masalah penting untuk dibicarakan dengan Kedutaan Besar?)”, tanya Nali penasaran, tampaknya dia bingung
dengan alasan keberangkatan kami semua ke Kedutaan Besar negara masing-masing.
Sebenarnya aku tidak
bingung hanya saja aku pikir tidak perlu mengatakan masalah ini kepada Kedutaan
Besar karena bukankah akan lebih efektif jika membuat laporan ke kantor polisi.
Tapi kata Thomas posisi kita sebagai warga negara asing di Singapore akan
membuat segalanya menjadi rumit hal ini bukan berarti polisi lokal tidak memperhatikan
kasus yang menimpa warga negara asing, tapi karena lebihbaik Kedutaan Besar
mengetahui lebih dahulu dibandingkan dengan kepolisisan jika ada peristiwa
buruk yang menimpa kami.
Kedutaan Besar Perancis
beralamat di101-103
Cluny Park Road Singapore 259595berjarak satu jam menggunakan mobil dari tempat menginap. Gedungnya
besar setinggi 5 lantai dengan pagar besi yang sangat tinggi dan di gerbangnya
terdapat lambang negara Perancis. Di halaman depannya terdapat pohon-pohon hias
dan sebuah rangka besi setinggi gedung dengan atap persegi panjang menutupi
halaman parkir. Aku ikut masuk kedalam Kedutaan saat Pierre dan Thomas menemui staff hendak mengadukan semua peristiwa
perkelahian semalam. Lantai marmer segera menyambut kami dan dinding berwarna
cokelat muda terbuat dari metal. Pierre dan Thomas menuju sebuah ruang dimana
terdapat beberapa staff Kedutaan
dibalik meja mereka yang disekat oleh kayu dibagian bawah sementara di atasnya
ada kaca dengan lubang-lubang agar staff dapat
berkomunikasi dengan warga negara yang membutuhkan pertolongan. Seorang pria
tua berambut putih dengan kacamata langsung menyapa Pierre saat dia melaporkan
permasalahan semalam. Dengan bahasa Perancis mereka bertegur sapa terlebih
dahulu kemudian mulailah Pierre bercerita tentang semuanya.
Staff kedutaan besar Perancis mengarahkan mereka untuk
mengisi secarik kertas berbahasa Perancis kemudian memberikan kertas itu ke
sebuah ruangan tertutup dimana tentu saja aku tidak dapat ikut masuk ke
dalamnya. Sekitar 15 menit kemudian baru mereka keluar dari ruangan itu dan
langsung pergi kembali ke mobil melanjutkan perjalanan ke kedutaan besar yang
lain. Aku sempat bertanya kepada Thomas mengenai apa yang dikatakan kedutaan
besarnya.
Thomas berkata kepadaku
dengan mimik wajah lega,”lenous a demandé deremplirle
papieret la volontéde gérerpour toutlettre(mereka
meminta kami untuk mengisi dokumen laporan dan akan mengurus segalanya)”.
Berikutnya kami ke
mengantarkan Kenshi ke Kedutaan Besar Jepang, kasihan sekali dia karena lukanya
yang paling parah, kepalanya dipukul oleh centeng sampai berdarah dan harus
dibalut perban yang dibeli di minimarket depan Shophouse hostel.Kedutaan besar Jepang di Singapore beralamat di 16 Nassim Road 258390, pagarnya terbuat
dari batu bata besar berwarna hitam setinggi 3 meter dan terdapat lambang
negara jepang disisi kanan pagar. Pohon-pohon rindang tumbuh di halaman
depannya, gedungnya setinggi 5 lantai dengan dinding berornamen garis-garis dan
berwarna putih gading dan ada bar di depannya. Kenshi masuk keruang depan dan
mengadukan apa yang menimpanya, kali ini bukan sebuah formulir yang diberikan
kepada Kenshi melainkan datang seorang staffperempuan
berbaju kantor berwarna hitam dengan rok selutut, rambutnya hitam pendek dan
bermata sipit,yang membantunya ke sebuah ruangan yang bersekat kayu.
Sekitar sepuluh menit
kemudian Kenshi kembali dan berkata,” I’m going home today to Japan, my embassy
send me home. They said this is the best for me (aku akan pulang hari ini ke
Jepang, kedutaan memulangkan aku. Kata mereka ini jalan yang terbaik untukku)”.
Saat aku melangkah
kembali ke mobil aku sungguh merasa kasihan kepada Kenshi, tapi tentu saja
dengan luka parah seperti itu melanjutkan rencananya untuk mencari pekerjaan baru
di Singapore pastilah bukan hal yang mudah. Setelah selesai mengantarkan Kenshi
mobil kami melaju ke Kedutaan Besar Republik Indonesia yang terletak 7 Chatsworth Road,
Singapore 249761.Gedungnya lebar setinggi 3 lantai
dengan kaca hitam menutupi jendela disetiap lantainya. Ada tiang dengan bendera
merah putih berkibar di halaman depannya dan semak bunga-bunga berwarna ungu. Beberapa
pohon pinang berdiri kokoh di kanan dan kiri gedung. Sekilas aku pikir tempat
indah pastilah memberikan perlindungan yang terbaik bagi warganya. Sialnya
rupanya aku salah, masuk ke kedutaan dihadangpetugas keamanan (satpam) dipintu
gerbang dan langsung menanyakan apa keperluanku. Aku katakan kalau aku dan kawan-kawanku
diserang tadi malam dan aku pikir aku perlu memberitahukan ini kepada kedutaan
untuk mendapatkan perlindungan.
Tanggapan satpam sangat mengejutkan,
dengan santainya dia berkata kepadaku,” Embassy
hanya akan membantu dan melindungi pembantu rumah tangga Indonesia saja bu”.
Aku dengan perasaan bingung lalu
membalas,” maksud bapak TKI (Tenaga Kerja Indonesia) begitu?”.
“Iya bu...kalau ibu bukan TKI ya Embassy tidak bisa membantu “, kata
satpam itu lagi.
Kawan-kawanku menatapku dengan tidak
sabar, karena aku merasa tidak enak ditunggu lama oleh mereka sehingga membuat
aku berkata kepada satpam itu sambil menelan ludah kalau aku adalah TKI. Duh,
mau ditaruh dimana muka ku?. Satpam lalu membuka pintu berangka besi
disampingnya dan mempersilahkan aku untuk masuk. Dalam hati aku bertanya-tanya,
“masa hanya TKI saja yang boleh masuk kedutaan?’’.
Kucoba tepiskan pertanyaan yang ada di
hatiku, akhirnya aku melangkah masuk gedung kedutaan yang berselimut cat dinding
berwarna putih dan diterangi lampu dengan semilir angin lembut dari penyejuk
ruangan disudut atas, aku kemudian duduk di ruang tunggu dimana ada dua orang
Nigeria dan seorang yang kuduga berasal dari Australia juga sedang menunggu
antrian. Tidak sampai sepuluh menit kemudian staff kedutaan selesai melayani tiga orang yang datang sebelumnya
hingga aku, si Nigeria dan orang Australia itu melangkah menemui para staff yang duduk dibelakang meja yang
dibatasi oleh sekat kayu dengan kaca berlubang dibagian atasnya.
“What
is your name, madame? (Siapa nama Ibu)?”, kata staff yang membantuku, dia seorang lelaki paruh baya bermata kecil
beralis tebal dengan wajah berbetuk hati, suaranya terdengar berat ditelingaku.
“My
name is Ningrum, may I talk in Bahasa Indonesia? (namaku Ningrum, boleh aku
berbicara dengan bahasa Indonesia)?”,tanyaku penuh harap.
“Ya ibu ada yang bisa saya bantu?”.
“Aku diserang semalam saat bersama
kawan-kawanku hhhh...”, kuhela napas panjang sambil mengingat kembali peristiwa
semalam,” kami salah turun MRT di Geylang dan mmm...kami diserang sekawanan
centeng, dipukuli tapi untungnya hanya kawan laki-laki aku saja yang dipukuli
dan aku hanya tergores. Aku pikir aku perlu lapor masalah ini dan yah.. meminta
perlindungan”.
Staff
tersebut diam sebentar alisnya mengernyit memikirkan apa yang kukatakan.
Sebentar kemudian dia berkata,”kami tidak dapat membantu permasalahan ibu,
kedutaan hanya membantu jika ibu kehilangan paspor, atau ingin membuat visa
kami baru bisa bantu”.
“Visa?..Tapi Singapore bebas visa kan?,
maksudku hanya paspor yang diperlukan untuk memasuki negeri ini bagi orang
Indonesia”, kataku cepat.
“Ya maksud kami mengurus work permitt, visa untuk ibu jika ibu
berniat bekerja disini”.
“Tapi aku baru saja diserang semalam
mas..”, kataku lagi setegah berharap kedutaan besar negeri ku tercinta ini akan
melakukan tindakan yang lebih keren daripada kedutaan Jepang yang langsung
memulangkan warga negara nya begitu mendengar insiden ini. Tapi rupanya
harapanku tinggal anggan belaka saja saat staff
tersebut menggeleng kepala.
“Tidak bisa ibu...untuk masalah seperti
ibu kami tidak bisa bantu. Mungkin ibu coba telepon keluarga ibu saja supaya
ibu dijemput atau beri kabar kepada keluarga ibu kalau...”, staff itu berhenti
sebentar lalu kembali melanjutkan kalimatnya,”Ibu tinggalnya dimana? Jakarta?,
coba saya lihat paspor ibu”.
Aku lalu merangsek tas kulit ku mencari
paspor untuk kuperlihatkan kepada staff
tersebut.
Kemudian dia kembali berkata, sambil
melihat lembaran biodata di pasporku, ” Kalau masalah yang ibu alami kami tidak
bisa membantu. Ada lagi yang ibu ingin tanyakan?”.
Staff
Kedutaan kemudian mengembalikan pasporku yang dengan cepat kusimpan lagi
didalam tas. Aku terdiam sejenak dan merasa heran, bagaimana mungkin kedutaan
besar negaraku tidak dapat memberikan bantuan sama sekali, tidak ada formulir
yang perlu diisi seperti di Kedutaan Besar Perancis, tidak ada pulang cepat
seperti yang diberikan kepada Kenshi oleh kedutaannya, tidak ada apapun yang
diperbuat staff tua bangka ini
untukku!
“Tidak ada lagi mas ....aku pikir itu
saja yang mau aku sampaikan”, kataku dengan lemas, benar-benar peristiwa
teraneh dalam hidupku. Kedutaan Besar Republik Indonesia sama sekali tidak
beraksi dengan ceritaku padahal warga negaranya habis diserang dan bukankah itu
artinya sebagai warga negara Indonesia aku seharusnya dilindungi oleh kedutaan?
Diluar kawan-kawanku sudah menunggu di
mobil, Nali tersenyum kepadaku penuh harap. “How is it going (Bagaimana?)”, tanya Nali saat aku duduk di jok
mobil yang empuk dan terbuat dari busa itu.
Aku bingung bagaimana menjawab
pertanyaan gadis Korea ini. “well,
mpphh...everything is undercontrol (yah..semuanya sudah ditangani dengan
baik)”, kataku sekedarnya.
Malu kalau harus menjawab aku tidak
mendapatkan tanggapan apapun dari Kedutaan Besar Republik Indonesia, malu
kepada kawan-kawanku yang berasal dari berbagai negara. Akhirnya mobil hitam
metalik yang kami sewa berputar halauan menuju Kedutaan Besar Korea Selatan,
USA, Malaysia, dan Taiwan, melewati jalan-jalan bebas kemacetan di Singapore
dengan kecepatan sedang hingga semuanya mendapatkan bantuan dari Kedutaan Besar
negara mereka masing-masing, kecuali aku.
No comments:
Post a Comment