Senja Yang
Manis
Pagi akhirnya datang, sinar mataharinya
yang hangat menerpa tubuhku dari jendela kamar hostel, terdengar kicauan burung
murai menghias suasana. Dari balik jendela terlihat langit biru terang yang
hanya ditemani awan putih yang tipis. Hatiku berbunga-bunga pagi ini karena
akan berkencan dengan seorang bule Perancis yang tampan. Pierre
tampak sudah berpakaian rapi saat kubuka mataku, celana jeans panjang dan
kemeja cokelat santai bertuliskan “ Viva
la France” terlihat membungkus tubuhnya yang atletis. Tangannya cekatan menyisir
rambutnya, dia juga terlihat sedikit menyemprotkan parfum maskulin ke bawah
lengannya. Wangi cinnamon dan bargamot langsung menyerbak samar ke
sekitar ruangan. "Ternyata cowok Perancis ‘ganjen’ juga”, pikirku dalam
hati. Aku sangat terkesan melihatnya yang sudah bangun pagi lebih dulu dari
pada aku yang sialnya merupakan si jago 'molor'. Aku berusaha tampak wajar
dengan keterlambatanku bangun pagi, dengan tidak tergesa aku mengambil sabun
untuk segera mandi sebelum mengucapkan good
morning kepada Bob dan Aqoon yang sedang asyik membaca komik negeri
Singapore. Keduanya tampak tertawa geli saat menyimak adegan lucu dalam komik.
Setelah selesai mandi aku memilih pakaian yang terindah yang bisa kudapat dari
tas sportku. Hal itu tentu saja
sia-sia karena aku hanya membawa setumpuk setelan berlibur. Agak menyesal
dengan isi tasku, namun akhirnya kutarik gaun cocktailberwarna kuning untuk kupakai di kamarganti. Setelah itu
aku beranjak ke lantai empat berharap bisa meneguk segelas susu dan menyantap
roti selai, sarapan sedikit saja dan cepat tentu tidak jadi masalah untuk si Pierremenungguku. Saat sarapan itulah aku tidak sengaja
menemukan kamus bahasa Perancis di ruang baca hostel yang akhirnya aku baca
sebentar. Kulihat di ruangan itu juga terdapat TV layar datar dan beberapa
komputer dengan fasilitas internet gratis yang bisa dipakai tamu yang menginap.
Aku mencatat beberapa kalimat pembuka dan sapaan yang tercantum dalam kamus
bahasa Perancis dengan susah payah ke telapak tanganku yang saat itu juga sedang
sibuk menggenggam sandwich selai blueberry, hingga akhirnya kutaruh sandwich di mulutku agar tangan kananku
bisa dipakai untuk menulis. Tidak kurang dari lima kalimat aku catat di telapak
tanganku, menurutku ini cara instan
bagiku untuk mendapatkan ‘bintang’ di mata si ganteng. Ke lima kata dan kalimat
itu antara lain ‘bonjour’ yang dalam
bahasa Indonesia berarti ‘selamat pagi’ lalu ‘comment votre journée’ yang berarti ‘bagaimana pagimu’, ’Avez-vous le petit déjeuner’ untuk menanyakan
apakah dia sudah sarapan, dan yang terakhir ‘heureux de vous rencontrer’ yang berarti’ senang bertemu denganmu’,
jangan lupakan ‘au revoir’ untuk
mengucapkan selamat tinggal. Beruntung tanganku cukup lebar untuk dijejali
semua kalimat itu.
“
êtes-vous prêt? (apakah kamu sudah siap?)”,
tiba-tiba seseorang menyapaku dari belakang, tidak kusangka Pierre
sedang menungguku di ujung lorong. Dia menatapku dengan mimik wajah datar.
“Common
you must hurry before noon(Ayo cepat kamu harus
bergegas sebelum siang)”, sambung Thomas yang sedang beranjak menuju sofa empuk
ditengah ruangan, tangannya menggenggam segelas susu cokelat hangat. “Have a nice date (Selamat berkencan ya)”,
katanya lagi sambil melambaikan tangan ke arah kami. Aku lalu bergegas menghampiri
Pierre untuk segara berangkat ke Merlion, tidak lupa menyambar kamus bahasa
Perancis itu lalu kuselipkan di balik punggungku.
“Pinjam kamusnya sebentar kan boleh,”
gumamku.
Cara yang cepat dan efisien menuju
Merlion adalah dengan menggunakan MRT. Hanya merogoh kocek seharga S$1.40 per
orang untuk harga tiket MRT jurusan Raffles
Place. Hanya 15 menit waktu yang dibutuhkan MRT dari Bugis menuju stasiun Raffles Place, sungguh cepat. Aku
kasihan kepada Nali yang menggunakan jasa Tour
and Travel, dia bercerita semalam bahwa dua hari yang lalu bewisata ke
Merlion menggunakan mobil dari jasa tour
tersebut sehingga membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke Merlion!, bisa tua di
jalan dong ehhehhe.
Raffles
Place Station sendiri adalah sebuah stasiun yang terletak
dibawah tanah sebuah hotel yang bernama Fullerton
Hotel. Hotel ini sangat besar dengan pilar-pilar mirip gaya Yunani
menjulang tinggi. Pierre merasa bingung pada awalnya
ketika kami keluar dari stasiun yang sekaligus bagian dari hotel Fullerton. Tapi
setelah tanya sana sini akhirnya kami berbelok kekiri lalu menuju jalan raya Esplanade, setelah itu kami menyebrangi pertigaan
melewati sebuah jembatan besar yang
dibawahnya terdapat Teluk Marina. Teluk ini tidak terlalu besar dan mirip
telaga serta bersih dari sampah, tidak seperti Teluk di jakarta yang airnya
keruh dan banyak sampah yang membentuk pulau hehehe. Lewat jembatan kami turun
kebawah teluk dengan menggunakan tangga lebar yang terbuat dari batu bata
hitam. Dari anak tangga itu juga sudah terlihat Merlion yang penampakannya mirip ikan berkepala singa, jadi ingat
cerita dongeng siluman di kampung-kampung, apalagi makhluk ini bisa menyemburkan
air dari mulutnya, aku pikir anak-anak ingusan di kampung akan ketakutan kalau melihat
Merlion. Tapi si singa berbadan ikan
ini memang artistik, dirancang oleh Fraser Brunner dengan menggunakan campuran
semen kemudian di pahat oleh seniman Singapore,
Lim Nang Seng.
Aku dan Pierre
merasa senang telah sampai ke pinggir Teluk Marina dan melihat Merlion, ikon legendaris Singapore.
Merurut cerita Merlion ini
mengingatkan akan kisah Sang Nila Utama yang melihat seekor singa selagi
berburu di sebuah pulau, dalam perjalanannya ke Malaka. Pulau itu belakangan
dikenal sebagai pelabuhan Temasek, yang kemudian menjadi Singapore. Kalau aku
perhatikan sebenarnya Merlion ini
tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Tugu Selamat Datang di Jakarta.
Walaupun secara perhitungan tinggi Merlion
8,6 meter dengan berat 70 ton. Sementara Tugu Selamat Datang yang dirancang
oleh Henk Ngantung hanya memiliki tinggi 7 meter. Aku pikir yang membuat Merlion terlihat lebih pendek adalah
karena dia gendut, berbeda dengan Tugu Selamat datang yang langsing hehehe.
Tapi yang menjadi kelebihan Merlion
adalah perut si Merlion senantiasa kembung sehingga selalu menyemburkan air
dari mulutnya, hal ini tidak bisa dilakukan oleh si patung Selamat Datang tentu
saja.
Soal perut kembungnya Merlion sebenarnya
menjadi berkah tersendiri bagiku. Karena si Merlion selalu menyemburkan air
membuat ku dan Pierreyang berkunjung saat itu jadi
basah-basahan. Aku yang pada dasarnya suka main air sih girang bukan kepalang
mendapati tubuhku basah kuyup. Tapi di depan si ganteng aku melancarkan jurus
'pura-pura kedinginan' supaya dapat perhatian lebih hehehe.
"Bang ganteng aku kedinginan nih",
kataku merajuk. Pierre yang mendengarkan perkataanku
tampak diam saja, si bule ini hanya tahu bahasanya Napoleon Bonaparte saja
soalnya. Duh...malangnya nasibku.
"S'il
vous plaît porter ma veste(kamu pakai jaket aku
ya)", katanya seketika sambil menyelimuti aku dengan jaket Paris Saint Germain, tim football kesayangannya setelah dia
melihatku bersin-bersin (baca: pura-pura bersin). Rasanya memang benar kata
orang kalau lelaki Perancis itu gentleman
dan manis dalam memperlakukan perempuan. Apalagi ditunjang dengan tubuh atletis
dan wajah yang ganteng, wanita mana yang tidak meleleh di hadapan pria Perancis
Kami berdua lalu menatap Merlion berdua
dalam suasana romantis hingga datanglah turis-turis asal india yang ribut-ribut
di dekat kami ditemani kicauan burung gagak liar mengganggu suasana. Seakan
tidak peduli dengan kegaduhan didekat kami,Pierremenggenggam
tanganku dengan lembut dan bercerita soal Perancis dan tempat tinggalnya di
Toulouse sebuah kota di negeri itu. Toulouse sendiri adalah kota berjulukan 'Ville Rose' atau dalam bahasa Indonesia
berarti 'kota merah jambu' karena banyaknya atap dan bangunan yang terbuat dari
bata merah membuat kota itu terlihat merah jambu. Sungguh cerita yang
menghanyutkan, membuatku ingin berkunjung kesana. Sialnya dia kemudian bercerita
panjang lebar dengan menggunakan bahasa Perancis yang tentu saja aku tidak
mengerti (dodol nih bule). Sehingga sepanjang hari dia mengoceh aku hanya bisa
menanggapinya dengan kata ‘yes’ dan ‘merci’ hihihih. Dan si Pierreini hanya senyum-senyum saja mendengar jawabanku. Tapi
untungnya aku pandai menggunakan bahasa cinta hehehe sehingga kencan kami
lancar seperti di jalan tol. Apalagi pemandangan disekitar kami sangat indah
membuat suasana menjadi sangat romantis. Merlion
terletak dipinggir Teluk Marina yang beriak tenang, sesekali perahu wisata
terlihat melintas membelah perairan itu. Di sekitar sungai banyak sekali
gedung-gedung pencakar langit, semua gedung-gedung tersebut memiliki keunikan
tersendiri. Yang paling mencolok dari semua gedung-gedung itu adalah gedung
Esplanade yang bisa dinikmati di arah berlawanan dari patung Merlion. Sungguh
artsitektur modern yang disuguhkan oleh gedung Esplanade yang atapnya berbentuk seperti durian raksasa menurutku.
Dari kejauhan terlihatSand Sky Park
yang tampak seperti film sky fiction,
karena memiliki bentuk seperti kapal mengapung yang disanggah tiga gedung
tinggi berlantai 56, landmark terbaru
Singapore itu didisain oleh visionary
architect, Moshe Safdie. Sementara itu dibawah jembatan dekat Merlion ada banyak restoran dan kafe
yang tertata rapi, aroma kopi semerbak tercium dibawah jembatan ini. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika banyak sekali turis Eropa dan India yang
menikmati kopi hangat disini. Aku dan Pierre juga ikut
mencicipi kopi di kafe ini. Pierre memilih secangkir kopi krim hangat yang
terlihat lumer saat dia nikmati. Sementara aku lebih suka es kopi cappucino yang lembut dan manis. Sambil
menyeruput kopi kami memandangi eksotisnya Teluk Marina yang tampak keperakan
diterpa cahaya matahari pagi, dengan Merlion
sebagai pendampingnyaserta angin sepoi-sepoi, sungguh pengalaman yang tidak
akan terlupakan.
Selesai menikmati romantisnya Merlion, kami lalu beranjak ke Botanical Garden sebuah hutan di tengah
kota seluas 74 hektar yang beralamat di Clunny
Road1. Dengan menggunakan MRT turun di stasiun Botanical Garden dan membayar tiket S$1.60 dengan waktu tempuh
kurang dari 30 menit kami telah sampai di Botanical
Garden yang terletak di sebelah Gelneagles
Hospital. Dari sana kami melihat gerbang masuk Botanical Garden, selain itu ada juga Au Jardin dan Halia yang
menjual makanan serta minuman dan The
Jacob Ball yang merupakan area untuk anak-anak belajar mengenal kehidupan
tanaman. Untuk turis kelas backpakerkebun raya Botanical Garden sangat recomended
tercatat di daftar kunjungan, karena selain akan mendapatkan suguhan keindahan
pepohonan yang rimbun dan hijau juga karena harga tiketnya adalah gratis,
sungguh mengasyikkan bukan?.
Melangkah ke gerbang masuk Botanical Garden yang besar kami
disuguhi danau kehijauan yang membuat siapa saja yang melihatnya merasakan
kesejukan. Danau bernamaSwan Lake
tersebut juga dipenuhi angsa-angsa putih nan lucu sesuai dengan nama danaunya.
Air danaunya dingin saat kusentuh dengan kakiku dan banyak ikan mas dan lele
berenang di dalamnya. Pierremenggenggam tanganku dengan
lembut sepanjang jalan setapak menyusuri danau ini, sementara itu pandanganku
terlena dengan keelokan teratai ungu dipermukaan danau yang melenggak-lenggok
ditiup angin. Setengah jalan mengelilingi danau ini kami menyibak sulur-sulur
sebuah pohon besar untuk kemudian berjalan ketengah savana yang ditumbuhi aneka
bunga berwarna-warni. Kupu-kupu berterbangan menghias keelokan taman bunga ini.
“Cette
fleur estbeauté. maisvous
regardezde plus beau quecette(Bunga
ini sangat indah Tapi kamu lebih indah dari bunga ini)”, kata Pierre sambil
memetik setangkai bunga mawar merah, yang mana sepertinya memetik bunga
dilarang di kebun raya ini.”Pourvousmafille douce(untuk gadisku yang manis)”,Pierre lalu memberikan bunga mawar itu kepadaku.
Kusentuhkan
bunga mawar itu kehidungku, seketika itu juga menjalar wangi bunga yang begitu
semerbak. “ Merci Pierre (terimakasih
ya Pierre )”, kataku sambil tersenyum manis kepada Pierre.
Melangkah lebih jauh
dari kebun bunga terdapat danau lain yang bernama Sympohny Lake dengan warna airnya yang kecoklatan. Di danau ini
kami melihat beberapa kura-kura air tawar yang susah payah berenang diantara
ranting-ranting pohon yang mengapung di permukaan danau. Beberapa pengunjung
kebun raya juga banyak yang duduk-duduk di sekeliling danau sekedar untuk
bersantai. Tapi banyak pula pengunjung yang memancing di pinggir danau, seorang
pemancing bahkan baru saja mendapatkan seekor ikan gabus gemuk untuk dibawa
pulang. Aku sendiri berniat mengajak Pierre duduk untuk melepas lelah dipinggir
danau, kalau saja seekor biawak tua tidak berenang ke arah kami. Akhirnya kami
terus berjalan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari bata hitam, di
sekeliling kami adalah padang rumput hijau dengan beberapa kelinci putih
terlihat bersendagurau. Melewati sebuah keluarga yang riuh dengan anak-anak dan
anjing peliharaan mereka yang berlarian kesana kemari. Tidak jauh berjalan
melalui sebuah jembatan kecil melintasi sungai buatan berarus deras kami
menemukan National Orchid Garden, sebuah
taman anggrek terbesar di dunia dengan
koleksi 60.000 bunga anggrek dan tanaman. Kami lalu memutuskan untuk melangkah
masuk ke taman anggrek tersebut setelah sebelumnya Pierremembayar S$10 untuk kami
berdua. National Orchid Garden memang
menakjubkan, sejauh mata memandang terhampar luas jutaan anggrek beraneka warna
bak permadani.
Bunga
anggrek di National Orchid Garden
tampak terawat hingga tumbuh lebat bak hutan di surga. Menyibak hutan indah ini
tentu akan menghabiskan waktu sepanjang hari, namun tentu saja akan menjadi
pengalaman tersendiri. Selama perjalanan kami di dalam taman anggrek aku
melihat rerumpun anggrek kuning menyala menggodaku di depan, dengan tidak sabar
kusentuhkan telapak tanganku diatas gerombolan anggrek genit itu. Pierre
sendiri merasa takjub akan keindahan taman ini hingga tidak berhenti mengambil
gambar lewat kamera handphonenya,
sesekali di mengarahkan kameranya kepadaku saat aku sedang mencium anggrek
bulan berukuran besar yang mempesona. Tidak jauh dari rerimbunan anggrek bulan
terdapat sebuah bungalow yang teduh dan tampak nyaman untuk tempat
beristirahat. Kami akhirnya memutuskan untuk duduk di bungalow itu sambil
membuka bekal roti cokelat dan roti selai strawberrydan
kismis yang kubawa dari hostel. Sejumput keju kutaburkan diatas roti-roti itu,
ditemani sebotol limun dingin membuat rasa haus menghilang dalam sekali teguk.
Disamping bungalow ada air terjun kecil bergemericik dengan kolam ikan
dibawahnya. Desiran pohon disekitar turut memeriahkan suasana istirahat kami,
dengan keteduhan dari bungalow membuat panas terik matahari di siang hari tidak
terasa.
Selesai
beristirahat kami lalu memutuskan untuk makan siang sambil menyudahi kunjungan
kami di Botanical Garden. Tentu saja
sebelumnya kami tidak lupa membeli souvenir
di sebelah gerbang masuk yaitu di toko yang
menjual banyak souvenir khas
Singapore antara lain The Library Shop
dan Garden Shop. Aku memilih sebuah gantungan kunci berbentuk Merlion yang terbuat dari lempeng
keemasan sebagai souvenir, dan
beberapa lembar kartu pos untuk dibawa pulang. Sementara Pierre tampaknya lebih
menyukai miniatur Merlion dan miniatur perahu amphibi yang tadi pagi terlihat
mengelilingi Singapore River. Semua souvenir lalu dibungkus dengan kantung
plastik seadanya oleh seorang pelayan toko berbadan gemuk dengan wajah penuh
jerawat.
“ What menu we will order for our lunch?(menu apa yang akan kita
pesan untuk makan siang?),”tanyaku kepada
Pierre sesaat setelah kami berjalan keluar dari The Library Shop dan memasuki rumah makan Halia yang terletak
disebelahnya.
Sesaat ku amati rumah makan ini memiliki
langit-langit dan lantai dari kayu. Bukan hanya itu, meja dan kursi di rumah
makan Halia juga terbuat dari kayu, walaupun alas kursinya terbuat dari busa
yang empuk. Diatas meja tergeletak vas bunga kecil berisi kaktus hijau bulat,
dindingnya dihiasi lukisan-lukisan abstrak yang jelek. Rumah makan ini
sebenarnya tergolong agak mewah untuk ukuran turis backpaker, tapi Pierre santai saja melenggang duduk di rumah makan
ini.
“Bonjour..auriez-vouss'il vous plaîtvenir ici(halo..
tolong datang kesini)”, Pierre
memanggil pelayan restoran, berharap si pelayan segera datang membawakan menu.
Menurutku untuk
restoran seperti Halia rasanya pelayanannya tidak semewah restorannya. Tidak
lama setelah pelayan mengantarkan menu kami pun mulai memesan makanan. Chili Crab Spaghetinidengan harga S$24 menjadi
pilihanku, sementara Pierre lebih menyukai Oysters
with Bloddy Maryseharga S$6 setiap
cangkangnya -- Pierre pesan 10 cangkang, tapi untuk minuman kami sepakat untuk
memesan es teh manis. Menunggu lima belas
menit setelah memesan menu memang cukup membosankan, tapi untungnya suasana
sekitar restoran begitu hijau dengan semak-semak pohon pisang hias disekelilingnya.
Setelah lima belas menit akhirnya menu pesanan kami diantar diatas piring porselen
berwarna pastel terang, dan gelas transparan tinggi berisi es teh manis. Chili Crab Spaghetini pesananku terlihat
seperti yah...spagheti apalagi coba? dengan lumuran saus dan taburan daging
kepiting yang sudah dikeluarkan dari cangkangnya, tampak menggiurkan dengan
hiasan irisan daun bawang segar. Rasa masakan ini pedas manis, tapi diimbangi
dengan gurihnya pasta spagheti bertekstur kenyal dan empuk, aku suka. Sementara
menu pesanan Pierre tampakkonyol karena Oysters
kan berarti tiram disajikan masih diatas cangkangnya dalam keadaan mentah
dan tentu saja dimakan mentah-mentah pula. Bloddy
Mary yang tercantum dalam menu yang dipesan Pierre tampaknya seperti saus
dalam kemasan sarden kalengan yang ditempatkan dalam gelas kecil berhias daun
seledri. Rasa Oyster and Bloddy Marry
sendiri menurut pengakuan Pierre adalah ‘délicieux’
untuk menggambarkan rasa sedap versi orang Perancis, daging tiram dirasa slimmy dan bertekstur kenyal dikucurkan
saus Bloody Mary yang asam karena
terbuat dari tomat segar beserta rempah yang dihaluskan bersama.Tapi dari aroma
tiram yang tercium amis dan saus sarden kalengan itu, aku pikir hanya orang
Perancis yang dapat menikmati menu ini dan berkata enak sesudahnya. Tapi
bagaimanapun kami tetap menikmati makanan yang kami pesan, ditemani desir daun
yang tertiup angin dari pohon berbatang besar
yang sedang berbunga merah jambu.
Puas
bersantap di Halia kami pun beranjak menuju Orchad
Road tentu saja dengan membayar S$1.40 per orang menggunakan MRT.Orchad Road dikenal sebagai kawasan
belanja karena disana berdiri megah mall-mall dan Plaza hingga membuat para shopaholic bingung untuk memilih. Namun
tujuan kami ke Orchad road sayangnya
bukan untuk belanja, karena ya siapa sih yang tidak tahu kalau kaum backpaker hanya pelancong minim dolar?.
Tapi toh walaupun tidak ada niat untuk menghamburkan uang di sini, kami tetap
bisa menikmati Orchad Road dari sisi
yang lain. Jalan Orchad Road
sesungguhnya tidak terlalu lebar, hanya separuh dari lebar Jalan Sudirman di
Jakarta. Tapi disisi kanan dan kiri jalan menjulang tinggi gedung-gedung Mall
dan Plaza yang memiliki arsitektur modern dipisahkan oleh trotoar dari badan
jalan. Disepanjang trotoar kadang dapat dijumpai deretan pohon hijau yang rindang
membuat panas terik siang hari negara ini menjadi lebih sejuk. Ingin mencoba
sensasi orang-orang kaya saat berbelanja disini kami pun memasuki sebuah Mall
yang berisi deretan pakaian bermerk internasional, mulai dari Chanel, Versace hingga Prada memiliki gerai khusus di mall ini.
Harga barang-barang fashion nan
bermerk disini ternyata lebih murah daripada di Indonesia. Pantas saja banyak
kaum sosisalita dan jetset khusus terbang ke Singapore hanya untuk shoping, aneh memang. Mall yang kumasuki
ini menyuguhkan suasana yang sama dengan Mall Taman Anggrek di wilayah Jakarta
Barat, yang membedakan hanya pintu masuknya yang berbentuk terowongan besar
transparan karena terbuat dari kaca hingga ke atapnya. Langit-langit mall
berada tinggi jauh dilantai 6, udara di dalam gedungnya dingin sejuk karena
dilengkapi full AC. Memasuki gedung
kami disambut dengan air mancur bertingkat-tingkat dengan kolam lebar tanpa
ikan didalamnya. Ada banyak hiasan bintang-bintang besar keemasan yang
tergantung di langit-langit dan dengan cupid-cupid
gembul yang juga turut melayang di atas aula. Sebuah eskalator landai terletak
di lorong-lorong mall membantu para shopaholic
untuk menikmati waktu belanja tanpa merasa lelah berjalan. Sepanjang mall
terhampar luas toko furniture
berkualitas tinggi, ada banyak pengunjung yang tampak antusias memperhatikan
sebuah sofa futuristik yang bisa memijat dan diubah bentuk menjadi sebuah tempat
tidur. Kami lalu berbelok ke lorong lain yang memiliki penerangan dari lampu
neon bersinar kekuningan, banyak sekali sosialita bermake up tebal bergentayangan di lorong ini. Tidak heran karena
sejauh mata memandang kami melihat deretan toko tas bermerk Hermes, LV, Gucci
dan entah apalagi. Pierre yang tampak kebingungan menghadapi suasana ramai bak
di Pasar Baru ini akhirnya menabrak seorang sosialita berbaju merah dengan
aroma parfumnya yang menyengat, Calvin
Klein dengan wangi promegranate
dan persimon yang tampaknya
disemprotkan terlalu banyak ke tubuhnya. Sungguh blush on tebal berwarna oranye dan bibir merah menyala membuat
wanita ini tampak mencolok dibandingkan yang lain, tidak tega jika
mengatakannya mirip ikan nemo.
“Je suis désolémadame, J'ai
accidentellement(Maafkan
aku madam, aku tidak sengaja)”, kata
Pierre bermaksud meminta maaf dalam bahasa Perancis kepada wanita yang
ditabraknya.
Pierre bahkan memungut
tas belanja putih berlabel Hermes milik si wanita yang tidak sengaja terjatuh
saat bertabrakan. Dari dalamnya tas belanja tersembul tas Hermes berwarna
coklat terang, dengan price tag yang
terbaca seharga S$2000.
“Gimana
sih mas makanya kalo jalan pake mata dong jangan pake dengkul!”, si ikan nemo
ini memarahi Pierre dalam bahasa Indonesia.
Duh...aku langsung
tepuk jidat dibuatnya. Lengkingan wanita ini rupanya terdengar oleh
kawan-kawannya yang berjumlah tiga orang yang sedang asyik memilih-milih tas
Hermes disekitar kami. Maka datanglah sekumpulan perempuan berisik dengan
dandanan tebal dan sepatu high hells
yang kelewat tinggi. Mereka semua akhirnya beramai-ramai mengoceh dalam bahasa
Indonesia memarahi Pierre. Kasihan Pierre dia tidak berdaya menghadapi gerombolan
sosialita asal Jakarta hingga wajahnya memucat.
“Madamedésolé(Maaf
madam)”, lirihnya seraya mencoba membuat wanita-wanita itu mengerti.
Namun tampaknya semua
usaha Pierre sia-sia belaka, karena wanita-wanita itu tetap memarahinya bahkan
ada yang nekat mencakar Pieree dengan kuku runcing berwarna merah marun. Pierre
meringis karenanya.
“Sudah-sudah
bu, kawan saya ini tidak sengaja dia tadi menyampaikan maaf”, kataku akhirnya
menengahi pertengkaran ini.
Tidak tega soalnya aku
melihat Pierre dikeroyok oleh para sosialita yang berasal dari tanah airku
sendiri. Apalagi keributan ini menarik perhatian banyak orang disekitar kami,
malu juga kan. Ditambah lagi petugas keamanan yang sudah kasak-kasuk mengamati
kami dari kejauhan.
“Orangnya ga sengaja”, kataku
lagi untuk menegaskan apa yang sesungguhnya terjadi berharap kekacauan ini
segera berakhir.
Akhirnya
para sosialita ini melepaskan Pierre, dengan angkuh salah satu dari ketiga
kawannya yang berbedak paling tebal berkata,” Huh! bilang dong dari tadi ga
usah pake bahasa bule segala”.
Aku yang mendengar hal
ini hanya tersenyum kecut. Padahal si Pierre kan memang bule, dari wajahnya
saja sudah bisa ditebak. Tapi aku enggan menjelaskan ini panjang lebar kepada
perempuan dungu itu, alih-alih membuat persoalan menjadi panjang aku langsung
melambaikan tangan, mengucapkan goodbye,
lalu melenggang bersama Pierre menjauhi mereka menuju ke pintu keluar.
“Kehidupan
jetset tampaknya menakutkan ya”,
kataku kepada Pierre yang terlihat masih bingung atas peristiwa yang
menimpanya.
“Merci
devotre aide pourme. sontilsviennent
de votrepays, l'Indonésie?(terimakasih sudah membantuku
tadi.Apakah mereka berasal dari negara kamu, Indonesia?)”,tanya Pierre dengan
suara parau kepadaku.
“Oui..mereka memang orang Indonesia,ils viventencoreà Jakarta,ma ville bien-aimée. Je suis désolé pource qui s'est passépour vous(mereka tinggal di Jakarta, kota ku yang tercinta.
Aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu),” jawabku setengah berbahasa
Perancis dibantu oleh paman Google yang kuintip darigadget pinjaman dari kawanku tentu saja. Aku harap Pierre tidak
menyamakanku dengan perempuan-perempuan menor itu.
Aku
merasa lega sudah keluar dari Mall megah itu, Pierre tampaknya juga merasakan
hal yang sama seperti ku. Hari sudah sore saat itu dan matahari hampir
tenggelam. Pierre bergegas mengajakku ke Singapore
Flyer yang terletak di Marina Bay.
Singapore Flyer sendiri adalah kincir
raksasa setinggi 165 meter dan memecahkan rekor sebagai Ferrish Wheel terbesar di dunia, amazing!. Kami menggunakan MRT dengan harga tiket S$1.20 dari Orchad Road turun di stasiun dengan
nomer kode CC4 yaitu Promenade membutuhkan
waktu 20 menit saja. Begitu turun di stasiun Promenade kami sudah bisa melihat sebuah kincir menjulang setinggi
42 lantai dari kejauhan dengan lampu-lampu yang sudah menyala, setelah itu kami
berjalan sekitar 5 menit hingga sampai ke pintu masuk Singapore Flyer. Harga tiket masuk perorang adalah S$33 untuk
dewasa sedangkan anak-anak S$21. Harga tiket tersebut termasuk mahal, hingga
aku bersumpah hanya akan naik wahana ini sekali seumur hidup saja. Kecuali di
traktir kekasih yang ganteng heheh lain lagi ceritanya.
Melangkahkan
kaki ke dalam kapsul Singapore Flyer
membuat hatiku berdebar, perlahan-lahan kincir ini berputar hingga kami dapat
melihat pemandangan landscapeSingapore
yang dinamik. Puncak gedung tinggi segera terhampar di depan mata, terlihat
elok di depan sinar matahari keemasan yang hampir tenggelam. Adalah Mandarin Marina, Pan Pasific dan The Fullerton tiga di antara hotel-hotel
bintang lima yang bisa dilihat dari kincir. Dibawah kami dapat melihat
jalan-jalan Singapore yang bagaikan
ular naga hitam berkelok-kelok, dengan lampu-lampu jalan yang mengiringinya.
Selain itu tidak jauh kami melihat Marina Bay Sand yang artistik dari kejauhan
dengan tiga gedungnya yang menopang sebuah bangunan mirip kapal besar
dipuncaknya. Singapore river juga
bisa dilihat dari kapsul yang terus perlahan ke atas. Sungai ini ternyata
begitu lebar, warna airnya terlihat keemasan ditempa cahaya. Matahari yang
tenggelam di cakrawalanya, di pinggir sungai bayangan lampu-lampu gedung-gedung
tinggi menambah eksotika tersendiri terhadap warna air, hingga terefleksi ungu,
hijau, dan merah. Di dalam kapsul ada sekitar 10 penumpang yang ikut menikmati
wahana ini bersama kami. Kebanyakan dari mereka sibuk mengabadikan pemandangan
dengan lensa kamera. Di dalam kapsul tidak tersedia tempat duduk, sehingga para
penumpangnya berdiri menyandarkan tangan ke pegangan yang tersedia di pinggir
kapsul yang dindingnya terbuat dari kaca transparan dan langit dan lantainya
terbuat dari besi berwarna keabuan. Sesampainya di puncak kapsul kami berhenti
beberapa menit, sungguh mengagumkan karena saat itu kami bisa melihat sebagian
negeri jiran yang tampak seperti gundukan di kejauhan dengan menara-menara
masjidnya yang menjulang. Bukan hanya itu adalah pulau Bintan dan Batam dapat
juga disaksikan di puncak ini, lihatlah di selatan cakrawala bagian dari negara
Indonesia tersebut tampak seperti bukit berkelap-kelip, siluet kapal laut yang
tampak bersinar di kejauhan turut menambah cantiknya pemandangan.
"E’tes-vous heureux?, Je vous apporte
ici, donc vous pouvez voir cette vue magnifique (apa
kamu bahagia? aku membawa kamu kemari supaya kamu dapat melihat pemandangan
indah ini)", sapa Pierre membuyarkan alam sadarku yang sedang terpaku
menyaksikan semua keelokan yang terhampar di depanku.
"
Je n'ai jamais vu un endroit merveilleux comme ça avant. Merci, Je suis
tellement heureux (aku tidak pernah melihat
pemandangan indah seperti ini sebelumnya. Terimakasih, aku sangat
bahagia)", kataku sambil tersenyum kepada Pierre.
Lelaki pujaanku itu balas tersenyum kepadaku,
dia kemudian mendekapku dengan erat dan hangat. Diluar sinar matahari hampir
tenggelam, langit yang keemasan disaput awan putih yang tipis sungguh latar
belakang yang romantis. Apalagi ditambah dengan camar-camar cantik yang
berterbangan menghiasi angkasa. Pierre lalu menyentuh daguku dengan lembut,
ditatapnya aku dengan mata birunya dalam-dalam seakan aku terbawa masuk ke
sebuah telaga biru yang teduh.
"Les
roses sont rouges. Violtes sont en bleu. Rien dans ce monde fou. Pourrait
m'empêcher de t'aimer (Mawar itu merah.
Violet itu biru. Tidak ada apapun didunia yang gila ini bisa menghalangiku
untuk mencintaimu)", Pierre berbisik pelan ditelingaku, lalu perlahan
bibirnya menyentuh pipiku.
Endingnya
tentu saja berakhir dengan manis, sebuah ciuman lembut dan hangat mendarat di
bibirku. Aku mendesah saat bibirku terasa lembab dan basah oleh ciuman itu. Orang barat menyebut nya French Kiss....ciuman Perancis olalala. Seketika itu juga taburan
kembang api menghiasi langit yang sudah gelap, warna-warninya menyemburat
menerangi langit.
.........Oh, kecup aku dibawah senja yang
putih...bimbing aku dibawah sinar bulan......angkat tanganmu dengan
terbuka....mulai mainkan musiknya, yang membuat kunang-kunang berdansa...bulan
keperakan gemerlap...jadi cium aku........
Kapsul Singapore Flyer berputar selama 30 menit, putarannya sendiri tidak
terlalu terasa. Rupanya di dekat sana sedang ada pertandingan sepakbola yang
dilaksanakan di stadion apung terbesar didunia The Marina Bay Floating Stadium, kembang api yang baru saja kami
saksikan tadi merupakan bagian dari pesta pembukaan pertandingan tersebut. Begitu
keluar dari kapsul kami langsung melangkah menuju stasiun MRT terdekat untuk
kemudian menuju Gardens by The Bayyang
beralamat di 18 Marina Gardens Drive,
sebuah kawasan taman masa depan dengan pohon-pohon raksasa bernama Supertreegrove rancangan arsitek kelas
dunia setinggi 50 meter bahkan ada yang tingginya mencapai 16 lantai, fungsi
pohon raksasa ini adalah untuk menampung air hujan. Hari sudah malam saat kami
menjejakkan kaki di Gardens By The Bay,
bintang-bintang di angkasa menghiasi malam dengan sinarnya yang genit, bulan
sabit terang mengintip dari balik awan membawa langit menjadi remang-remang.
Ratusan orang sudah berkumpul di Garden
By The Bay malam itu, banyak dari mereka adalah warga Singapore yang melepas penat setelah seharian bekerja di kantor,
atau remaja yang sedang memadu kasih, sisanya adalah para turis mancanegara
yang terkesima melihat sejumlah Supertreegrove
yang menjulang tinggi dengan lampu-lampunya yang berwarna ungu, merah, dan hijau.
Pesona Supertreegrove begitu menyihir
siapa saja yang memandangnya, kilatan sinar blizt
kamera sudah tidak terhitung lagi hendak mengabadikan momen. Apalagi
menjelang pukul 07.00 pm suasana berubah menjadi sangat romantis, lampu-lampu
berkelap-kelip membuat nuansa pohon raksasa yang menari karena permainan cahayaspektakuler.
Tiba-tiba mengalunlah sebuah simfoni yang merdu seakan membawa pengunjung ke
alam nirwana dengan bidadari-bidarinya yang memetik harpa.
“C'estun grand voyage. Jen'oublierai pascequejamais. Et jeme souviendrai toujours devousPierre(Ini
adalah perjalanan yang hebat. Aku tidak akan melupakan ini. Dan aku akan selalu
mengingatmu Pierre)”, kataku kepada
Pierre yang sedang terhanyut oleh alunan serenade indah dari Supertreegrove.
Pierre menoleh kepadaku
lalu tersenyum, sambil merangkul bahuku dengan lembut dia berkata,”nous
serons de retouràce lieuun jour,je promets(kita akan
kembali lagi ketempat ini suatu hari nanti, aku janji)”.
Lalu kami kembali
terpaku pada supertreegrove yang
bersinar terang sebagai penutup dari serenade merdu tadi. Perlahan kemudian
pohon raksasa itu mulai meredup, menyisakan cahaya lampu-lampu yang menenangkan
bagi siapa saja yang meyaksikannya malam ini.
*********
Puas menikmati sajian spektakuler
permainan cahaya dari Supertreegrove
kami lalu beranjak ke Marina Sand Bay,
sebuah resort yang terintegrasi dengan
MRT di depan Marina Bay. Sudah
kujelaskan sebelumnya bahwa resort
ini begitu unik dengan ciri khas tiga gedung tinggi yang menopang sebuah
bangunan yang mirip kapal besar diatasnya, sehingga dari jauh pun Marina Sand Bay dapat langsung dikenali.
Di sekelilingnya adalah Singapore River
yang berair tenang, hingga membuat siluet Marina
Sand Bay membayang di air. Ada kejutan saat kami mengunjungi tempat ini,
tanpa sengaja kami bertemu Thomas yang rupanya sedang asyik menikmati
pertunjukan STOMP yang merupakan salah satu atraksi spektakuler di Marina Sand Bay. Ada lima pertunjukan
populer bagi turis yang sedang berlibur di Marina
Sand Bay pada saat itu. Yang pertama adalah Pameran The Art of the Brick yang merupakan workshop untuk anak-anak
segala usia dalam membuat wayang sendiri, bisa disaksikan oleh anak-anak dan
orang tua di Museum Art Scince. Yang
menarik disini adalah 53 patung besar yang dibuat dari LEGO yang juga turut
dipertontonkan dalam pameran ini. Lalu ada pertunjukan sensasional STOMP yang
siap memukau para pengunjungnya dengan segala benda yang mungkin tidak
terpikirkan bagi orang lain untuk dijadikan alat pertunjukan. Mulai dari troli
hingga korek api, ditambah dengan perpaduan teater, komedi, koreografi dan
musik semua bisa menghipnosis para pengunjung. Selain itu ada juga Dirty
Dancing yang
terkenal dan diangkat dari film tahun 1987.Pengunjung
bisa menikmati aksi tari dan teaterikal yang menarik mengenai kisah dua cinta,
semuanya tersaji di Grand Theatre.Bagi penggemar Mesir kuno jangan
lewatkanpameran Mumi yang bertema Secrets
of the Tombmengangkat tema penghujung era Mesir Kuno. Pengunjung bisa
melihat koleksi mumi dari British Museum
dan juga film 3D yang inovatif. Terakhir dan tidak boleh terlewatkan adalah Le Noir, The Intimate Side of Cirque,menyuguhkan
aksi akrobat terbaik dari 21 pemain sirkus bertaraf internasional.Semua atraksi
tersebut akhirnya kami nikmati bertiga hingga hampir tengah malam dengan hati
senang. Yah..aku tidak keberatan berbagi saat-saat romantisku dengan Thomas
yang akhirnya ikut bergabung bersama aku dan Pierre. Saat malam mulai larut
kami lalu ke lantai puncak dimana terdapat club, restoran dan bar yang
menyuguhkan minuman, musik disko yang menghentak sampai pagi. Sky dining adalah pilihan kami, duduk di
sebuah bar yang terletak dibibir ketinggian kami memesan sandwich sebagai pilihan makan malam, untuk minuman aku pesan orange juice, sementara Pierre memesan
bir dingin yang dituangkan dalam gelas piala besar. Hanya Thomas yang memesan Brandy sebagai teman malam itu. Aku dan
Pierre menikmati malam yang dingin dalam canda tawa. Di depan kami terhampar
luas Singapore River kapal-kapalnya
yang berkelap kelip. Dikejauhan tampak deretan gedung-gedung tinggi yang
berdiri angkuh dengan lampu-lampunya yang tampak berkedip. Dibawah kami juga
banyak rumah-rumah yang terlihat mungil dan hanya menampakan sinar lampunya
yang terbentang bak permadani cahaya, sungguh pemandangan yang mengagumkan. Aku
yang sudah agak mengantuk bersandar di pundak Piere, sadar kalau aku kelelahan
dia merangkulku dengan lembut seraya memberikan kehangatan tubuhnya kepadaku.
Kulahap sandwich kejuku dengan
beberapa kali suapan saja, Piere tampaknya enggan menghabiskan sandwich tunanya cepat-cepat dan malah
menyeruput bir dingin.
Malam kian larut, musik disko sudah
berganti menjadi technopopmenghentak
yang diracik seorang DJ bertopi Newyork
Yankee dengan celana panjang dan kaos singlet berwarna putih tidak lupa
sebuah kalung rantai keemasan dengan huruf G besar menggantung di lehernya.
Pierre menarikku ke lantai dansa, aku pasrah mengikutinya setelah meminum orang juice ku hingga tandas. Di tengah
lantai dansa yang penuh dengan para pecinta dugem aku dan Pierre berdansa
bersama. DJ tanpa ampun menggesek piringan musiknya, hingga semua orang
bergoyang tanpa henti. Dibawah sinar lampu disko Pierre tampak bersemangat
mengikuti irama musik, aku nyengir saja saat dia memutar pinggangku agar
mengimbangi tariannya. Ditaruhnya punggungku dalam rengkuhannya lalu dengan
cepat dia menurunkan tubuhku sambil berdansa, sungguh twist yang tidak terduga. Lalu dia memelukku erat untuk kemudian
memutar tubuhku sekali,di bawah lampu disko dia mencium bibirku dengan panas di
tengah hentakan musik. Para pedansa lain sesaat memperhatikan kami, seorang
wanita berambut cokelat tampak iri melihatku dikecup di tengah lantai dansa.
Mengetahui kami menjadi pusat pehatian, Pierre akhirnya menurunkan tempo
tariannya kepadaku. Tapi itu hanya sebentar karena sepuluh menit kemudian dia
berdansa semakin cepat, tarian kami pun menjadi semakin liar. Apalagi ditambah
Thomas yang akhirnya menyusul kami di lantai dansa, entah bagaimana dia
berhasil merayu seorang wanita Brasil yang berkulit cokelat untuk menemani dia
bergoyang. Dasarplayboy cap dua
kelinci.
Malam hampir berakhir saat kami sudah
kelelahan berdansa. Hingga akhirnya
Thomas pun menggamit tangan Pierre dan aku untuk mengajak pulang.
Meninggalkan hingar bingar klub malam yang mengasyikkan itu, kami berjalan
gontai menuju stasiun MRT untuk segera terlelap di hostel. Bintang-bintang
sudah meredup, bulan sudah menghilang berganti cahaya samar-samar sang fajar di
ufuk timur. Thomas melambaikan tangannya kepada si gadis Brasil yang baru
dikenalnya itu untuk mengucapkan selamat tinggal.Au
revoir!
No comments:
Post a Comment