Thursday, October 24, 2013

Singapore With Love eps.10


Penerbangan Terakhir
Satu hal yang aku sukai dari acara berkemah kami adalah pengalaman tidak terlupakan yang kami lalui bersama ditengah hutan, apalagi pemandangan indah yang juga kami saksikan seakan membawa harapan baru di masa yang akan datang. Harapan akan kelestarian hutan dan bumi yang hijau, semoga tidak ada orang jahat yang merusak itu semua. Selain itu kebersamaan diantara kami pada akhirnya membuat aku, Thomas dan Pierre menjadi semakin dekat, seakan telah menjadi kawan lama. Dengan semua kesenangan itu aku merasa tidak ingin semuanya berakhir. Tapi segala sesuatu tentu saja ada akhirnya....
Besok Pierre dan Thomas akan melanjutkan liburannya ke Pulau Langkawi di Malaysia menggunakan bus dari Orchid Road dengan ongkos $4 menuju jembatan penghubung antara Singapore dan Malaysia dengan waktu tempuh hanya 10 menit! Bayangkanlah itu...betapa dekatnya. Sementara aku harus kembali ke Jakarta mengakhiri perjalananku yang indah ini sebenarnya sungguh berat rasanya. Tidak banyak yang bisa kami bicarakan malam saat kami tiba di Shophouse Hostelmengingat rasa lelah dan kantuk menyergap kami sehabis berkemah membuat Pierre langsung menjatuhkan diri di tempat tidurnya begitu juga denganku. Thomas herannya tidak merasa lelah sama sekali, dia masih saja aktif menggoda gadis-gadis asal New Zealand yang baru saja di hostel malam itu. Dasar playboy cap dua kelinci, Thomas mengapit dua gadis sekaligus dan mentraktir mereka minuman hangat di kafe belakang hostel.
Esok harinya sudah bisa ditebak oleh aku dan Pierre kalau Thomas masih mendengkur dikasurnya sementara kami berdua telah mandi dan bersiap untuk rencana kami masing-masing di pagi itu.
You were so lucky because yesterday the Nature Reserve actually closed but you could get in before the announcement from goverment (kamu sangat beruntung karena kemarin cagar alam sebenarnya ditutup tapi kami bisa masuk sebelum pemerintah memberikan pengumuman)”, kata Raj dari atas tempat tidurnya saat aku merapikan pakaianku yang tercecer dikasur kedalam tas sportku.
Why they closed Bukit Timah Nature Reserve? and how do you know I went to there yesterday? (mengapa mereka menutup Bukit Timah Nature Reserve? danbagaimana kamu tahu aku pergi kesana kemarin)”.
“Well, the fog so worst yesterday did not you feel like that? I knew from Thomas last night, we talked and he said all of you went to nature reserve (yah...kabut sangat buruk kemarin tidakkah kamu merasa seperti itu? Aku tahu dari Thomas kemaren malam, kami berbicara dan dia bilang kalian pergi ke cagar alam)”, Raj menjelaskan dengan terperinci.
And why the fog doesn’t dissapear? (dan kenapa kabut tidak menghilang)”.
“Mist carried by the wind from Riau, Indonesia, forest in that country burnt by fire and the came this stupid fog. I heard it can cause disease(kabut dibawaoleh angin dari Indonesia,hutan di negara itu terbakar dan datanglah kabut bodoh ini. Aku dengar ini bisa menyebabkan penyakit)”.
Aku terkejut mendengar penjelasan Raj yang kedua, aku baru tahu kalau kabut ini berasal dari negaraku yang tercinta. Sungguh malang hutan di Riau pasti terbakar hebat, buktinya kabut asapnya sampai ke Singapore dengan tebal hingga kami sangka fenomena alam. Pantas saja sejak kabut ini datang tenggorokanku menjadi kering, dan mata Pierre juga sering merasa perih. Rupanya ini kabut asap kebakaran hutan. Bulu kudukku merinding karenanya, apalagi ini musim kering pasti tidak ada hujan yang mengguyur Indonesia. Dan bagaimana kalau kebakarannya merambat sampai ke Jakarta? Menyeberangi selat sunda? I don’t think so (aku rasa tidak). Jadi aku harap kebakaran segera teratasi supaya kabut asapnya tidak terbawa angin sampai ke negeri ini lagi, apalagi Singapura imut pasti susah jika terus diselimuti kabut asap yang mengganggu kesehatan.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang dimana aku harus segera berkemas untuk kembali ke Jakarta. Aku melihat ke arah Pierre yang sejak tadi sudah selesai merapikan ranselnya dan kini sedang susah payah membangunkan Thomas dari tidur nyenyaknya. Setelah Thomas bangun -- dia kemudian dengan ceroboh tersandung selimutnya sendiri – baru kemudian dia bergegas mandi manakala dia lihat Pierre memandangnya dengan mata melotot. Aku hampiri Pierre setelahnya, aku bingung hendak mengatakan apa kepada kekasihku tentang kepulanganku hari ini ke Jakarta.
Pierre, Je veux vous parler (Pierre, aku ingin bicara kepadamu)”, kataku pelan ditelinga Pierre.
Pierre menoleh kepadaku dilihatnya lalu dia melihat tas sport dan serta sophie martin milikku yang sudah rapih tergeletak diatas tempat tidurku. Agaknya dia paham kalau aku akan kembali ke negaraku Indonesia hari ini. Demi melihat itu semua Pierre terdiam, dilipatnya kedua tangannya lalu dipeganginya dahinya dengan tangan kanannya. Aku tahu dia pasti berat memikirkan ini semua.
temps est venu...aahh... mais avantil ya quelque chose que je veux vous montrer (sudah saatnya ya..aahhh...tapi sebelumnya ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu)”, kata Pierre sendu tampaknya dia sedih karena mengetahui aku hendak kembali ke tanah air.
Okay Pierre. Que feriez-vous me montrer, je veux vraiment le voir (apakah yang ingin kamu tunjukkan kepadaku, aku sangat ingin melihatnya)”.
Pierre kemudian membawaku jalan-jalan ke sebuah taman yang terletak di depan Malaysia Heritage Centre tidak jauh dari Sultan Mosque. Namun sebelumnya aku mengucapkan selamat tinggal terlebih dahulu kepada Thomas yang baru saja selesai mandi.
Good bye Thomas. Nice to meet you, keep in touch (selamat tinggal Thomas. Senang bertemu denganmu, tetap berhubungan ya).
“Yes, don’t worry I have your facebook just approve me and we will have a contact and even chating (ya, jangan kuatir aku punya facebook kamu tinggal ‘approve’ aku dan kita akan memiliki kontak bahkan berbincang-bincang)”, Thomas memelukku erat sebagai ucapan perpisahan.
Pierre menjinjing kedua tas ku bersamanya, aku memang akan langsungcheck out dari Shophousehostel pagi ini tapi tentu saja sebelumnya aku mengucapkan salam perpisahan kepada kawan-kawan. Untunglah mereka bisa ditemukan diroof sedang menonton TV dan ada juga yang sedang asyik sarapan.
I’m going home today... I hope we will meet again. Nice to meet you guys (Aku akan pulang hari ini...aku harap kita akan bertemu lagi. Senang bertemu denganmu kawan-kawan)”, aku bersalaman dengan kawan-kawanku sebelum pergi dan tidak lupa juga pelukan hangat kuberikan kepada mereka.
Yes nice to meet you too, I’m gonna miss you (ya senang bertemu dengan kamu juga, aku akan merindukanmu)”, mereka mengucapkan selamat tinggal kepadaku sambil tersenyum. Timmy bahkan hampir tidak percaya kalau aku akan pulang secepat itu, maka dengan cekatan dia menungumpulkan semua orang yang tidur dikamar kami di lantai empat kemudian mengatur posisi mereka di balkon atas hostel. Sekejap kemudian dia mengeluarkan kamera handphone nya dan mengambil gambar kami semua sedang tersenyum lebar. Cheers!
            I will put this picture on my facebook...you can see it soon (aku akan menampilkan gambar ini di facebook ku ...kamu bisa melihatnya segera)”, Timmy memandangku dengan tersenyum sebelum melihatku menghilang dibalik tikungan lorong tangga menuju ke lantai dasar tempat dimana aku mengembalikan kunci kamarku kepada resepsionis hostel dan mereka mengembalikan deposit uangku yang digunakan sebagai jaminan kunci kamar saat hari pertama menginap disini.
            Thank you for stay here. Hope we will meet again (terimakasih telah menginap disini. Kami harap kita akan bertemu lagi)”, kata gadis resepsionis hostel berwajah pecinan dengan lesung pipi di wajahnya itu sebagai ucapan selamat tinggal kepadaku.
            Aku melangkah keluar hostel jalanan didepannya lenggang dengan hanya beberapa orang wisatawan berjalan melintas disana. Deretan toko karpet Timur Tengah dan toko cenderamata kulewati saat berjalan di trotoar menuju ke Malaysia Heritage Centre, tempat dimana Pierre hendak menunjukkan sesuatu kepadaku sebelum aku kembali ke Jakarta. Dia berada didepanku dengan menjinjing kedua tas ku terus berjalan lurus tanpa menoleh kepadaku yang mengikuti dibelakangnya, dan juga tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku.
            Malaysia Heritage Centre merupakan pusat dari kebudayaan negeri jiran di Singapore, jaraknya hanyaberjalan kaki dari Shophouse Hostel. Di kompleks ini terdapat gedung berlantai dua dengan jendela persegi panjang yang terbuat dari kayu, sementara itu di depan terasnya ditopang dengan empat pilar besar yang mana diantara pilar-pilar tersebut ada gerbang-berbang terbuka berbentuk melengkung diatasnya. Dibelakang gedung utamaMalaysia Heritage Centredikelilingi pagar tinggi dengan atap merah marun dan dibawah atapnya ada teras-teras. Awalnya aku tidak tahu mengapa Pierre membawa aku ke tempat ini tapi setelah menginjakkan kakiku di dalamnya aku baru menyadari bahwa kompleks ini memiliki taman yang indah. Bunga-bunga serta pohon hias tertata rapi di halaman depan kompleks. Dan yang paling indah tentu saja air mancur yang menyemburkan airnya secara bergantian dan kadang bersamaan – seolah air mancur ini menari --  dari lantai taman yang terbuat dari marmer hitam dan putih yang membentuk motif bintang sudut delapan. Pierre membawaku ke tengah air mancur itu, yang tentu saja itu membuatku takut kalau pakaianku akan basah terkena cipratan air mancur.
            Ne vous inquiétez pas quand nous sommes dans le milieu de la fontaine, nous ne serons pas se mouiller. allez donc(Jangan kuatir begitu kita ada ditengah air mancur kita tidak akan basah. Ayo sekarang)”, ujar Pierre menarik tanganku ke tengah air mancur saat airnya sedang memancar selutut kaki orang dewasa.
            Aku menurutinya dan sekarang sudah berada di tengah air mancur, dengan penuh harap aku bertanya, “alors qu'est-ce que vous voulez montrer à moi(jadi apa yang ingin kamu tunjukkan kepadaku?)”.
            Fermez vos yeux..donne-moi ta main, chéri (tutup mata kamu ...berikan tangan kamu sayang)”.
            Aku menutup mataku lalu kuberikan tanganku kepadanya yang langsung dipegangnya erat-erat. Kemudian aku merasa sesuatu yang dingin melingkar di leherku,”je crois que c'est censé être le mien, ma chérie, tu comprends? (aku percaya itu dimaksudkan untuk menjadi milikku, sayang apa kamu mengerti?).
            Tiba-tiba saja bibirku merasakan sebuah kehangatan yang lembut bagaikan kelopak bunga mawar. Ciuman, sesuatu yang manis bagaikan terbang ke langit ke tujuh saat bibir ku dan bibir Pierre bersentuhan. Dia memegang wajahku dengan kedua tangannya, seperti PeterPan saat di cium oleh Wendy. Kekuatannya pulih kembali dan pada akhirnya dia berhasil mengalahkan Kapten Hock.
            Kubuka mataku setelahnya kulihat wajah Pierre merah padam, padahal dia duluan yang mencium bibirku. Kusentuhkan tangan ke leherku rupanya ada seuntai kalung yang melingkar disana, kalung liontin biru berbentuk air mata. Pierre menatapku dalam-dalam hingga mata kami beradu, bisa kulihat setetes air mata bergulir dari bola matanya kemudian jatuh dipipinya. Dia menangis perih, namun sebagai lelaki Pierre pantang menangis sehingga diseka air matanya dengan punggung tangannya cepat-cepat. Dia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi setiap kali dia membuka mulutnya kata-katanya seperti tercekat tidak mampu keluar.
            Ce collier est très belle Pierre, merci (kalung ini sangat indah Pierre, terimakasih)”, akhirnya aku memecahkan keheningan diantara kami walaupun rasanya tidak tega melihat dia yang tidak sanggup melepasku pergi.
            Si seulement vous pouviez voir les larmes dans le monde que vous avez quitté. Dans mon cœur, vous étiez le seul.Et votre mémoire vit, pourquoi m'as-tu quitté, chérie...(Kalau saja kamu bisa melihat air mata di dunia yang kamu tinggalkan. Dalam hatiku, kamu adalah satu-satunya. Dan memori tentangmu tetap hidup. Kenapa kamu tinggalkan aku, sayang...)”, Pierre berkata dengan lirih, matanya berkaca-kaca dan pipinya merah padam.
            Aku memeluknya erat-erat, dia pun balas memelukku lebih dalam dan hangat sekali, pelukan yang enggan dan tidak mampu dia lepaskan. Tapi kemudian dengan perlahan aku berjalan mundur menjauh darinya. Kugenggam tangannya dengan lembut sampai kemudian hingga hanya menyentuh jari-jarinya saja lalu dengan perlahan aku lepaskan.
Ne peut pas être honnête si le souffle de la vie sans toi (tidak sanggup bila harus jujur hidup tanpa hembusan nafasmu)”, Pierre mencoba menahanku untuk tidak pergi, pergelangan tanganku kini di pegangnya erat-erat.
Tapi seketika itu juga kuambil kedua tasku yang tadi dijinjing olehnya kemudian kutaruh tali satu tas itu dipundakku. Aku tidak menangis karena tidak ingin membuatnya bersedih. Dia melihatku dengan tatapan kosong dan bibir mengatup tanpa sepatah katapun mampu diucapkannya lagi. Dia melihatku berjalan mundur menjauh darinya. Tiba-tiba saja air mancur di sekelilingnya memancar deras keluar hingga mengenai tubuhnya, Pierre tersentak mendapati tubuhnya basah kuyup. Kedinginan, dia memeluk tubuhnya sendiri dengan erat sambil terus melihatku dengan tatapan nanar. Kulihat Pierre lekat-lekat untuk terakhir kalinya berharap wajahnya tidak akan pernah kulupakan -- perawakan pemuda ini begitu gagah, rambutnya lurus runcing berwarna brunette, matanya biru, wajahnya tirus dan tampan membuat hati ku meleleh saat menatapnya. Setelah itu aku berbalik membelakanginya perlahan beranjak menjauh darinya menuju bandarauntuk pulang ke Jakarta dengan penerbangan terakhir.
........Dieu, si je pouvais remonter le temps, une fois de plus l'aimer. Mais quand mon temps est écoulé avec lui, laisser cet amour vivant pour juste cette fois(Tuhan bila waktuku dapat berputar kembali, sekali lagi untuk mencintanya. Tapi bila waktuku telah habis dengannya, biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja......).

No comments:

Post a Comment