Singapore Zoo
yang Menggemparkan
Tidak terasa hari sudah
berganti, aku masih ingat semalam aku, Pierre dan Thomas berdansa di sebuah
klub malam di Marina Sand Bay hingga
lelah. Karena itulah pagi ini aku tidak melihat Pierre beraktifitas, dia tidur
nyenyak sampai jam 10 pagi yang mana saat itu aku sudah sarapan di kafe Arab
yang berada tepat dibelakang hostel. Kawan-kawan sekamarku yang kemarin sibuk
beraktifitas kini hanya tergeletak menanti hari berlalu. Namun itu tidak
berlangsung lama karena Nali mengkoordinasi mereka untuk bertamasya bersama
demi mengisi satu hari yang kosong untuk kami semua. Tapi Thomas tampaknya
enggan terbangun dari mimpi indahnya, mungkin dia kedapatan mimpi bercinta
dengan gadis Brasil yang baru bertemu dengannya semalam. Yah..sayangnya mimpi
Thomas tidak berlangsung lama karena Nali dengan sembrono -- dan kesengajaan
tentu saja -- melempar sisir kecil ke kepalanya hingga membuat dia kusak-kusuk
kesakitan di ranjang lalu terbangun. Aku sendiri setelah minum es kopi sama
sekali tidak merasa lemas padahal semalaman aku berdansa di club sampai hampir pagi. Beruntung
sekali karena rupanya ayam jantan di Singapore
sangat pemalas, hingga fajarpun dibiarkannya terlewat tanpa suara berkokok.
Sebelas orang sudah siap
saat menjelang pukul sepuluh, kesemuanya adalah teman sekamar termasuk aku.
Rencana Nali sederhana saja, mengunjungi kebun binatang hingga petang lalu
menyusuri Litte India yang eksotis di
malam hari. Berutung sekali Singapore punya MRT yang bisa memobilisasi
rombongan turis kesiangan ini hingga ke kebun binatang. Dengan waktu tempuh 30
menit dari hostel kami dan biaya tiket S$1.40, cukup cepat, tidak melelahkan
dan yang paling penting murah. Turun di stasiunAng Moo Kio lalu lanjutkan perjalanan dengan Bus Interchange no.138 dengan harga tiket S$1.20 akan sampai ke Singapore Zoo yang beralamat di 80 Mandai Lake Rd,
Singapore 729826.
Tiket masuk kebun binatang ini adalah
S$22 perorang dan untuk kidsS$14. Jadi
walaupun berombongan kami tidak dapat diskon. Singapore Zoo sendiri merupakan kebun binatang interaktif dimana
diantara pengunjung dan hewan-hewannya tidak dibatasi dengan pagar, tidak
seperti di Ragunan yang hewan-hewannya terkurung. Menjelajahi zoo ini bisa dengan jalan kaki atau
menggunakan trem. Rombongan kami lebih memilih berjalan kaki karena akan
membuat kami merasa lebih dekat dengan satwa. Jika menggunakan trem memang akan
menghemat tenaga untuk mengelilingi zoo
ini karena besarnya zoo ini akan
membuat siapapun luntang lantung menahan lelah. Walaupun begitu trem hanya
bergerak di lingkar luar kebun binatang saja, padahal para penghuni zoo ini terletak di bagian dalam. Sungguh
kita akan melewatkan momen bercengkerama dengan hewan-hewan jika kita
menggunakan trem.
Memasuki gate kebun binatang kami langsung di sapa orangutan besar yang
menggelayut manja di pohon, tanpa pagar pembatas sama sekali. Sungguh
menggemparkan! Aqoon sibuk mengambil foto si orang utan dan juga sesekali foto
Thomas. Aku harap dia tidak membandingkan Thomas dan si Otan hehe. Bob tertawa
tergelak-gelak manakala si Otan berguling-guling di tanah melihat para
pengunjung yang kian ramai, rupanya dia suka jadi pusat perhatian. Entah bagaimana
kebun binatang ini menjaga keamanan para pengunjung dan binatangnya dengan
konsep tanpa pagar diantara kami, tapi rupanya pihak zoo menggunakan sistem keamanan yang cukup canggih hingga
pengunjung tidak perlu mengkuatirkan apapun. Asalkan kami tetap di jalan (on track) dan tidak memasuki habitatnya
tentu tidak jadi masalah. Dan si Otan pun bisa bebas bercanda dengan para
pengunjung.
Melewati habitat orang utan kami menemui
gajah afrika yang terlihat bahagia dengan setumpuk nanas di depannya. Tentu
saja sang gajah lalu memanggil kawanannya hingga mereka menyantap makan
siangnya bersama, sungguh riuh acara pesta para gajah ini. Habitat gajah di
kebun binatang ini di ciptakan mirip seperti di Afrika dengan padang rumput
savananya dan beberapa pohon menjulang tinggi. Sungguh memukau landscapeSingapore Zoo bagi kami yang
berasal dari luar negeri ini merupakan hal yang baru, apalagi dengan tanpa
adanya pagar pembatas diantara kami dan para gajah membuat kami merasa
benar-benar seperti berada di depan mata sang gajah.
Beranjak dari habitat gajah, kami lalu
menemui habitat para burung cantik. Ada merak, kakaktua dan kasuari. Ditambah
dengan puluhan burung yang lain yang tentu saja tidak kalah cantiknya. Semua
bebas berterbangan dan bersenda gurau dengan para pengunjung. Suasana seperti
ini tentu saja sangat berbeda dengan kebun binatang Ragunan yang kaku. Sungguh
iri aku dengan warga Singapore yang
memiliki kebun binatang ciamik seperti ini. Tapi satu hal yang pasti kedua
kebun binatang ini sama-sama bau, yah namanya juga kebun binatang pasti bau
tapi untunglah baunya masih bisa ditoleransi. Walaupun begitu Ragunan punya
keunggulan, dari segi besar nya kebun binatang kebanggaan orang Jakarta ini
rupanya lebih luas daripada Singapore Zoo,
bahkan Ragunan merupakan kebun binatang kedua terbesar di dunia.
Puas bercengkrama dengan burung-burung
cantik kami bergegas ke habitat harimau, benar-benar menegangkan. Ini sungguh
terjadi, para harimau yang terkenal akan keganasannya itu ditempatkan di
habitat penuh pepohonan rindang, dibatasi hanya dengan selapis kaca transparan
hingga para harimau dapat menghampiri kami sampai dekat sekali. Harimau
merupakan spesies kucing besar yang liar dan tentu saja galak, jangan ditanya
berapa jumlah korban manusia yang diterkam oleh harimau di seluruh dunia.
Dengan segala ketenaran yang didapatnya tentu saja bisa berada di antara mereka
dengan hanya dibatasi kaca transparan dan masih hidup untuk menceritakan
pengalaman ini adalah sebuah keberuntungan tersendiri menurutku. Habitatnya di Singapore Zoo sendiri dibuat mirip
seperti hutan Sumatera dengan skala lebih kecil tentunya. Pohon-pohon tinggi
merapat dan semak-semak belukar yang membuat si harimau tersamar, dilengkapi
dengan sungai kecil yang mengalir. Landscape
seperti ini sebenarnya sangat umum di temui di kebun-kebun dipinggiran kota
Jakarta, malahan di belakang rumahku ada kebun milik seorang betawi yang mirip
dengan habitat harimau di zoo ini.
Walaupun begitu tetap saja suasana menegangkan bertemu sang harimau tidak bisa
disandingkan dengan kebun Pak Mamat.
Ditemui di habitat mereka para harimau
terlihat menyeringai, kelihatannya mereka senang mendapatkan kunjungan kami
yang terlihat seperti mangsa empuk di mata mereka. Buktinya dua ekor harimau
tak henti-hentinya mengaum, seolah memberitahukan kepada kami bahwa mereka lah
penguasa di tempat itu. Sementara seekor harimau yang berukuran paling besar
sibuk mengintai kami dari balik rerimbunan dedaunan. Timmy rupanya pantang
takut dihadapan para harimau, dia asyik saja mengambil foto si pengintai yang
tentu saja anti kamera. Akibatnya bisa dibayangkan, harimau gemuk itu berlari
ke arah Timmy hingga tiba di garis pembatas yang dibatasi kaca transparan hingga
membuat si harimau tidak mampu menerkam Timmy, sungguh beruntung. Peristiwa yang
menimpa Timmy membuat wanita-wanita berteriak histeris, pasti pemandangan yang
menakutkan. Aku sendiri sampai lemas dibuatnya.
Sehingga kami pun merajuk kepada para
lelaki di rombongan kami untuk segera meninggalkan para harimau itu,”common we move from here aaah...we are so
scared (ayo kita beranjak dari sini aahhh... kami sangat ketakutan)”. Tanpa
kompromi rombongan kami lalu menuju ke habitat rusa-rusa elok, sungguh membuat
suasana yang tadinya menegangkan menjadi santai kembali.
Tidak jauh dari habitat rusa ada habitan
sang raja hutan, siapa lagi kalau bukan singa. Landscape habitatnya adalah padang rumput tundra dan kaktus mirip
seperti di Afrika, dengan mata airnya yang mengalir dan terdapat eceng gondok
dipermukaannya. Singa-singa tersebut saat kami hampiri terlihat sedang
bermalasan, seekor betinanya bahkan sedang berbaring sambil ohh my God! Singa betina itu sedang
menyusui anak-anaknya, manis sekali. Ada dua ekor anak singa yang tampak begitu
manja didekapan induknya. Apalagi induknya tidak henti-hentinya menjilati
kepala mungil singa-singa kecil itu, membuat mereka berguling-guling kegelian,
sungguh lucu dilihatnya. Sementara itu sang jantan terlihat berpatroli keliling
habitatnya, sesekali mencakar pohon kaktus, mungkin untuk menajamkan
cakar-cakar panjangnya. Jane dan Seli entah kenapa kelihatannya tidak takut
terhadap si raja hutan, padahal saat di habitat harimau mereka menjerit-jerit,
mungkin karena ada anak-anak singa yang lucu itu. Jane tidak berhenti memotret,
Seli bahkan memintaku untuk mengambil fotonya berlatar belakang anak-anak singa, jepret! sungguh foto yang spektakuler.
“Auuumm...auuuummmm..”, singa-singa itu
mengaum.
Seperti biasa Sella dan Jane kembali
menjerit mendengar auman sang raja hutan. Aqoon segera mengajak rombongan untuk
meninggalkan habitat singa,”Let’s go to
hippo’s pound, they are funny nothing to worry, girls (ayo kita ke kolam
kuda nil, mereka lucu tidak ada yang peru dikuatirkan, gadis-gadis)”.
Walaupun tampaknya seekor pejantan gembul
keberatan jika kami beranjak, si gembul ini mengaum lebih keras lagi dan
menerkam semak tanaman Achelia yang
berbunga putih alih-alih menerkam Aqoon. Singa itu baru terdiam saat kami mulai
beranjak pergi, dia lalu meminum mata air untuk menyegarkannya dari cuaca
Singapore yang panas hari ini. Duuh...jadi ikut haus nih.
Ada banyak habitat hewan di Singapore Zoo selain singa dan gajah juga
bisa dilihat binatang asal Afrika lainnya yaitu jerapah, zebra, buaya, dan kuda
nil. Selain itu ada juga binatang dari Asia seperti harimau sumatera, orang
utan, dan tapir. Koleksi kebun binatang ini tambah lengkap dengan adanya kangguru,
dan koala yang imut asal Australia. Bahkan binatang-binatang yang berasal dari
wilayah kutub juga bisa temui disini seperti anjing laut, singa laut, jangan
lupakan si penguin yang menggemaskan. Sungguh pengalaman yang seru bisa
bercengkerama dengan mereka semua.
Setelah berpetualang melihat habitat
para hewan di Singapore Zoo kami lalu beranjak menuju Splash Safari Show. Jika menyukaibasah-basahan,
keanehan dankeindahan, ini adalah
show yang tepat untuk ditonton! Menghadirkan
singa lautnakaldari Californiasebagai superstar, singa
laut bertubuh gemuk di tempat ini sungguh jenaka. Ini adalah parade percikan
yang memiliki energi tinggi diisi dengan banyak momen spesial yang akan
menggelitik hingga ke sanubari. Si jimbo-nama si singa laut itu-dan kawanannya
bermain bola hingga meloncati lingkaran yang tinggi diatas permukaan kolam renang
besar. Kelima sekawan itu bahkan mahir bersepeda ria mengelilingi arena. Acara
ditutup dengan permainan terompet dari salah satu anjing laut yang bertubuh
agak kurus, jalannya megal-megol saat menuju ke arah tiang yang diatasnya
terdapat terompet untuk memainkan lagu Happy
Birthday To You, sungguh akhir yang mengesankan.
Perjalanan dilanjutkan dengan
menunggangi gajah yang gagah dan besar. Aku dan Pierre memilih berdua saja saat
menunggangi seekor gajah berwarna hitam pekat dengan sadel kuning cerah. Sementara
yang lain mengekor di belakang sambil menunggangi lima ekor gajah bergading
pendek. Pawangnya dengan sigap mengarahkan si Dodo – nama gajah yang
kutunggangi – menuju ke arah hutan kecil penuh semak belukar. Ditengah
perjalanan kami bertemu monyet-monyet nakal yang nekat meminta pisang kepada
Pierre.
“Je n'ai pasapporter de la nourritureĆ vous ouch...ouch... (aku tidak membawa makanan untuk kamu ouch..ouchh)”, kata Pierre berharap monyet-monyet
itu berhenti mengganggunya. Namun pasukan monyet tetap saja meloncat-loncat ke
arah Pierre. Bahkan kemudian setelah paham Pierre tidak membawa pisang, mereka
berhamburan ke belakang kami.
”Ouch..ouch...”, lengking Nali saat seekor monyet menjambak
rambutnya.
Gajah-gajah besar yang kami
tunggangi berasal dari Afrika. Itulah sebabnya mereka bisa dengan mudah
menerobos semak belukar yang terhampar di hadapan kami. Belum lagi sebuah kolam
besar juga dengan mudahnya dilewati, saat itu terjadi aku dan Pierre sontak
terkejut karena sekujur kaki kami jadi basah karena terendam air kolam.
Menggigil juga rupanya walaupun hanya basah sedikit.
Sampai di sebuah
persimpangan yang ditumbuhi sebuah pohon akasia besar perjalanan kami
menunggang gajah berakhir. Tapi tidak lama kemudian ada sebuah trem melintas di
depan kami. Beruntung trem berwarna hijau dan berornamen kepala badak di
atapnya itu berhenti tidak jauh dari tempat kami berdiri.
“We dicided to use trem fo new experience traveling around the zoo(kami
akhirnya memutuskan menaiki trem untuk mencoba pengalaman baru berkeliling
kebun binatang)” kata Raj setelah berdiskusi dengan yang lain.”Do you want to come with us, Ningrum?”.
“Yes, I want to come with you guys (ya, aku mau ikut bersama kalian
kawan-kawan)”.
Sungguh mengasyikan, trem bergerak tidak
begitu cepat hingga kami bisa menyaksikan pemandangan di sepanjang jalan dengan
leluasa. Berbagai habitat hewan kami lewati seperti habitat macan tutul, unta, kuda
nil danyang paling menegangkan adalah saat melintas di habitat macan tutul
berukuran besar—kalau tidak bisa dibilang raksasa-- yang sedang melahap ayam
kalkun gemuk hidup-hidup.
Puas menjelajahi Singapore Zoo dengan trem kami
melanjutkan petualangan kami untuk menonton Rainforest
Fight Back Show. Sebuah acara teater musikal yang mengangkat tema
perlawanan hewan-hewan saat hutannya ditebang oleh para pemburu liar.
Seorang pemandu acara
pria berkulit cokelat dan berpakaian safari dengan celana pendek membuka
pertunjukkan dengan menggunakan bahasa Melayu – yang terdengar seperti bahasa
Indonesia, “Berkisah tentang Kai seekor orang utan dari hutan hujan Kalimantan
bergabung bersama dengan kawan-kawannya untuk mempertahankan hutan mereka
melawan Vamoosh, penjahat serakah yang menggunakan ancaman ekskavator untuk merobek rumah mereka. Berang-berang, ular, macaw,
lemur, dan monyet ekor kuning dan lainnya bergabung dalam pertempuran untuk
masa depan habitat mereka dan planet kita. Begitu mengagumkan menonton
hewan-hewan ini beraksi sebagai individu maupun sebuah tim.Siapa yang akan
memenangkanpertempuranprimata? Akankah
Kaidan kawan-kawannyaberhasilmenggagalkanrencanaVamooshitu?”.
Semua jalannya cerita
disuguhkan dengan memukausaat menikmatiRainforest
Fight Back Show di AmphitheatreShaw.Setelah itu kami menemukan
kemampuan penyembuhan dari hutan hujan dan mempelajarinya untuk kemudian
menyimpannya. Yang paling seru adalah saat pengunjung diberikan tantangan untuk
beradu panco dengan seekor orang utan besar. Anggap saja kita bertaruh semua
pisang yang kita miliki pada bintang tamu berbulu kita. Dan untuk tantangan
yang satu ini tentu saja Timmy merasa yang paling macho, hingga dia
memberanikan diri untuk naik ke atas panggung. Sungguh lucu melihat Timmy
beradu panco dengan Gem seekor orang utan jantan dari Kalimantan, seluruh
penonton tergelak-gelak melihat mereka. Dan ingatlah untuk tidak langsung
beranjak pulang karena akan ada acara foto bersama dengan para hewan. Chesee !
Tidak terasa hari sudah
senja, matahari juga sudah siap untuk terbenam. Memang menghabiskan waktu
berlibur di Singapore Zoo tidak akan
membuat turis merasa bosan, malah akan merasa senang karena beragam atraksi
para hewan yang atraktif. Namun karena hari sudah senja dan kami juga sudah
lelah akhirnya rombongan kami pun lalu memutuskan untuk beranjak ke Little India, sebuah kawasan yang
didominasi oleh orang India terutama etnis Tamil. Menggunakan MRT dengan tiket
seharga S$1.40 dari stasiun Ang Moo Kio
turun di stasiun Little India, kawasan
ini terletak di sebelah timur Singapore.
Disana kami melihat hamparan rumah-rumah milik para pendatang dari India, tentu
saja semua rumah itu memiliki unsur budaya India yang sangat kental.
Saat tiba di stasiun
matahari sudah terbenam, lampu-lampu penduduk sudah menyala. Kawasan Little India yang ciamik berkat penataan
tata kotanya yang mirip dengan daerah asli di India. Pepohonan hanya sedikit
yang tumbuh di kawasan ini, tidak juga aku jumpai burung paruh kuning seperti
yang biasa berterbangan di Taman Merlion. Dari stasiun kami berbelok kekiri
dengan berjalan kaki kami menemukan para pedagang India berjajar bak di pasar
Tanah Abang. Kios-kios berhimpitan menjual buah-buahan dan terutama sayuran
segar seperti kubis dan terung. Harganya pun cukup murah, Bob yang tertarik
membeli sekilo mangga manis mendapatkan harga S$3 dari seorang pedagang buah
yang mirip dengan Sharukh Khan, bintang film Bollywood yang terkenal itu.
Mangga itu juga sempat dikupas oleh sang pedagang atas permintaan Bob dan kami
pun mencicipi mangga berdaging kuning terang itu sambil terlena, amboimanisnya.
Ada hal yang unik dari kawasan ini, banyaknya pedagang yang menjual bunga-bunga
untuk persembahan para dewa hingga perlengkapan sesaji seperti dupa dan
pisang-pisang kecil membuat kawasan ini wangi semerbak hingga ke jalan-jalan.
Apalagi para pedagang juga menjual patung dewa-dewa mereka dalam ukuran mini,
sehingga membuat Wisnu, Krishna, dan yang paling unik Ganesha terlihat lucu
untuk dikoleksi sebagai oleh-oleh tentu tanpa menghilangkan unsur sakral dari
miniatur para dewa ini. Melihat ini Aqoon membelinya satu, sebuah Ganesha
mungil katanya nanti akan dipajang sebagai hiasan kamarnya di Taiwan.
Banyaknya
pedagang buah eksotis tentu sangat menarik minat kawan-kawan baruku yang
berasal dari benua biru. Pierre dan Thomas terlihat menawar sekilo manggis yang
oleh orang barat disebut Queen of the
Fruit, mereka terlihat sangat excited
sekali dengan buah manggis yang berukuran lebih besar dari manggis yang bisa didapat
di pasar Kebayoran Lama. Bentuknya yang bulat berwarna ungu terang dengan
tangkai hijau dan mahkota tentu saja menggoda bagi siapa saja yang ingin
mencicipi kelezatannya.
Setelah sekilo manggis
sudah didapat, Thomas dan Pierre tidak lupa memberikannya kepada kami,” this is so sweet and fresh, and suprisingly
no seed, very best quality(rasanya manis segar dan yang mengejutkan tanpa
biji, sungguh manggis kualitas terbaik)”.
Kenyang
menyantap manggis kami lalu melanjutkan perjalanan menyusuri pasar yang ramai
ini, banyak sekali pembeli yang datang dimalam hari terutama kaum ibu yang
mencari bahan-bahan masakan yang segar untuk keluarga dengan harga terjangkau.
Kami mencoba mencari jalan dengan menerobos rombongan para pembeli yang sedang
riuh menawar harga. Diatas kepala kami terhampar atap yang terbuat dari tenda
berwarna warni dengan gantungan bunga-bunga kuning dan kadangkala sari-sari
India yang terasa lembut saat mengenai wajahku. Entah berapa kali kami mencium
bau dupa yang menyengat dari arah kios-kios milik orang India ini. Tapi aroma
dupa sesungguhnya masih bisa ditoleransi oleh rombongan kami, tidak seperti bau
durian yang semerbak tercium saat kami melewati kios pedagang buah yang
dijuluki The King of Fruit ini –
untungnya aku malah terlena dengan semerbak harum buah favorit kebanyakan orang
Indonesia ini, membuatku membeli satu yang sudah dikupas dan dijual dalam
kemasan sterofoam yang dibungkus
plastik kedap udara, untuk kusantap sendiri nanti di hostel mengingat
kawan-kawanku ingin cepat-cepat beranjak. Tampaknya benar kata orang kalau
orang bule tidak tahan bau durian. Buktinya Pierre dan Thomas langsung menutup
hidung, sementara Jane tampaknya bereaksi agak berlebihan – atau bisa jadi itu
adalah reaksi alami orang bule kalau mencium bau yang menurutnya tidak sedap --
dengan muntah-muntah kecilnya setelah melewati sebuah kios durian. Tapi rupanya
penderitaan mereka tidak akan
cepat berakhir, karena sepanjang 100 meter ke depan dipenuhi oleh kios penjaja
durian berukuran besar-besar dengan bau yang lebih menyengat lagi. Kasihan.
Setelah
kesenangan – yang oleh kawan-kawan bule ku disebut sebagai perjuangan setengah
mati --melewati para pedagang durian. Kami melintas di depan sebuah kuil umat
hindu yaitu Sri Marriaman Temple.
Kuil ini terletak tepat dipinggir jalan yang berseberangan dengan sebuah kafe internet
dan restoran masakan India, dengan lalu lintas jalanan yang lenggang dari
kendaraan bermotor hanya sesekali bus berwarna merah melintas. Sri Marriaman Temple disebut-sebut
merupakan kuil hindu tertua di Singapore, dengan ukurannya yang tidak terlalu
besar, berornamen relief berwarna-warni yang menurutku mungkin menceritakan
kisah mahabarata. Atap kuil ini berbentuk punden berundak-undak yang mirip
candi dikejauhan hanya saja warnanya tidak hitam karena tidak terbuat dari batu
kali melainkan dari batu putih dengan ukiran-ukiran dewa-dewa beraneka warna. Masuk
ke kuil ini tidak dikenakan biaya, wisata gratis seperti ini tentu menarik
minat wisatawan. Pintu masuknya lebar, para pengunjung diharuskan melepas
sepatu dan mencuci kaki sebelum memasuki kuil. Dimalam hari yang kelam tanpa
sinar rembulan dan bintang, masih saja banyak orang India dan para penyembah
Krisna yang berdoa didalam kuil ini. Walaupun satu jam lagi kuil ini akan
ditutup, tapi waktu tersebut dirasa cukup untuk sekedar melihat-lihat kuil yang
kental pula dengan kebudayaan India. Begitu memasuki kuil sebuah patung dewa
berwarna putih sedang duduk diatas teratai menyambut kami. Tangan dewa itu ada
banyak, mungkin delapan? membawa tongkat panjang yang berujung bulat bergerigi.
Diatasnya tergantung lonceng kecil yang bisa berdentang jika disentuh oleh para
pendoa. Yang pasti aku lupa dengan nama sang dewa yang sebenarnya tertera di
sebuah plakat keemasan dibawah patungnya karena aku terlalu terpaku dengan
banyaknya sesaji yang diletakkan didepan dewa itu. Ada selusin mangga, pisang
dan buah kesukaanku yaitu apel hijau yang renyah dan tampak manis ditata rapi
diloyang bulat, membuatku meneteskan air liur. Diantara sesaji itu terdapat
entah berapa banyak dupa yang tertancap di sebuah bejana berisikan abu. Para
penyembah sang dewa bergantian membawa dupa yang menyala sambil berlutut dan
berdoa, setelah itu dupa ditancapkan dan pendoa lalu menyentuh kaki sang dewa.
Disudut kanan kuil ada lagi dewa yang lain, patungnya hitam sedang berdiri
membawa semacam gada yang disandarkan di pundaknya, wajahnya menyeringai
membuatku agak takut sebenarnya. Sesaji didepannya lebih banyak lagi, ada
seikat rambutan, sekeranjang bunga berwarna kuning terang, dan anggur hijau
yang tampak menggiurkan. Ada beberapa dewa yang dapat disembah di kuil ini,
tiga diantaranya dapat dijumpai di ruang depan kuil. Sisanya ada dihalaman
belakang kuil yang sebenarnya seperti lorong-lorong beratapkan langit dengan
patung dewa yang terdapat pada sisi kanan-kiri dinding lorong yang merupakan
bagian dari bangunan candi. Lilin-lilin kecil turut dinyalakan didepan patung
dewa-dewa itu, selain itu juga terdapat kalung bunga merah yang melingkar di
leher sang dewa.
Puas
berwisata di Sri Mariamman Temple
rombongan kami lalu sepakat untuk makan malam, sebuah restoran India yang tepat
berada di seberang jalan menjadi sasaran empuk. Keunikan restoran ini menjadi
daya tarik tersendiri, dengan tema jungle
to jungle masuk ke dalam restoran ini serasa seperti masuk ke hutan rimba.
Sebatang pohon berdiri disudut ruangan dengan daun-daun artifisialnya yang
menjuntai, langit-langit dipenuhi tanaman merambat berwarna hijau yang kuduga
terbuat dari plastik juga. Meja kursinya dari kayu, lantainya ditutupi karpet
rumput buatan, sehingga terlihat hijau dengan tekstur menggelitik kaki mirip
sensasi menginjak rumput asli.
“ I think I prefer to choose this paratha
bread with kari (aku pikir aku pesan roti paratha dan kari saja),” kataku
memecah keheningan karena semua orang sedang sibuk melihat buku menu.
Semua anggota rombongan yang sudah duduk
menatapku, sambil ikut-ikutan mempertimbangkan menu yang kupesan seharga S$5. Roti
partaha sendiri berbentuk bulat datar dan tipis, bisa dilipat jika penikmatnya
menginginkan. Sementara kari yang kupesan di daftar menu yang bergambar
terlihat merah dengan keratan-keratan daging yang kuduga adalah daging domba.
“Ewww...that’s must be spicy, Ithink I would
like to order hokkien prawn mie with white sauce (Ewww..itu pasti pedas, aku pikir aku lebih
suka memesan hokkien prawn miedengan saus
putih)”, kata Nali sambil menunjuk menu bergambar yang terlihat seperti mie
rebus tabur udang dengan mayonaise saja
menurutku.“And for drink ice kachang must
be yummy? and hey it’s also cheap only S$4.50 (dan minumnya es kachang
pasti yummy?)”.
“Yes..(Ya..),” jawab yang lain bersamaan.
Tampaknya menu yang
dipesan Nali merupakan favorit semuanya, karena kawan-kawanku kemudian juga
banyak yang memesan hokkien prawn mie
sama dengan Nali, walaupun untuk minumnya ada yang lebih memilih jus alpukat
daripada es kachang yang sebenarnya di Indonesia dikenal dengan nama es kacang
merah. Kecuali aku, Aqoon, dan Raj yang memilih menu berbeda, Aqoon lebih suka yong tau foo hakka merupakan tahu yang
diisi daging babi, disajikan diatas piring berbalut selada. Ditemani Singapore sling yang terbuat dari jus
nanas dari nanas Sarawak untuk menghasilkan bagian atas yang berbusa, jus
delima, gin, cherry liquer, Benedictine, kedua menu tadi dibayar
seharga S$6. Sementara Raj memilihayambuah keluak seharga S$5 yang katanya
cukup familiar di Pakistan negeri asal Raj. Dengan hidangan pembukanya bak kut teh yaitu semangkuk sup iga
daging babi dicampur cengkeh, kayu manis,
adas manis, biji adas, dan ketumbarseharga S$7. Dan minumannya
segelas jus stroberi asam manis, sungguh paduan yang pas dilidah.
Sambil
menunggu menu tersaji kami mengagumi atraksi chef restoran ini saat sedang
membuat menu pesananku, roti paratha. Sang koki menggiling adonan roti lalu
membentuknya menjadi lingkaran. Yang paling mendebarkan adalah saat sang koki
melemparkan adonan itu di udara, lalu dengan
semangat membanting dan memukul adonan ini sesaat sebelum disajikan untuk
menjadikannya tipis dan empuk. Makan
malam bersama kami sungguh seru, diselingi dengan obrolan hangat seputar negara
masing-masing. Aku tersipu saat Nali bercerita kalau dia pernah ke Bali yang
disebutnya sebagai heaven karena
keindahannya yang sulit ditandingi di muka bumi. Tapi itu tidak lama karena dia
memberi catatan betapa lalu lintas Denpasar sungguh sulit ditembus, padat
mengular hingga satu jam. Aqoon lain lagi, dia bercerita soal Taiwan yang
menurutnya agak membosankan karena landscape
nya yang hanyalah hutan beton, gedung tinggi menjulang dimana-mana, dengan
keriuhan orang dipusat-pusat kota. Dia merindukan keindahan alam dan air terjun
hingga terbang ke Singaporeyang lalu membuatnya kecewa karena tidak ada air
terjun alami disini. Lain lagi dengan Timmy yang bercerita soal Amerika tanah
airnya yang tercinta, dengan danau-danaunya yang indah, musim salju yang keras,
namun musim panasnya sungguh menyenangkan terutama jika dihabiskan di pantai
California yang luas. Semuanya bercerita dengan riuh diiringi alunan gitar dari
seorang penyanyi solo berwajah cantik yang menyanyikan lagu asal Mexico ‘marimar’
yang dipopulerkan oleh Thalia penyanyi cantik asal negeri itu. Sambil melahap
roti paratha yang dicocol kari domba aku menikmati benar suasana di restoran
ini. Walaupun benar kata Nali hidangan yang kupesan ini pedas setengah mati,
membuat mataku ‘merem melek’ karena pedas dan sedapnya.
Saat santap malam sudah
selesai barulah kami beranjak pulang melewati jalanan yang lenggang dan gelap
menuju stasiun MRT. Namun rupanya kami tidak sengaja salah turun kereta
danberhenti di stasiun Geylang sebuah daerah red district dimana terdapat banyak bar hingga bisnis esek-esek
yang menjamur. Disepanjang jalan rumah-rumah bordil berdiri di daerah ini,
beberapa bercat merah di dinding depannya dengan marka bertuliskan nama rumah
bordil tersebut yang berkelip-kelip. Ditrotoar saja kami berpapasan dengan
banyak kupu-kupu malam berbalut rok pendek ketat dan lipstik sangat merah,
belum lagi wangi parfum melatinya yang menyengat membuat suasana menjadi
mistis. Beberapa dari mereka lalu menghampiri para lelaki di kelompok kami,
Tim, Aqoon, Pierre dan lainnya sampai terkejut dibuatnya. Bibir kupu-kupu malam
itu tersenyum merayu memanja kepada setiap mereka yang datang. Sepatu hak
tinggi mereka bergemeletuk menggerus trotoar, tangan-tangannya menggerayangi
kawan-kawan ku dan juga Pierre. Aku benci!
“ Sorry we are going to go home, excuse me(maaf kami sedang dalam
perjalanan pulang, permisi ya...)”, kata Timmy saat salah seorang diantara
kupu-kupu malam itu menggelayut di lengannya. Namun bukannya menyingkir si
kupu-kupu malam berbaju merah itu malah semakin menjadi-jadi.
“I
Cannot do this we are bussy, am I right dude?(Aku
tidak bisa melakukan ini kami sedang sibuk, bukan begitu sobat?)”, kata Thomas
ditimpali jawaban setuju oleh yang lainnya saat seorang kupu-kupu malam berbaju
kuning mencium pipinya. Lipstik merahnya hingga membekas di pipi sebelah kiri
Thomas.
Timmy tampaknya sudah tidak sabar lagi ingin
cepat kembali ke penginapan, sehingga dia pun meninggikan nada suaranya
berharap kupu-kupu malam itu menjauh,”
Isaid get off! (aku bilang menjauhlah!)”.
Rupanya suara keras itu membuat mereka takut
dan perlahan-lahan mundur, namun itu tidak menyelesaikan masalah karena
beberapa orang bertubuh besar tiba-tiba saja keluar dari rumah mucikari.
Perempuan-perempuan nakal itu kemudian mengadu pada centeng yang ditugaskan
oleh mucikari untuk menjaga mereka, tidak lama kemudian para centengmenghentikan
langkah kami.
“
What were you doing with our girls
(apa yang tadi sedang kamu lakukan kepada gadis-gadis kami?)?”, tanya satu
diantara centeng itu kepada Timmy, dia memiliki tampang sangar dan kepala botak
dengan lengan penuh tato.
Timmy tersentak
berhadapan dengan centeng berbadan besar itu, apalagi mereka lebih tinggi dan
kekar darinya. “Nothing, we just want to
go home before late (tidak ada kami hanya ingin pulang sebelum larut
malam),” jawab Timmy seadanya.
“Do not mess up with the girls, do you understand?! (jangan
macam-macam dengan gadis-gadis ini, apa kamu mengerti?!)”, kata centeng yang
lain, yang satu ini memiliki rambut ekor kuda, sebuah jangkar terukir dalam di
lengan kirinya. Wajahnya beringas, berkumis tebal dengan sorot mata tajam
menjurus ke semua orang.
Sebelum kawan-kawanku
menjawab pertanyaan centengtersebut sebuah pukulan mentah melayang ke wajah
Timmy hingga membuatnya terhuyung kebelakang, kawan-kawannya terlihat shock atas insiden tersebut. Para wanita
menjerit ketakutan, aku berlari ke arah tiang listrik lalu bersembunyi
dibelakangnya. Para gadis juga ikut berlari mencari tempat sembunyi, sementara
para kupu-kupu malam bergegas masuk ke dalam rumah mucikari. Insiden pemukulan
itu menambah pelik masalah, Thomas berusaha melerai keduanya namun terlambat
karena Timmy sudah memukul perut si centeng gendut yang menyerangnya.
Perkelahian tidak terelakan. Timmy kembali mendapatkan pukulan mentah dipelipis
kirinya namun kali ini dia berhasil mengelak. Aqoon sendiri sudah terjerembab
ditanah dikeroyok dua orang centeng betubuh kekar. Thomas dan Pierre berusaha
bekerjasama menghadapi tendangan bertubi-tubi dari paracenteng yang menyergap
mereka. Sella dan Jane yang bersembunyi di semak-semak berteriak meminta
tolong, sayangnya tidak ada penduduk sekitar yang mau menolong, mereka hanya
menonton perkelahian itu disela-sela aktivitas mereka. Bob yang pada dasarnya
seorang yang cinta damai berusaha untuk tidak terlibat dalam perkelahian,
sayangnya dia terpaksa ikut bergulat melawan seorang centeng berkuncir dengan
gaya bak pesumo, pasalnya Nali yang bersembunyi di balik punggung Bob ditarik
tangannya oleh si centeng.
Perkelahian semakin
seru kedua belah pihak saling serang. Thomas akhirnya memberikan aba-aba kepada
kawan-kawannya untuk segera pergi dan tidak meladeni para centeng lagi. Tentu
saja hal itu lebih baik daripada terjebak konfrontasi berkepanjangan disaat
mereka seharusnya menikmati liburan yang santai. Akhirnya kawan-kawan ku yang
lelaki perlahan menyingkir, menjemput para gadis yang sedang bersembunyi dan
melenggang pulang dengan menahan sakit karena luka lebam yang tanpa ampun
dihujamkan oleh para centeng disekujur tubuh mereka. Sementara para centeng
mundur teratur masuk ke dalam rumah bordil, menghilang kedalam ruang
remang-remah yang padat terisi para gadis penjaja seks hingga pintunya
tertutup. Aku memapah Pierre yang tampak terluka parah dia bahkan terhuyung
saat berjalan pulang. Tapi apa daya dia tidak mau dipapah melainkan hanya
menggandeng tanganku saja, matanya yang biru kini memerah akibat diterjang
pukulan tapi menurutnya luka-luka itu bukan masalah. Sementara Aqoon meringis
kesakitan memegang perutnya yang habis terkena tendangan para centeng, rambut wet looknya terlihat acak-acakan, dia
muntah-muntah di tengah jalan. Sementara yang lain menahan perih dari luka-luka
gores dan memegangi pipi mereka yang bengkak terkena bogem mentah dari para
centeng.
Sampai di hostel kami
langsung menaiki tangga menuju kamar kami di lantai 4, walaupun para
resepsionis terbelalak melihat luka-luka itu dan menanyai mereka tanpa henti
seperti burung kakaktua.
“It’s
okay they just need sleep and rest for now. Thank you for asking (tidak apa mereka hanya butuh tidur dan istirahat
untuk sekarang. Terimakasih sudah bertanya)”, kataku kepada resepsionis wanita
berbaju kuning yang wajahnya tampak pucat melihat para tamunya terluka.”Take a nap guys...(beristirahatlah
kawan)”, kataku lagi sambil menuntun Pierre dan menunjuk kawan-kawanku untuk
segera berbaring di kamar.
“
I hope you can sleep tonight. Do you need a drink? (Aku harap kamu bisa tidur malam ini. Kamu perlu
minum?)”, tanyaku sesaat setelah kubaringkan Pierre diatas ranjang yang empuk
dan kututupi dia dengan selimut.
Lalu aku beranjak ke roof mengambil segelas air minum untuk
Pierre. Melihat air yang segar itu Pierre meminumnya dengan sekali teguk
tampaknya dia sangat haus dan lelah setelah perkelahian sengit dengan para centeng.
“Tomorrow I’m going to go to my embassy, so is he(besok aku akan
pergi ke kedutaanku, begitu juga dengannya)”, sela Thomas tiba-tiba, dia
menunjuk Pierre untuk menegaskan bahwa kekasihku itu juga akan ikut ke Kedutaan
Besar Perancis besok. “ You should go to
your embassy just like us, oke?”.
“Yes
I will, do not worry you better take a rest (Iya..aku
akan ke kesana, jangan kuatir kamu lebih baik beristirahat)”,jawabku setelah
beberapa saat memikirkan kemungkinan Kedutaan Besar Indonesia akan bereaksi
seperti apa kalau mendengar masalah ini. Tapi lebih dari itu aku juga memikirkan
dimanakah alamat dari Kedutaan Besar RI di Singapore? Aku harap perjalanan
besok tidak akan sulit.
No comments:
Post a Comment