Thursday, October 24, 2013

Singapore With Love eps.6


Singapore Zoo yang Menggemparkan
Tidak terasa hari sudah berganti, aku masih ingat semalam aku, Pierre dan Thomas berdansa di sebuah klub malam di Marina Sand Bay hingga lelah. Karena itulah pagi ini aku tidak melihat Pierre beraktifitas, dia tidur nyenyak sampai jam 10 pagi yang mana saat itu aku sudah sarapan di kafe Arab yang berada tepat dibelakang hostel. Kawan-kawan sekamarku yang kemarin sibuk beraktifitas kini hanya tergeletak menanti hari berlalu. Namun itu tidak berlangsung lama karena Nali mengkoordinasi mereka untuk bertamasya bersama demi mengisi satu hari yang kosong untuk kami semua. Tapi Thomas tampaknya enggan terbangun dari mimpi indahnya, mungkin dia kedapatan mimpi bercinta dengan gadis Brasil yang baru bertemu dengannya semalam. Yah..sayangnya mimpi Thomas tidak berlangsung lama karena Nali dengan sembrono -- dan kesengajaan tentu saja -- melempar sisir kecil ke kepalanya hingga membuat dia kusak-kusuk kesakitan di ranjang lalu terbangun. Aku sendiri setelah minum es kopi sama sekali tidak merasa lemas padahal semalaman aku berdansa di club sampai hampir pagi. Beruntung sekali karena rupanya ayam jantan di Singapore sangat pemalas, hingga fajarpun dibiarkannya terlewat tanpa suara berkokok.
Sebelas orang sudah siap saat menjelang pukul sepuluh, kesemuanya adalah teman sekamar termasuk aku. Rencana Nali sederhana saja, mengunjungi kebun binatang hingga petang lalu menyusuri Litte India yang eksotis di malam hari. Berutung sekali Singapore punya MRT yang bisa memobilisasi rombongan turis kesiangan ini hingga ke kebun binatang. Dengan waktu tempuh 30 menit dari hostel kami dan biaya tiket S$1.40, cukup cepat, tidak melelahkan dan yang paling penting murah. Turun di stasiunAng Moo Kio lalu lanjutkan perjalanan dengan Bus Interchange no.138 dengan harga tiket S$1.20 akan sampai ke Singapore Zoo yang beralamat di 80 Mandai Lake Rd, Singapore 729826.
Tiket masuk kebun binatang ini adalah S$22 perorang dan untuk kidsS$14. Jadi walaupun berombongan kami tidak dapat diskon. Singapore Zoo sendiri merupakan kebun binatang interaktif dimana diantara pengunjung dan hewan-hewannya tidak dibatasi dengan pagar, tidak seperti di Ragunan yang hewan-hewannya terkurung. Menjelajahi zoo ini bisa dengan jalan kaki atau menggunakan trem. Rombongan kami lebih memilih berjalan kaki karena akan membuat kami merasa lebih dekat dengan satwa. Jika menggunakan trem memang akan menghemat tenaga untuk mengelilingi zoo ini karena besarnya zoo ini akan membuat siapapun luntang lantung menahan lelah. Walaupun begitu trem hanya bergerak di lingkar luar kebun binatang saja, padahal para penghuni zoo ini terletak di bagian dalam. Sungguh kita akan melewatkan momen bercengkerama dengan hewan-hewan jika kita menggunakan trem.
Memasuki gate kebun binatang kami langsung di sapa orangutan besar yang menggelayut manja di pohon, tanpa pagar pembatas sama sekali. Sungguh menggemparkan! Aqoon sibuk mengambil foto si orang utan dan juga sesekali foto Thomas. Aku harap dia tidak membandingkan Thomas dan si Otan hehe. Bob tertawa tergelak-gelak manakala si Otan berguling-guling di tanah melihat para pengunjung yang kian ramai, rupanya dia suka jadi pusat perhatian. Entah bagaimana kebun binatang ini menjaga keamanan para pengunjung dan binatangnya dengan konsep tanpa pagar diantara kami, tapi rupanya pihak zoo menggunakan sistem keamanan yang cukup canggih hingga pengunjung tidak perlu mengkuatirkan apapun. Asalkan kami tetap di jalan (on track) dan tidak memasuki habitatnya tentu tidak jadi masalah. Dan si Otan pun bisa bebas bercanda dengan para pengunjung.
Melewati habitat orang utan kami menemui gajah afrika yang terlihat bahagia dengan setumpuk nanas di depannya. Tentu saja sang gajah lalu memanggil kawanannya hingga mereka menyantap makan siangnya bersama, sungguh riuh acara pesta para gajah ini. Habitat gajah di kebun binatang ini di ciptakan mirip seperti di Afrika dengan padang rumput savananya dan beberapa pohon menjulang tinggi. Sungguh memukau landscapeSingapore Zoo bagi kami yang berasal dari luar negeri ini merupakan hal yang baru, apalagi dengan tanpa adanya pagar pembatas diantara kami dan para gajah membuat kami merasa benar-benar seperti berada di depan mata sang gajah.
Beranjak dari habitat gajah, kami lalu menemui habitat para burung cantik. Ada merak, kakaktua dan kasuari. Ditambah dengan puluhan burung yang lain yang tentu saja tidak kalah cantiknya. Semua bebas berterbangan dan bersenda gurau dengan para pengunjung. Suasana seperti ini tentu saja sangat berbeda dengan kebun binatang Ragunan yang kaku. Sungguh iri aku dengan warga Singapore yang memiliki kebun binatang ciamik seperti ini. Tapi satu hal yang pasti kedua kebun binatang ini sama-sama bau, yah namanya juga kebun binatang pasti bau tapi untunglah baunya masih bisa ditoleransi. Walaupun begitu Ragunan punya keunggulan, dari segi besar nya kebun binatang kebanggaan orang Jakarta ini rupanya lebih luas daripada Singapore Zoo, bahkan Ragunan merupakan kebun binatang kedua terbesar di dunia.
Puas bercengkrama dengan burung-burung cantik kami bergegas ke habitat harimau, benar-benar menegangkan. Ini sungguh terjadi, para harimau yang terkenal akan keganasannya itu ditempatkan di habitat penuh pepohonan rindang, dibatasi hanya dengan selapis kaca transparan hingga para harimau dapat menghampiri kami sampai dekat sekali. Harimau merupakan spesies kucing besar yang liar dan tentu saja galak, jangan ditanya berapa jumlah korban manusia yang diterkam oleh harimau di seluruh dunia. Dengan segala ketenaran yang didapatnya tentu saja bisa berada di antara mereka dengan hanya dibatasi kaca transparan dan masih hidup untuk menceritakan pengalaman ini adalah sebuah keberuntungan tersendiri menurutku. Habitatnya di Singapore Zoo sendiri dibuat mirip seperti hutan Sumatera dengan skala lebih kecil tentunya. Pohon-pohon tinggi merapat dan semak-semak belukar yang membuat si harimau tersamar, dilengkapi dengan sungai kecil yang mengalir. Landscape seperti ini sebenarnya sangat umum di temui di kebun-kebun dipinggiran kota Jakarta, malahan di belakang rumahku ada kebun milik seorang betawi yang mirip dengan habitat harimau di zoo ini. Walaupun begitu tetap saja suasana menegangkan bertemu sang harimau tidak bisa disandingkan dengan kebun Pak Mamat.
Ditemui di habitat mereka para harimau terlihat menyeringai, kelihatannya mereka senang mendapatkan kunjungan kami yang terlihat seperti mangsa empuk di mata mereka. Buktinya dua ekor harimau tak henti-hentinya mengaum, seolah memberitahukan kepada kami bahwa mereka lah penguasa di tempat itu. Sementara seekor harimau yang berukuran paling besar sibuk mengintai kami dari balik rerimbunan dedaunan. Timmy rupanya pantang takut dihadapan para harimau, dia asyik saja mengambil foto si pengintai yang tentu saja anti kamera. Akibatnya bisa dibayangkan, harimau gemuk itu berlari ke arah Timmy hingga tiba di garis pembatas yang dibatasi kaca transparan hingga membuat si harimau tidak mampu menerkam Timmy, sungguh beruntung. Peristiwa yang menimpa Timmy membuat wanita-wanita berteriak histeris, pasti pemandangan yang menakutkan. Aku sendiri sampai lemas dibuatnya.
Sehingga kami pun merajuk kepada para lelaki di rombongan kami untuk segera meninggalkan para harimau itu,”common we move from here aaah...we are so scared (ayo kita beranjak dari sini aahhh... kami sangat ketakutan)”. Tanpa kompromi rombongan kami lalu menuju ke habitat rusa-rusa elok, sungguh membuat suasana yang tadinya menegangkan menjadi santai kembali.
Tidak jauh dari habitat rusa ada habitan sang raja hutan, siapa lagi kalau bukan singa. Landscape habitatnya adalah padang rumput tundra dan kaktus mirip seperti di Afrika, dengan mata airnya yang mengalir dan terdapat eceng gondok dipermukaannya. Singa-singa tersebut saat kami hampiri terlihat sedang bermalasan, seekor betinanya bahkan sedang berbaring sambil ohh my God! Singa betina itu sedang menyusui anak-anaknya, manis sekali. Ada dua ekor anak singa yang tampak begitu manja didekapan induknya. Apalagi induknya tidak henti-hentinya menjilati kepala mungil singa-singa kecil itu, membuat mereka berguling-guling kegelian, sungguh lucu dilihatnya. Sementara itu sang jantan terlihat berpatroli keliling habitatnya, sesekali mencakar pohon kaktus, mungkin untuk menajamkan cakar-cakar panjangnya. Jane dan Seli entah kenapa kelihatannya tidak takut terhadap si raja hutan, padahal saat di habitat harimau mereka menjerit-jerit, mungkin karena ada anak-anak singa yang lucu itu. Jane tidak berhenti memotret, Seli bahkan memintaku untuk mengambil fotonya berlatar belakang anak-anak singa, jepret! sungguh foto yang spektakuler.
“Auuumm...auuuummmm..”, singa-singa itu mengaum.
Seperti biasa Sella dan Jane kembali menjerit mendengar auman sang raja hutan. Aqoon segera mengajak rombongan untuk meninggalkan habitat singa,”Let’s go to hippo’s pound, they are funny nothing to worry, girls (ayo kita ke kolam kuda nil, mereka lucu tidak ada yang peru dikuatirkan, gadis-gadis)”.
 Walaupun tampaknya seekor pejantan gembul keberatan jika kami beranjak, si gembul ini mengaum lebih keras lagi dan menerkam semak tanaman Achelia yang berbunga putih alih-alih menerkam Aqoon. Singa itu baru terdiam saat kami mulai beranjak pergi, dia lalu meminum mata air untuk menyegarkannya dari cuaca Singapore yang panas hari ini. Duuh...jadi ikut haus nih.
Ada banyak habitat hewan di Singapore Zoo selain singa dan gajah juga bisa dilihat binatang asal Afrika lainnya yaitu jerapah, zebra, buaya, dan kuda nil. Selain itu ada juga binatang dari Asia seperti harimau sumatera, orang utan, dan tapir. Koleksi kebun binatang ini tambah lengkap dengan adanya kangguru, dan koala yang imut asal Australia. Bahkan binatang-binatang yang berasal dari wilayah kutub juga bisa temui disini seperti anjing laut, singa laut, jangan lupakan si penguin yang menggemaskan. Sungguh pengalaman yang seru bisa bercengkerama dengan mereka semua.
            Setelah berpetualang melihat habitat para hewan di Singapore Zoo kami lalu beranjak menuju Splash Safari Show. Jika menyukaibasah-basahan, keanehan dankeindahan, ini adalah show yang tepat untuk ditonton! Menghadirkan singa lautnakaldari Californiasebagai superstar, singa laut bertubuh gemuk di tempat ini sungguh jenaka. Ini adalah parade percikan yang memiliki energi tinggi diisi dengan banyak momen spesial yang akan menggelitik hingga ke sanubari. Si jimbo-nama si singa laut itu-dan kawanannya bermain bola hingga meloncati lingkaran yang tinggi diatas permukaan kolam renang besar. Kelima sekawan itu bahkan mahir bersepeda ria mengelilingi arena. Acara ditutup dengan permainan terompet dari salah satu anjing laut yang bertubuh agak kurus, jalannya megal-megol saat menuju ke arah tiang yang diatasnya terdapat terompet untuk memainkan lagu Happy Birthday To You, sungguh akhir yang mengesankan.
            Perjalanan dilanjutkan dengan menunggangi gajah yang gagah dan besar. Aku dan Pierre memilih berdua saja saat menunggangi seekor gajah berwarna hitam pekat dengan sadel kuning cerah. Sementara yang lain mengekor di belakang sambil menunggangi lima ekor gajah bergading pendek. Pawangnya dengan sigap mengarahkan si Dodo – nama gajah yang kutunggangi – menuju ke arah hutan kecil penuh semak belukar. Ditengah perjalanan kami bertemu monyet-monyet nakal yang nekat meminta pisang kepada Pierre.
Je n'ai pasapporter de la nourritureĆ vous ouch...ouch... (aku tidak membawa makanan untuk kamu ouch..ouchh)”, kata Pierre berharap monyet-monyet itu berhenti mengganggunya. Namun pasukan monyet tetap saja meloncat-loncat ke arah Pierre. Bahkan kemudian setelah paham Pierre tidak membawa pisang, mereka berhamburan ke belakang kami.
Ouch..ouch...”, lengking Nali saat seekor monyet menjambak rambutnya.
Gajah-gajah besar yang kami tunggangi berasal dari Afrika. Itulah sebabnya mereka bisa dengan mudah menerobos semak belukar yang terhampar di hadapan kami. Belum lagi sebuah kolam besar juga dengan mudahnya dilewati, saat itu terjadi aku dan Pierre sontak terkejut karena sekujur kaki kami jadi basah karena terendam air kolam. Menggigil juga rupanya walaupun hanya basah sedikit.
Sampai di sebuah persimpangan yang ditumbuhi sebuah pohon akasia besar perjalanan kami menunggang gajah berakhir. Tapi tidak lama kemudian ada sebuah trem melintas di depan kami. Beruntung trem berwarna hijau dan berornamen kepala badak di atapnya itu berhenti tidak jauh dari tempat kami berdiri.
We dicided to use trem fo new experience traveling around the zoo(kami akhirnya memutuskan menaiki trem untuk mencoba pengalaman baru berkeliling kebun binatang)” kata Raj setelah berdiskusi dengan yang lain.”Do you want to come with us, Ningrum?”.
Yes, I want to come with you guys (ya, aku mau ikut bersama kalian kawan-kawan)”.
 Sungguh mengasyikan, trem bergerak tidak begitu cepat hingga kami bisa menyaksikan pemandangan di sepanjang jalan dengan leluasa. Berbagai habitat hewan kami lewati seperti habitat macan tutul, unta, kuda nil danyang paling menegangkan adalah saat melintas di habitat macan tutul berukuran besar—kalau tidak bisa dibilang raksasa-- yang sedang melahap ayam kalkun gemuk hidup-hidup.
Puas menjelajahi Singapore Zoo dengan trem kami melanjutkan petualangan kami untuk menonton Rainforest Fight Back Show. Sebuah acara teater musikal yang mengangkat tema perlawanan hewan-hewan saat hutannya ditebang oleh para pemburu liar.
Seorang pemandu acara pria berkulit cokelat dan berpakaian safari dengan celana pendek membuka pertunjukkan dengan menggunakan bahasa Melayu – yang terdengar seperti bahasa Indonesia, “Berkisah tentang Kai seekor orang utan dari hutan hujan Kalimantan bergabung bersama dengan kawan-kawannya untuk mempertahankan hutan mereka melawan Vamoosh, penjahat serakah yang menggunakan ancaman ekskavator untuk merobek rumah mereka. Berang-berang, ular, macaw, lemur, dan monyet ekor kuning dan lainnya bergabung dalam pertempuran untuk masa depan habitat mereka dan planet kita. Begitu mengagumkan menonton hewan-hewan ini beraksi sebagai individu maupun sebuah tim.Siapa yang akan memenangkanpertempuranprimata? Akankah Kaidan kawan-kawannyaberhasilmenggagalkanrencanaVamooshitu?”.
Semua jalannya cerita disuguhkan dengan memukausaat menikmatiRainforest Fight Back Show di AmphitheatreShaw.Setelah itu kami menemukan kemampuan penyembuhan dari hutan hujan dan mempelajarinya untuk kemudian menyimpannya. Yang paling seru adalah saat pengunjung diberikan tantangan untuk beradu panco dengan seekor orang utan besar. Anggap saja kita bertaruh semua pisang yang kita miliki pada bintang tamu berbulu kita. Dan untuk tantangan yang satu ini tentu saja Timmy merasa yang paling macho, hingga dia memberanikan diri untuk naik ke atas panggung. Sungguh lucu melihat Timmy beradu panco dengan Gem seekor orang utan jantan dari Kalimantan, seluruh penonton tergelak-gelak melihat mereka. Dan ingatlah untuk tidak langsung beranjak pulang karena akan ada acara foto bersama dengan para hewan. Chesee !
Tidak terasa hari sudah senja, matahari juga sudah siap untuk terbenam. Memang menghabiskan waktu berlibur di Singapore Zoo tidak akan membuat turis merasa bosan, malah akan merasa senang karena beragam atraksi para hewan yang atraktif. Namun karena hari sudah senja dan kami juga sudah lelah akhirnya rombongan kami pun lalu memutuskan untuk beranjak ke Little India, sebuah kawasan yang didominasi oleh orang India terutama etnis Tamil. Menggunakan MRT dengan tiket seharga S$1.40 dari stasiun Ang Moo Kio turun di stasiun Little India, kawasan ini terletak di sebelah timur Singapore. Disana kami melihat hamparan rumah-rumah milik para pendatang dari India, tentu saja semua rumah itu memiliki unsur budaya India yang sangat kental.
Saat tiba di stasiun matahari sudah terbenam, lampu-lampu penduduk sudah menyala. Kawasan Little India yang ciamik berkat penataan tata kotanya yang mirip dengan daerah asli di India. Pepohonan hanya sedikit yang tumbuh di kawasan ini, tidak juga aku jumpai burung paruh kuning seperti yang biasa berterbangan di Taman Merlion. Dari stasiun kami berbelok kekiri dengan berjalan kaki kami menemukan para pedagang India berjajar bak di pasar Tanah Abang. Kios-kios berhimpitan menjual buah-buahan dan terutama sayuran segar seperti kubis dan terung. Harganya pun cukup murah, Bob yang tertarik membeli sekilo mangga manis mendapatkan harga S$3 dari seorang pedagang buah yang mirip dengan Sharukh Khan, bintang film Bollywood yang terkenal itu. Mangga itu juga sempat dikupas oleh sang pedagang atas permintaan Bob dan kami pun mencicipi mangga berdaging kuning terang itu sambil terlena, amboimanisnya. Ada hal yang unik dari kawasan ini, banyaknya pedagang yang menjual bunga-bunga untuk persembahan para dewa hingga perlengkapan sesaji seperti dupa dan pisang-pisang kecil membuat kawasan ini wangi semerbak hingga ke jalan-jalan. Apalagi para pedagang juga menjual patung dewa-dewa mereka dalam ukuran mini, sehingga membuat Wisnu, Krishna, dan yang paling unik Ganesha terlihat lucu untuk dikoleksi sebagai oleh-oleh tentu tanpa menghilangkan unsur sakral dari miniatur para dewa ini. Melihat ini Aqoon membelinya satu, sebuah Ganesha mungil katanya nanti akan dipajang sebagai hiasan kamarnya di Taiwan.
            Banyaknya pedagang buah eksotis tentu sangat menarik minat kawan-kawan baruku yang berasal dari benua biru. Pierre dan Thomas terlihat menawar sekilo manggis yang oleh orang barat disebut Queen of the Fruit, mereka terlihat sangat excited sekali dengan buah manggis yang berukuran lebih besar dari manggis yang bisa didapat di pasar Kebayoran Lama. Bentuknya yang bulat berwarna ungu terang dengan tangkai hijau dan mahkota tentu saja menggoda bagi siapa saja yang ingin mencicipi kelezatannya.
Setelah sekilo manggis sudah didapat, Thomas dan Pierre tidak lupa memberikannya kepada kami,” this is so sweet and fresh, and suprisingly no seed, very best quality(rasanya manis segar dan yang mengejutkan tanpa biji, sungguh manggis kualitas terbaik)”.
            Kenyang menyantap manggis kami lalu melanjutkan perjalanan menyusuri pasar yang ramai ini, banyak sekali pembeli yang datang dimalam hari terutama kaum ibu yang mencari bahan-bahan masakan yang segar untuk keluarga dengan harga terjangkau. Kami mencoba mencari jalan dengan menerobos rombongan para pembeli yang sedang riuh menawar harga. Diatas kepala kami terhampar atap yang terbuat dari tenda berwarna warni dengan gantungan bunga-bunga kuning dan kadangkala sari-sari India yang terasa lembut saat mengenai wajahku. Entah berapa kali kami mencium bau dupa yang menyengat dari arah kios-kios milik orang India ini. Tapi aroma dupa sesungguhnya masih bisa ditoleransi oleh rombongan kami, tidak seperti bau durian yang semerbak tercium saat kami melewati kios pedagang buah yang dijuluki The King of Fruit ini – untungnya aku malah terlena dengan semerbak harum buah favorit kebanyakan orang Indonesia ini, membuatku membeli satu yang sudah dikupas dan dijual dalam kemasan sterofoam yang dibungkus plastik kedap udara, untuk kusantap sendiri nanti di hostel mengingat kawan-kawanku ingin cepat-cepat beranjak. Tampaknya benar kata orang kalau orang bule tidak tahan bau durian. Buktinya Pierre dan Thomas langsung menutup hidung, sementara Jane tampaknya bereaksi agak berlebihan – atau bisa jadi itu adalah reaksi alami orang bule kalau mencium bau yang menurutnya tidak sedap -- dengan muntah-muntah kecilnya setelah melewati sebuah kios durian. Tapi rupanya penderitaan mereka tidak akan cepat berakhir, karena sepanjang 100 meter ke depan dipenuhi oleh kios penjaja durian berukuran besar-besar dengan bau yang lebih menyengat lagi. Kasihan.
            Setelah kesenangan – yang oleh kawan-kawan bule ku disebut sebagai perjuangan setengah mati --melewati para pedagang durian. Kami melintas di depan sebuah kuil umat hindu yaitu Sri Marriaman Temple. Kuil ini terletak tepat dipinggir jalan yang berseberangan dengan sebuah kafe internet dan restoran masakan India, dengan lalu lintas jalanan yang lenggang dari kendaraan bermotor hanya sesekali bus berwarna merah melintas. Sri Marriaman Temple disebut-sebut merupakan kuil hindu tertua di Singapore, dengan ukurannya yang tidak terlalu besar, berornamen relief berwarna-warni yang menurutku mungkin menceritakan kisah mahabarata. Atap kuil ini berbentuk punden berundak-undak yang mirip candi dikejauhan hanya saja warnanya tidak hitam karena tidak terbuat dari batu kali melainkan dari batu putih dengan ukiran-ukiran dewa-dewa beraneka warna. Masuk ke kuil ini tidak dikenakan biaya, wisata gratis seperti ini tentu menarik minat wisatawan. Pintu masuknya lebar, para pengunjung diharuskan melepas sepatu dan mencuci kaki sebelum memasuki kuil. Dimalam hari yang kelam tanpa sinar rembulan dan bintang, masih saja banyak orang India dan para penyembah Krisna yang berdoa didalam kuil ini. Walaupun satu jam lagi kuil ini akan ditutup, tapi waktu tersebut dirasa cukup untuk sekedar melihat-lihat kuil yang kental pula dengan kebudayaan India. Begitu memasuki kuil sebuah patung dewa berwarna putih sedang duduk diatas teratai menyambut kami. Tangan dewa itu ada banyak, mungkin delapan? membawa tongkat panjang yang berujung bulat bergerigi. Diatasnya tergantung lonceng kecil yang bisa berdentang jika disentuh oleh para pendoa. Yang pasti aku lupa dengan nama sang dewa yang sebenarnya tertera di sebuah plakat keemasan dibawah patungnya karena aku terlalu terpaku dengan banyaknya sesaji yang diletakkan didepan dewa itu. Ada selusin mangga, pisang dan buah kesukaanku yaitu apel hijau yang renyah dan tampak manis ditata rapi diloyang bulat, membuatku meneteskan air liur. Diantara sesaji itu terdapat entah berapa banyak dupa yang tertancap di sebuah bejana berisikan abu. Para penyembah sang dewa bergantian membawa dupa yang menyala sambil berlutut dan berdoa, setelah itu dupa ditancapkan dan pendoa lalu menyentuh kaki sang dewa. Disudut kanan kuil ada lagi dewa yang lain, patungnya hitam sedang berdiri membawa semacam gada yang disandarkan di pundaknya, wajahnya menyeringai membuatku agak takut sebenarnya. Sesaji didepannya lebih banyak lagi, ada seikat rambutan, sekeranjang bunga berwarna kuning terang, dan anggur hijau yang tampak menggiurkan. Ada beberapa dewa yang dapat disembah di kuil ini, tiga diantaranya dapat dijumpai di ruang depan kuil. Sisanya ada dihalaman belakang kuil yang sebenarnya seperti lorong-lorong beratapkan langit dengan patung dewa yang terdapat pada sisi kanan-kiri dinding lorong yang merupakan bagian dari bangunan candi. Lilin-lilin kecil turut dinyalakan didepan patung dewa-dewa itu, selain itu juga terdapat kalung bunga merah yang melingkar di leher sang dewa.
            Puas berwisata di Sri Mariamman Temple rombongan kami lalu sepakat untuk makan malam, sebuah restoran India yang tepat berada di seberang jalan menjadi sasaran empuk. Keunikan restoran ini menjadi daya tarik tersendiri, dengan tema jungle to jungle masuk ke dalam restoran ini serasa seperti masuk ke hutan rimba. Sebatang pohon berdiri disudut ruangan dengan daun-daun artifisialnya yang menjuntai, langit-langit dipenuhi tanaman merambat berwarna hijau yang kuduga terbuat dari plastik juga. Meja kursinya dari kayu, lantainya ditutupi karpet rumput buatan, sehingga terlihat hijau dengan tekstur menggelitik kaki mirip sensasi menginjak rumput asli.
            I think I prefer to choose this paratha bread with kari (aku pikir aku pesan roti paratha dan kari saja),” kataku memecah keheningan karena semua orang sedang sibuk melihat buku menu.
 Semua anggota rombongan yang sudah duduk menatapku, sambil ikut-ikutan mempertimbangkan menu yang kupesan seharga S$5. Roti partaha sendiri berbentuk bulat datar dan tipis, bisa dilipat jika penikmatnya menginginkan. Sementara kari yang kupesan di daftar menu yang bergambar terlihat merah dengan keratan-keratan daging yang kuduga adalah daging domba.
            Ewww...that’s must be spicy, Ithink I would like to order hokkien prawn mie with white sauce  (Ewww..itu pasti pedas, aku pikir aku lebih suka memesan hokkien prawn miedengan saus putih)”, kata Nali sambil menunjuk menu bergambar yang terlihat seperti mie rebus tabur udang dengan mayonaise saja menurutku.“And for drink ice kachang must be yummy? and hey it’s also cheap only S$4.50 (dan minumnya es kachang pasti yummy?)”.
            “Yes..(Ya..),” jawab yang lain bersamaan.
Tampaknya menu yang dipesan Nali merupakan favorit semuanya, karena kawan-kawanku kemudian juga banyak yang memesan hokkien prawn mie sama dengan Nali, walaupun untuk minumnya ada yang lebih memilih jus alpukat daripada es kachang yang sebenarnya di Indonesia dikenal dengan nama es kacang merah. Kecuali aku, Aqoon, dan Raj yang memilih menu berbeda, Aqoon lebih suka yong tau foo hakka merupakan tahu yang diisi daging babi, disajikan diatas piring berbalut selada. Ditemani Singapore sling yang terbuat dari jus nanas dari nanas Sarawak untuk menghasilkan bagian atas yang berbusa, jus delima, gin, cherry liquer, Benedictine, kedua menu tadi dibayar seharga S$6. Sementara Raj memilihayambuah keluak seharga S$5 yang katanya cukup familiar di Pakistan negeri asal Raj. Dengan hidangan pembukanya bak kut teh yaitu semangkuk sup iga daging babi dicampur cengkeh, kayu manis, adas manis, biji adas, dan ketumbarseharga S$7. Dan minumannya segelas jus stroberi asam manis, sungguh paduan yang pas dilidah.
            Sambil menunggu menu tersaji kami mengagumi atraksi chef restoran ini saat sedang membuat menu pesananku, roti paratha. Sang koki menggiling adonan roti lalu membentuknya menjadi lingkaran. Yang paling mendebarkan adalah saat sang koki melemparkan adonan itu di udara, lalu dengan semangat membanting dan memukul adonan ini sesaat sebelum disajikan untuk menjadikannya tipis dan empuk. Makan malam bersama kami sungguh seru, diselingi dengan obrolan hangat seputar negara masing-masing. Aku tersipu saat Nali bercerita kalau dia pernah ke Bali yang disebutnya sebagai heaven karena keindahannya yang sulit ditandingi di muka bumi. Tapi itu tidak lama karena dia memberi catatan betapa lalu lintas Denpasar sungguh sulit ditembus, padat mengular hingga satu jam. Aqoon lain lagi, dia bercerita soal Taiwan yang menurutnya agak membosankan karena landscape nya yang hanyalah hutan beton, gedung tinggi menjulang dimana-mana, dengan keriuhan orang dipusat-pusat kota. Dia merindukan keindahan alam dan air terjun hingga terbang ke Singaporeyang lalu membuatnya kecewa karena tidak ada air terjun alami disini. Lain lagi dengan Timmy yang bercerita soal Amerika tanah airnya yang tercinta, dengan danau-danaunya yang indah, musim salju yang keras, namun musim panasnya sungguh menyenangkan terutama jika dihabiskan di pantai California yang luas. Semuanya bercerita dengan riuh diiringi alunan gitar dari seorang penyanyi solo berwajah cantik yang menyanyikan lagu asal Mexico ‘marimar’ yang dipopulerkan oleh Thalia penyanyi cantik asal negeri itu. Sambil melahap roti paratha yang dicocol kari domba aku menikmati benar suasana di restoran ini. Walaupun benar kata Nali hidangan yang kupesan ini pedas setengah mati, membuat mataku ‘merem melek’ karena pedas dan sedapnya.
Saat santap malam sudah selesai barulah kami beranjak pulang melewati jalanan yang lenggang dan gelap menuju stasiun MRT. Namun rupanya kami tidak sengaja salah turun kereta danberhenti di stasiun Geylang sebuah daerah red district dimana terdapat banyak bar hingga bisnis esek-esek yang menjamur. Disepanjang jalan rumah-rumah bordil berdiri di daerah ini, beberapa bercat merah di dinding depannya dengan marka bertuliskan nama rumah bordil tersebut yang berkelip-kelip. Ditrotoar saja kami berpapasan dengan banyak kupu-kupu malam berbalut rok pendek ketat dan lipstik sangat merah, belum lagi wangi parfum melatinya yang menyengat membuat suasana menjadi mistis. Beberapa dari mereka lalu menghampiri para lelaki di kelompok kami, Tim, Aqoon, Pierre dan lainnya sampai terkejut dibuatnya. Bibir kupu-kupu malam itu tersenyum merayu memanja kepada setiap mereka yang datang. Sepatu hak tinggi mereka bergemeletuk menggerus trotoar, tangan-tangannya menggerayangi kawan-kawan ku dan juga Pierre. Aku benci!
Sorry we are going to go home, excuse me(maaf kami sedang dalam perjalanan pulang, permisi ya...)”, kata Timmy saat salah seorang diantara kupu-kupu malam itu menggelayut di lengannya. Namun bukannya menyingkir si kupu-kupu malam berbaju merah itu malah semakin menjadi-jadi.
“I Cannot do this we are bussy, am I right dude?(Aku tidak bisa melakukan ini kami sedang sibuk, bukan begitu sobat?)”, kata Thomas ditimpali jawaban setuju oleh yang lainnya saat seorang kupu-kupu malam berbaju kuning mencium pipinya. Lipstik merahnya hingga membekas di pipi sebelah kiri Thomas.
 Timmy tampaknya sudah tidak sabar lagi ingin cepat kembali ke penginapan, sehingga dia pun meninggikan nada suaranya berharap kupu-kupu malam itu menjauh,” Isaid get off! (aku bilang menjauhlah!)”.
 Rupanya suara keras itu membuat mereka takut dan perlahan-lahan mundur, namun itu tidak menyelesaikan masalah karena beberapa orang bertubuh besar tiba-tiba saja keluar dari rumah mucikari. Perempuan-perempuan nakal itu kemudian mengadu pada centeng yang ditugaskan oleh mucikari untuk menjaga mereka, tidak lama kemudian para centengmenghentikan langkah kami.
“ What were you doing with our girls (apa yang tadi sedang kamu lakukan kepada gadis-gadis kami?)?”, tanya satu diantara centeng itu kepada Timmy, dia memiliki tampang sangar dan kepala botak dengan lengan penuh tato.
Timmy tersentak berhadapan dengan centeng berbadan besar itu, apalagi mereka lebih tinggi dan kekar darinya. “Nothing, we just want to go home before late (tidak ada kami hanya ingin pulang sebelum larut malam),” jawab Timmy seadanya.
Do not mess up with the girls, do you understand?! (jangan macam-macam dengan gadis-gadis ini, apa kamu mengerti?!)”, kata centeng yang lain, yang satu ini memiliki rambut ekor kuda, sebuah jangkar terukir dalam di lengan kirinya. Wajahnya beringas, berkumis tebal dengan sorot mata tajam menjurus ke semua orang.
Sebelum kawan-kawanku menjawab pertanyaan centengtersebut sebuah pukulan mentah melayang ke wajah Timmy hingga membuatnya terhuyung kebelakang, kawan-kawannya terlihat shock atas insiden tersebut. Para wanita menjerit ketakutan, aku berlari ke arah tiang listrik lalu bersembunyi dibelakangnya. Para gadis juga ikut berlari mencari tempat sembunyi, sementara para kupu-kupu malam bergegas masuk ke dalam rumah mucikari. Insiden pemukulan itu menambah pelik masalah, Thomas berusaha melerai keduanya namun terlambat karena Timmy sudah memukul perut si centeng gendut yang menyerangnya. Perkelahian tidak terelakan. Timmy kembali mendapatkan pukulan mentah dipelipis kirinya namun kali ini dia berhasil mengelak. Aqoon sendiri sudah terjerembab ditanah dikeroyok dua orang centeng betubuh kekar. Thomas dan Pierre berusaha bekerjasama menghadapi tendangan bertubi-tubi dari paracenteng yang menyergap mereka. Sella dan Jane yang bersembunyi di semak-semak berteriak meminta tolong, sayangnya tidak ada penduduk sekitar yang mau menolong, mereka hanya menonton perkelahian itu disela-sela aktivitas mereka. Bob yang pada dasarnya seorang yang cinta damai berusaha untuk tidak terlibat dalam perkelahian, sayangnya dia terpaksa ikut bergulat melawan seorang centeng berkuncir dengan gaya bak pesumo, pasalnya Nali yang bersembunyi di balik punggung Bob ditarik tangannya oleh si centeng.
Perkelahian semakin seru kedua belah pihak saling serang. Thomas akhirnya memberikan aba-aba kepada kawan-kawannya untuk segera pergi dan tidak meladeni para centeng lagi. Tentu saja hal itu lebih baik daripada terjebak konfrontasi berkepanjangan disaat mereka seharusnya menikmati liburan yang santai. Akhirnya kawan-kawan ku yang lelaki perlahan menyingkir, menjemput para gadis yang sedang bersembunyi dan melenggang pulang dengan menahan sakit karena luka lebam yang tanpa ampun dihujamkan oleh para centeng disekujur tubuh mereka. Sementara para centeng mundur teratur masuk ke dalam rumah bordil, menghilang kedalam ruang remang-remah yang padat terisi para gadis penjaja seks hingga pintunya tertutup. Aku memapah Pierre yang tampak terluka parah dia bahkan terhuyung saat berjalan pulang. Tapi apa daya dia tidak mau dipapah melainkan hanya menggandeng tanganku saja, matanya yang biru kini memerah akibat diterjang pukulan tapi menurutnya luka-luka itu bukan masalah. Sementara Aqoon meringis kesakitan memegang perutnya yang habis terkena tendangan para centeng, rambut wet looknya terlihat acak-acakan, dia muntah-muntah di tengah jalan. Sementara yang lain menahan perih dari luka-luka gores dan memegangi pipi mereka yang bengkak terkena bogem mentah dari para centeng.
Sampai di hostel kami langsung menaiki tangga menuju kamar kami di lantai 4, walaupun para resepsionis terbelalak melihat luka-luka itu dan menanyai mereka tanpa henti seperti burung kakaktua.
“It’s okay they just need sleep and rest for now. Thank you for asking (tidak apa mereka hanya butuh tidur dan istirahat untuk sekarang. Terimakasih sudah bertanya)”, kataku kepada resepsionis wanita berbaju kuning yang wajahnya tampak pucat melihat para tamunya terluka.”Take a nap guys...(beristirahatlah kawan)”, kataku lagi sambil menuntun Pierre dan menunjuk kawan-kawanku untuk segera berbaring di kamar.
“ I hope you can sleep tonight. Do you need a drink? (Aku harap kamu bisa tidur malam ini. Kamu perlu minum?)”, tanyaku sesaat setelah kubaringkan Pierre diatas ranjang yang empuk dan kututupi dia dengan selimut.
Lalu aku beranjak ke roof mengambil segelas air minum untuk Pierre. Melihat air yang segar itu Pierre meminumnya dengan sekali teguk tampaknya dia sangat haus dan lelah setelah perkelahian sengit dengan para centeng.
Tomorrow I’m going to go to my embassy, so is he(besok aku akan pergi ke kedutaanku, begitu juga dengannya)”, sela Thomas tiba-tiba, dia menunjuk Pierre untuk menegaskan bahwa kekasihku itu juga akan ikut ke Kedutaan Besar Perancis besok. “ You should go to your embassy just like us, oke?”.
“Yes I will, do not worry you better take a rest (Iya..aku akan ke kesana, jangan kuatir kamu lebih baik beristirahat)”,jawabku setelah beberapa saat memikirkan kemungkinan Kedutaan Besar Indonesia akan bereaksi seperti apa kalau mendengar masalah ini. Tapi lebih dari itu aku juga memikirkan dimanakah alamat dari Kedutaan Besar RI di Singapore? Aku harap perjalanan besok tidak akan sulit.

No comments:

Post a Comment