Penerbangan Terakhir
Satu hal yang aku sukai dari acara berkemah kami adalah pengalaman tidak
terlupakan yang kami lalui bersama ditengah hutan, apalagi pemandangan indah
yang juga kami saksikan seakan membawa harapan baru di masa yang akan datang.
Harapan akan kelestarian hutan dan bumi yang hijau, semoga tidak ada orang
jahat yang merusak itu semua. Selain itu kebersamaan diantara kami pada
akhirnya membuat aku, Thomas dan Pierre menjadi semakin dekat, seakan telah
menjadi kawan lama. Dengan semua kesenangan itu aku merasa tidak ingin semuanya
berakhir. Tapi segala sesuatu tentu saja ada akhirnya....
Besok Pierre dan Thomas akan melanjutkan liburannya ke Pulau Langkawi di
Malaysia menggunakan bus dari Orchid Road
dengan ongkos $4 menuju jembatan penghubung antara Singapore dan Malaysia
dengan waktu tempuh hanya 10 menit! Bayangkanlah itu...betapa dekatnya.
Sementara aku harus kembali ke Jakarta mengakhiri perjalananku yang indah ini
sebenarnya sungguh berat rasanya. Tidak banyak yang bisa kami bicarakan malam
saat kami tiba di Shophouse Hostelmengingat
rasa lelah dan kantuk menyergap kami sehabis berkemah membuat Pierre langsung
menjatuhkan diri di tempat tidurnya begitu juga denganku. Thomas herannya tidak
merasa lelah sama sekali, dia masih saja aktif menggoda gadis-gadis asal New Zealand yang baru saja di hostel
malam itu. Dasar playboy cap dua
kelinci, Thomas mengapit dua gadis sekaligus dan mentraktir mereka minuman
hangat di kafe belakang hostel.
Esok harinya sudah bisa ditebak oleh aku dan Pierre kalau Thomas masih
mendengkur dikasurnya sementara kami berdua telah mandi dan bersiap untuk
rencana kami masing-masing di pagi itu.
“You were so lucky because
yesterday the Nature Reserve actually closed but you could get in before the
announcement from goverment (kamu sangat beruntung karena kemarin cagar
alam sebenarnya ditutup tapi kami bisa masuk sebelum pemerintah memberikan
pengumuman)”, kata Raj dari atas tempat tidurnya saat aku merapikan pakaianku
yang tercecer dikasur kedalam tas sportku.
“Why they closed Bukit Timah
Nature Reserve? and how do you know I went to there yesterday? (mengapa
mereka menutup Bukit Timah Nature Reserve?
danbagaimana kamu tahu aku pergi kesana kemarin)”.
“Well, the fog so worst yesterday did not you
feel like that? I knew from Thomas last night, we talked and he said all of you
went to nature reserve (yah...kabut sangat buruk kemarin tidakkah
kamu merasa seperti itu? Aku tahu dari Thomas kemaren malam, kami berbicara dan
dia bilang kalian pergi ke cagar alam)”, Raj menjelaskan dengan terperinci.
“And why the fog doesn’t
dissapear? (dan kenapa kabut tidak menghilang)”.
“Mist carried by the wind from Riau,
Indonesia, forest in that country burnt by fire and the came this stupid fog. I
heard it can cause disease(kabut dibawaoleh angin dari Indonesia,hutan
di negara itu terbakar dan datanglah kabut bodoh ini. Aku dengar ini bisa
menyebabkan penyakit)”.
Aku terkejut mendengar penjelasan Raj yang kedua, aku baru tahu kalau
kabut ini berasal dari negaraku yang tercinta. Sungguh malang hutan di Riau
pasti terbakar hebat, buktinya kabut asapnya sampai ke Singapore dengan tebal
hingga kami sangka fenomena alam. Pantas saja sejak kabut ini datang
tenggorokanku menjadi kering, dan mata Pierre juga sering merasa perih. Rupanya
ini kabut asap kebakaran hutan. Bulu kudukku merinding karenanya, apalagi ini
musim kering pasti tidak ada hujan yang mengguyur Indonesia. Dan bagaimana
kalau kebakarannya merambat sampai ke Jakarta? Menyeberangi selat sunda? I don’t think so (aku rasa tidak). Jadi
aku harap kebakaran segera teratasi supaya kabut asapnya tidak terbawa angin
sampai ke negeri ini lagi, apalagi Singapura imut pasti susah jika terus
diselimuti kabut asap yang mengganggu kesehatan.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang dimana aku harus segera
berkemas untuk kembali ke Jakarta. Aku melihat ke arah Pierre yang sejak tadi
sudah selesai merapikan ranselnya dan kini sedang susah payah membangunkan
Thomas dari tidur nyenyaknya. Setelah Thomas bangun -- dia kemudian dengan
ceroboh tersandung selimutnya sendiri – baru kemudian dia bergegas mandi
manakala dia lihat Pierre memandangnya dengan mata melotot. Aku hampiri Pierre
setelahnya, aku bingung hendak mengatakan apa kepada kekasihku tentang
kepulanganku hari ini ke Jakarta.
“Pierre, Je veux vous parler
(Pierre, aku ingin bicara kepadamu)”, kataku pelan ditelinga Pierre.
Pierre menoleh kepadaku dilihatnya lalu dia melihat tas sport dan serta sophie martin milikku yang sudah rapih tergeletak diatas tempat
tidurku. Agaknya dia paham kalau aku akan kembali ke negaraku Indonesia hari
ini. Demi melihat itu semua Pierre terdiam, dilipatnya kedua tangannya lalu
dipeganginya dahinya dengan tangan kanannya. Aku tahu dia pasti berat
memikirkan ini semua.
“temps est venu...aahh...
mais avantil ya quelque chose que je veux vous montrer (sudah saatnya
ya..aahhh...tapi sebelumnya ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu)”, kata
Pierre sendu tampaknya dia sedih karena mengetahui aku hendak kembali ke tanah
air.
“Okay Pierre. Que feriez-vous me
montrer, je veux vraiment le voir (apakah yang ingin kamu tunjukkan
kepadaku, aku sangat ingin melihatnya)”.
Pierre kemudian membawaku jalan-jalan ke sebuah taman yang terletak di
depan Malaysia Heritage Centre tidak
jauh dari Sultan Mosque. Namun
sebelumnya aku mengucapkan selamat tinggal terlebih dahulu kepada Thomas yang
baru saja selesai mandi.
“Good bye Thomas. Nice to meet
you, keep in touch (selamat tinggal Thomas. Senang bertemu denganmu, tetap
berhubungan ya).
“Yes, don’t worry I have your facebook just
approve me and we will have a contact and even chating (ya, jangan kuatir
aku punya facebook kamu tinggal ‘approve’
aku dan kita akan memiliki kontak bahkan berbincang-bincang)”, Thomas memelukku
erat sebagai ucapan perpisahan.
Pierre menjinjing kedua tas ku bersamanya, aku memang akan langsungcheck out dari Shophousehostel pagi ini tapi tentu saja sebelumnya aku mengucapkan
salam perpisahan kepada kawan-kawan. Untunglah mereka bisa ditemukan diroof sedang menonton TV dan ada juga
yang sedang asyik sarapan.
“I’m going home today... I hope we
will meet again. Nice to meet you guys (Aku akan pulang hari ini...aku
harap kita akan bertemu lagi. Senang bertemu denganmu kawan-kawan)”, aku
bersalaman dengan kawan-kawanku sebelum pergi dan tidak lupa juga pelukan
hangat kuberikan kepada mereka.
“Yes nice to meet you too, I’m
gonna miss you (ya senang bertemu dengan kamu juga, aku akan merindukanmu)”,
mereka mengucapkan selamat tinggal kepadaku sambil tersenyum. Timmy bahkan
hampir tidak percaya kalau aku akan pulang secepat itu, maka dengan cekatan dia
menungumpulkan semua orang yang tidur dikamar kami di lantai empat kemudian
mengatur posisi mereka di balkon atas hostel. Sekejap kemudian dia mengeluarkan
kamera handphone nya dan mengambil
gambar kami semua sedang tersenyum lebar. Cheers!
“I
will put this picture on my facebook...you can see it soon (aku akan
menampilkan gambar ini di facebook ku ...kamu bisa melihatnya segera)”, Timmy
memandangku dengan tersenyum sebelum melihatku menghilang dibalik tikungan
lorong tangga menuju ke lantai dasar tempat dimana aku mengembalikan kunci
kamarku kepada resepsionis hostel dan mereka mengembalikan deposit uangku yang
digunakan sebagai jaminan kunci kamar saat hari pertama menginap disini.
“Thank
you for stay here. Hope we will meet again (terimakasih telah menginap
disini. Kami harap kita akan bertemu lagi)”, kata gadis resepsionis hostel
berwajah pecinan dengan lesung pipi di wajahnya itu sebagai ucapan selamat
tinggal kepadaku.
Aku melangkah keluar hostel jalanan
didepannya lenggang dengan hanya beberapa orang wisatawan berjalan melintas
disana. Deretan toko karpet Timur Tengah dan toko cenderamata kulewati saat
berjalan di trotoar menuju ke Malaysia
Heritage Centre, tempat dimana Pierre hendak menunjukkan sesuatu kepadaku
sebelum aku kembali ke Jakarta. Dia berada didepanku dengan menjinjing kedua
tas ku terus berjalan lurus tanpa menoleh kepadaku yang mengikuti
dibelakangnya, dan juga tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku.
Malaysia
Heritage Centre merupakan pusat dari kebudayaan negeri jiran di Singapore,
jaraknya hanyaberjalan kaki dari Shophouse Hostel. Di kompleks ini terdapat
gedung berlantai dua dengan jendela persegi panjang yang terbuat dari kayu,
sementara itu di depan terasnya ditopang dengan empat pilar besar yang mana
diantara pilar-pilar tersebut ada gerbang-berbang terbuka berbentuk melengkung
diatasnya. Dibelakang gedung utamaMalaysia
Heritage Centredikelilingi pagar tinggi dengan atap merah marun dan dibawah
atapnya ada teras-teras. Awalnya aku tidak tahu mengapa Pierre membawa aku ke
tempat ini tapi setelah menginjakkan kakiku di dalamnya aku baru menyadari
bahwa kompleks ini memiliki taman yang indah. Bunga-bunga serta pohon hias
tertata rapi di halaman depan kompleks. Dan yang paling indah tentu saja air
mancur yang menyemburkan airnya secara bergantian dan kadang bersamaan – seolah
air mancur ini menari -- dari lantai
taman yang terbuat dari marmer hitam dan putih yang membentuk motif bintang
sudut delapan. Pierre membawaku ke tengah air mancur itu, yang tentu saja itu
membuatku takut kalau pakaianku akan basah terkena cipratan air mancur.
“Ne
vous inquiétez pas quand nous sommes dans le milieu de la fontaine, nous ne
serons pas se mouiller. allez donc(Jangan kuatir begitu kita ada ditengah
air mancur kita tidak akan basah. Ayo sekarang)”, ujar Pierre menarik tanganku
ke tengah air mancur saat airnya sedang memancar selutut kaki orang dewasa.
Aku menurutinya dan sekarang sudah
berada di tengah air mancur, dengan penuh harap aku bertanya, “alors qu'est-ce que vous voulez montrer à
moi(jadi apa yang ingin kamu tunjukkan kepadaku?)”.
“Fermez
vos yeux..donne-moi ta main, chéri (tutup mata kamu ...berikan tangan kamu
sayang)”.
Aku menutup mataku lalu kuberikan
tanganku kepadanya yang langsung dipegangnya erat-erat. Kemudian aku merasa
sesuatu yang dingin melingkar di leherku,”je
crois que c'est censé être le mien, ma chérie, tu comprends? (aku percaya
itu dimaksudkan untuk menjadi milikku, sayang apa kamu mengerti?).
Tiba-tiba saja bibirku merasakan
sebuah kehangatan yang lembut bagaikan kelopak bunga mawar. Ciuman, sesuatu
yang manis bagaikan terbang ke langit ke tujuh saat bibir ku dan bibir Pierre
bersentuhan. Dia memegang wajahku dengan kedua tangannya, seperti PeterPan saat
di cium oleh Wendy. Kekuatannya pulih kembali dan pada akhirnya dia berhasil
mengalahkan Kapten Hock.
Kubuka mataku setelahnya kulihat
wajah Pierre merah padam, padahal dia duluan yang mencium bibirku. Kusentuhkan
tangan ke leherku rupanya ada seuntai kalung yang melingkar disana, kalung
liontin biru berbentuk air mata. Pierre menatapku dalam-dalam hingga mata kami
beradu, bisa kulihat setetes air mata bergulir dari bola matanya kemudian jatuh
dipipinya. Dia menangis perih, namun sebagai lelaki Pierre pantang menangis
sehingga diseka air matanya dengan punggung tangannya cepat-cepat. Dia seperti
ingin mengucapkan sesuatu tapi setiap kali dia membuka mulutnya kata-katanya
seperti tercekat tidak mampu keluar.
“Ce
collier est très belle Pierre, merci (kalung ini sangat indah Pierre,
terimakasih)”, akhirnya aku memecahkan keheningan diantara kami walaupun
rasanya tidak tega melihat dia yang tidak sanggup melepasku pergi.
“Si
seulement vous pouviez voir les larmes dans le monde que vous avez quitté. Dans
mon cœur, vous étiez le seul.Et votre mémoire vit, pourquoi m'as-tu quitté, chérie...(Kalau
saja kamu bisa melihat air mata di dunia yang kamu tinggalkan. Dalam hatiku,
kamu adalah satu-satunya. Dan memori tentangmu tetap hidup. Kenapa kamu
tinggalkan aku, sayang...)”, Pierre berkata dengan lirih, matanya berkaca-kaca
dan pipinya merah padam.
Aku memeluknya erat-erat, dia pun
balas memelukku lebih dalam dan hangat sekali, pelukan yang enggan dan tidak
mampu dia lepaskan. Tapi kemudian dengan perlahan aku berjalan mundur menjauh
darinya. Kugenggam tangannya dengan lembut sampai kemudian hingga hanya
menyentuh jari-jarinya saja lalu dengan perlahan aku lepaskan.
“Ne peut pas être honnête si le
souffle de la vie sans toi (tidak sanggup bila harus jujur hidup tanpa
hembusan nafasmu)”, Pierre mencoba menahanku untuk tidak pergi, pergelangan
tanganku kini di pegangnya erat-erat.
Tapi seketika itu juga kuambil kedua tasku yang tadi dijinjing olehnya
kemudian kutaruh tali satu tas itu dipundakku. Aku tidak menangis karena tidak
ingin membuatnya bersedih. Dia melihatku dengan tatapan kosong dan bibir
mengatup tanpa sepatah katapun mampu diucapkannya lagi. Dia melihatku berjalan
mundur menjauh darinya. Tiba-tiba saja air mancur di sekelilingnya memancar
deras keluar hingga mengenai tubuhnya, Pierre tersentak mendapati tubuhnya
basah kuyup. Kedinginan, dia memeluk tubuhnya sendiri dengan erat sambil terus
melihatku dengan tatapan nanar. Kulihat Pierre lekat-lekat untuk terakhir kalinya
berharap wajahnya tidak akan pernah kulupakan -- perawakan
pemuda ini begitu gagah, rambutnya lurus runcing berwarna brunette, matanya biru, wajahnya tirus dan tampan membuat hati ku
meleleh saat menatapnya. Setelah itu aku berbalik membelakanginya perlahan
beranjak menjauh darinya menuju bandarauntuk pulang ke Jakarta dengan
penerbangan terakhir.
........Dieu, si je pouvais remonter le temps, une
fois de plus l'aimer. Mais quand mon temps est écoulé avec lui, laisser cet
amour vivant pour juste cette fois(Tuhan bila waktuku dapat berputar
kembali, sekali lagi untuk mencintanya. Tapi bila waktuku telah habis
dengannya, biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja......).
No comments:
Post a Comment