Thursday, October 24, 2013

Singapore With Love eps.5

Senja Yang Manis
Pagi akhirnya datang, sinar mataharinya yang hangat menerpa tubuhku dari jendela kamar hostel, terdengar kicauan burung murai menghias suasana. Dari balik jendela terlihat langit biru terang yang hanya ditemani awan putih yang tipis. Hatiku berbunga-bunga pagi ini karena akan berkencan dengan seorang bule Perancis yang tampan. Pierre tampak sudah berpakaian rapi saat kubuka mataku, celana jeans panjang dan kemeja cokelat santai bertuliskan “ Viva la France” terlihat membungkus tubuhnya yang atletis. Tangannya cekatan menyisir rambutnya, dia juga terlihat sedikit menyemprotkan parfum maskulin ke bawah lengannya. Wangi cinnamon dan bargamot langsung menyerbak samar ke sekitar ruangan. "Ternyata cowok Perancis ‘ganjen’ juga”, pikirku dalam hati. Aku sangat terkesan melihatnya yang sudah bangun pagi lebih dulu dari pada aku yang sialnya merupakan si jago 'molor'. Aku berusaha tampak wajar dengan keterlambatanku bangun pagi, dengan tidak tergesa aku mengambil sabun untuk segera mandi sebelum mengucapkan good morning kepada Bob dan Aqoon yang sedang asyik membaca komik negeri Singapore. Keduanya tampak tertawa geli saat menyimak adegan lucu dalam komik. Setelah selesai mandi aku memilih pakaian yang terindah yang bisa kudapat dari tas sportku. Hal itu tentu saja sia-sia karena aku hanya membawa setumpuk setelan berlibur. Agak menyesal dengan isi tasku, namun akhirnya kutarik gaun cocktailberwarna kuning untuk kupakai di kamarganti. Setelah itu aku beranjak ke lantai empat berharap bisa meneguk segelas susu dan menyantap roti selai, sarapan sedikit saja dan cepat tentu tidak jadi masalah untuk si Pierremenungguku. Saat sarapan itulah aku tidak sengaja menemukan kamus bahasa Perancis di ruang baca hostel yang akhirnya aku baca sebentar. Kulihat di ruangan itu juga terdapat TV layar datar dan beberapa komputer dengan fasilitas internet gratis yang bisa dipakai tamu yang menginap. Aku mencatat beberapa kalimat pembuka dan sapaan yang tercantum dalam kamus bahasa Perancis dengan susah payah ke telapak tanganku yang saat itu juga sedang sibuk menggenggam sandwich selai blueberry, hingga akhirnya kutaruh sandwich di mulutku agar tangan kananku bisa dipakai untuk menulis. Tidak kurang dari lima kalimat aku catat di telapak tanganku, menurutku ini cara instan bagiku untuk mendapatkan ‘bintang’ di mata si ganteng. Ke lima kata dan kalimat itu antara lain ‘bonjour’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘selamat pagi’ lalu ‘comment votre journée’ yang berarti ‘bagaimana pagimu’, ’Avez-vous le petit déjeuner’ untuk menanyakan apakah dia sudah sarapan, dan yang terakhir ‘heureux de vous rencontrer’ yang berarti’ senang bertemu denganmu’, jangan lupakan ‘au revoir’ untuk mengucapkan selamat tinggal. Beruntung tanganku cukup lebar untuk dijejali semua kalimat itu.
“ êtes-vous prêt? (apakah kamu sudah siap?)”, tiba-tiba seseorang menyapaku dari belakang, tidak kusangka Pierre sedang menungguku di ujung lorong. Dia menatapku dengan mimik wajah datar.
“Common you must hurry before noon(Ayo cepat kamu harus bergegas sebelum siang)”, sambung Thomas yang sedang beranjak menuju sofa empuk ditengah ruangan, tangannya menggenggam segelas susu cokelat hangat. “Have a nice date (Selamat berkencan ya)”, katanya lagi sambil melambaikan tangan ke arah kami. Aku lalu bergegas menghampiri Pierre untuk segara berangkat ke Merlion, tidak lupa menyambar kamus bahasa Perancis itu lalu kuselipkan di balik punggungku.
“Pinjam kamusnya sebentar kan boleh,” gumamku.
Cara yang cepat dan efisien menuju Merlion adalah dengan menggunakan MRT. Hanya merogoh kocek seharga S$1.40 per orang untuk harga tiket MRT jurusan Raffles Place. Hanya 15 menit waktu yang dibutuhkan MRT dari Bugis menuju stasiun Raffles Place, sungguh cepat. Aku kasihan kepada Nali yang menggunakan jasa Tour and Travel, dia bercerita semalam bahwa dua hari yang lalu bewisata ke Merlion menggunakan mobil dari jasa tour tersebut sehingga membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke Merlion!, bisa tua di jalan dong ehhehhe.
Raffles Place Station sendiri adalah sebuah stasiun yang terletak dibawah tanah sebuah hotel yang bernama Fullerton Hotel. Hotel ini sangat besar dengan pilar-pilar mirip gaya Yunani menjulang tinggi. Pierre merasa bingung pada awalnya ketika kami keluar dari stasiun yang sekaligus bagian dari hotel Fullerton. Tapi setelah tanya sana sini akhirnya kami berbelok kekiri lalu menuju jalan raya Esplanade, setelah itu kami menyebrangi pertigaan  melewati sebuah jembatan besar yang dibawahnya terdapat Teluk Marina. Teluk ini tidak terlalu besar dan mirip telaga serta bersih dari sampah, tidak seperti Teluk di jakarta yang airnya keruh dan banyak sampah yang membentuk pulau hehehe. Lewat jembatan kami turun kebawah teluk dengan menggunakan tangga lebar yang terbuat dari batu bata hitam. Dari anak tangga itu juga sudah terlihat Merlion yang penampakannya mirip ikan berkepala singa, jadi ingat cerita dongeng siluman di kampung-kampung, apalagi makhluk ini bisa menyemburkan air dari mulutnya, aku pikir anak-anak ingusan di kampung akan ketakutan kalau melihat Merlion. Tapi si singa berbadan ikan ini memang artistik, dirancang oleh Fraser Brunner dengan menggunakan campuran semen kemudian di pahat oleh seniman Singapore, Lim Nang Seng.
Aku dan Pierre merasa senang telah sampai ke pinggir Teluk Marina dan melihat Merlion, ikon legendaris Singapore. Merurut cerita Merlion ini mengingatkan akan kisah Sang Nila Utama yang melihat seekor singa selagi berburu di sebuah pulau, dalam perjalanannya ke Malaka. Pulau itu belakangan dikenal sebagai pelabuhan Temasek, yang kemudian menjadi Singapore. Kalau aku perhatikan sebenarnya Merlion ini tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Tugu Selamat Datang di Jakarta. Walaupun secara perhitungan tinggi Merlion 8,6 meter dengan berat 70 ton. Sementara Tugu Selamat Datang yang dirancang oleh Henk Ngantung hanya memiliki tinggi 7 meter. Aku pikir yang membuat Merlion terlihat lebih pendek adalah karena dia gendut, berbeda dengan Tugu Selamat datang yang langsing hehehe. Tapi yang menjadi kelebihan Merlion adalah perut si Merlion senantiasa kembung sehingga selalu menyemburkan air dari mulutnya, hal ini tidak bisa dilakukan oleh si patung Selamat Datang tentu saja.
Soal perut kembungnya Merlion sebenarnya menjadi berkah tersendiri bagiku. Karena si Merlion selalu menyemburkan air membuat ku dan Pierreyang berkunjung saat itu jadi basah-basahan. Aku yang pada dasarnya suka main air sih girang bukan kepalang mendapati tubuhku basah kuyup. Tapi di depan si ganteng aku melancarkan jurus 'pura-pura kedinginan' supaya dapat perhatian lebih hehehe.
 "Bang ganteng aku kedinginan nih", kataku merajuk. Pierre yang mendengarkan perkataanku tampak diam saja, si bule ini hanya tahu bahasanya Napoleon Bonaparte saja soalnya. Duh...malangnya nasibku.
"S'il vous plaît porter ma veste(kamu pakai jaket aku ya)", katanya seketika sambil menyelimuti aku dengan jaket Paris Saint Germain, tim football kesayangannya setelah dia melihatku bersin-bersin (baca: pura-pura bersin). Rasanya memang benar kata orang kalau lelaki Perancis itu gentleman dan manis dalam memperlakukan perempuan. Apalagi ditunjang dengan tubuh atletis dan wajah yang ganteng, wanita mana yang tidak meleleh di hadapan pria Perancis
Kami berdua lalu menatap Merlion berdua dalam suasana romantis hingga datanglah turis-turis asal india yang ribut-ribut di dekat kami ditemani kicauan burung gagak liar mengganggu suasana. Seakan tidak peduli dengan kegaduhan didekat kami,Pierremenggenggam tanganku dengan lembut dan bercerita soal Perancis dan tempat tinggalnya di Toulouse sebuah kota di negeri itu. Toulouse sendiri adalah kota berjulukan 'Ville Rose' atau dalam bahasa Indonesia berarti 'kota merah jambu' karena banyaknya atap dan bangunan yang terbuat dari bata merah membuat kota itu terlihat merah jambu. Sungguh cerita yang menghanyutkan, membuatku ingin berkunjung kesana. Sialnya dia kemudian bercerita panjang lebar dengan menggunakan bahasa Perancis yang tentu saja aku tidak mengerti (dodol nih bule). Sehingga sepanjang hari dia mengoceh aku hanya bisa menanggapinya dengan kata ‘yes’ dan ‘merci’  hihihih. Dan si Pierreini hanya senyum-senyum saja mendengar jawabanku. Tapi untungnya aku pandai menggunakan bahasa cinta hehehe sehingga kencan kami lancar seperti di jalan tol. Apalagi pemandangan disekitar kami sangat indah membuat suasana menjadi sangat romantis. Merlion terletak dipinggir Teluk Marina yang beriak tenang, sesekali perahu wisata terlihat melintas membelah perairan itu. Di sekitar sungai banyak sekali gedung-gedung pencakar langit, semua gedung-gedung tersebut memiliki keunikan tersendiri. Yang paling mencolok dari semua gedung-gedung itu adalah gedung Esplanade yang bisa dinikmati di arah berlawanan dari patung Merlion. Sungguh artsitektur modern yang disuguhkan oleh gedung Esplanade yang atapnya berbentuk seperti durian raksasa menurutku. Dari kejauhan terlihatSand Sky Park yang tampak seperti film sky fiction, karena memiliki bentuk seperti kapal mengapung yang disanggah tiga gedung tinggi berlantai 56, landmark terbaru Singapore itu didisain oleh visionary architect, Moshe Safdie. Sementara itu dibawah jembatan dekat Merlion ada banyak restoran dan kafe yang tertata rapi, aroma kopi semerbak tercium dibawah jembatan ini. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak sekali turis Eropa dan India yang menikmati kopi hangat disini. Aku dan Pierre juga ikut mencicipi kopi di kafe ini. Pierre memilih secangkir kopi krim hangat yang terlihat lumer saat dia nikmati. Sementara aku lebih suka es kopi cappucino yang lembut dan manis. Sambil menyeruput kopi kami memandangi eksotisnya Teluk Marina yang tampak keperakan diterpa cahaya matahari pagi, dengan Merlion sebagai pendampingnyaserta angin sepoi-sepoi, sungguh pengalaman yang tidak akan terlupakan.
            Selesai menikmati romantisnya Merlion, kami lalu beranjak ke Botanical Garden sebuah hutan di tengah kota seluas 74 hektar yang beralamat di Clunny Road1. Dengan menggunakan MRT turun di stasiun Botanical Garden dan membayar tiket S$1.60 dengan waktu tempuh kurang dari 30 menit kami telah sampai di Botanical Garden yang terletak di sebelah Gelneagles Hospital. Dari sana kami melihat gerbang masuk Botanical Garden, selain itu ada juga Au Jardin dan Halia yang menjual makanan serta minuman dan The Jacob Ball yang merupakan area untuk anak-anak belajar mengenal kehidupan tanaman. Untuk turis kelas backpakerkebun raya Botanical Garden sangat recomended tercatat di daftar kunjungan, karena selain akan mendapatkan suguhan keindahan pepohonan yang rimbun dan hijau juga karena harga tiketnya adalah gratis, sungguh mengasyikkan bukan?.
            Melangkah ke gerbang masuk Botanical Garden yang besar kami disuguhi danau kehijauan yang membuat siapa saja yang melihatnya merasakan kesejukan. Danau bernamaSwan Lake tersebut juga dipenuhi angsa-angsa putih nan lucu sesuai dengan nama danaunya. Air danaunya dingin saat kusentuh dengan kakiku dan banyak ikan mas dan lele berenang di dalamnya. Pierremenggenggam tanganku dengan lembut sepanjang jalan setapak menyusuri danau ini, sementara itu pandanganku terlena dengan keelokan teratai ungu dipermukaan danau yang melenggak-lenggok ditiup angin. Setengah jalan mengelilingi danau ini kami menyibak sulur-sulur sebuah pohon besar untuk kemudian berjalan ketengah savana yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni. Kupu-kupu berterbangan menghias keelokan taman bunga ini.
            Cette fleur estbeauté. maisvous regardezde plus beau quecette(Bunga ini sangat indah Tapi kamu lebih indah dari bunga ini)”, kata Pierre sambil memetik setangkai bunga mawar merah, yang mana sepertinya memetik bunga dilarang di kebun raya ini.”Pourvousmafille douce(untuk gadisku yang manis)”,Pierre lalu memberikan bunga mawar itu kepadaku.
            Kusentuhkan bunga mawar itu kehidungku, seketika itu juga menjalar wangi bunga yang begitu semerbak. “ Merci Pierre (terimakasih ya Pierre )”, kataku sambil tersenyum manis kepada Pierre.
Melangkah lebih jauh dari kebun bunga terdapat danau lain yang bernama Sympohny Lake dengan warna airnya yang kecoklatan. Di danau ini kami melihat beberapa kura-kura air tawar yang susah payah berenang diantara ranting-ranting pohon yang mengapung di permukaan danau. Beberapa pengunjung kebun raya juga banyak yang duduk-duduk di sekeliling danau sekedar untuk bersantai. Tapi banyak pula pengunjung yang memancing di pinggir danau, seorang pemancing bahkan baru saja mendapatkan seekor ikan gabus gemuk untuk dibawa pulang. Aku sendiri berniat mengajak Pierre duduk untuk melepas lelah dipinggir danau, kalau saja seekor biawak tua tidak berenang ke arah kami. Akhirnya kami terus berjalan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari bata hitam, di sekeliling kami adalah padang rumput hijau dengan beberapa kelinci putih terlihat bersendagurau. Melewati sebuah keluarga yang riuh dengan anak-anak dan anjing peliharaan mereka yang berlarian kesana kemari. Tidak jauh berjalan melalui sebuah jembatan kecil melintasi sungai buatan berarus deras kami menemukan National Orchid Garden, sebuah taman anggrek terbesar di dunia dengan koleksi 60.000 bunga anggrek dan tanaman. Kami lalu memutuskan untuk melangkah masuk ke taman anggrek tersebut setelah sebelumnya Pierremembayar S$10 untuk kami berdua. National Orchid Garden memang menakjubkan, sejauh mata memandang terhampar luas jutaan anggrek beraneka warna bak permadani.
            Bunga anggrek di National Orchid Garden tampak terawat hingga tumbuh lebat bak hutan di surga. Menyibak hutan indah ini tentu akan menghabiskan waktu sepanjang hari, namun tentu saja akan menjadi pengalaman tersendiri. Selama perjalanan kami di dalam taman anggrek aku melihat rerumpun anggrek kuning menyala menggodaku di depan, dengan tidak sabar kusentuhkan telapak tanganku diatas gerombolan anggrek genit itu. Pierre sendiri merasa takjub akan keindahan taman ini hingga tidak berhenti mengambil gambar lewat kamera handphonenya, sesekali di mengarahkan kameranya kepadaku saat aku sedang mencium anggrek bulan berukuran besar yang mempesona. Tidak jauh dari rerimbunan anggrek bulan terdapat sebuah bungalow yang teduh dan tampak nyaman untuk tempat beristirahat. Kami akhirnya memutuskan untuk duduk di bungalow itu sambil membuka bekal roti cokelat dan roti selai strawberrydan kismis yang kubawa dari hostel. Sejumput keju kutaburkan diatas roti-roti itu, ditemani sebotol limun dingin membuat rasa haus menghilang dalam sekali teguk. Disamping bungalow ada air terjun kecil bergemericik dengan kolam ikan dibawahnya. Desiran pohon disekitar turut memeriahkan suasana istirahat kami, dengan keteduhan dari bungalow membuat panas terik matahari di siang hari tidak terasa.
            Selesai beristirahat kami lalu memutuskan untuk makan siang sambil menyudahi kunjungan kami di Botanical Garden. Tentu saja sebelumnya kami tidak lupa membeli souvenir di sebelah gerbang masuk yaitu di toko yang menjual banyak souvenir khas Singapore antara lain The Library Shop dan Garden Shop.   Aku memilih sebuah gantungan kunci berbentuk Merlion yang terbuat dari lempeng keemasan sebagai souvenir, dan beberapa lembar kartu pos untuk dibawa pulang. Sementara Pierre tampaknya lebih menyukai miniatur Merlion dan miniatur perahu amphibi yang tadi pagi terlihat mengelilingi Singapore River. Semua souvenir lalu dibungkus dengan kantung plastik seadanya oleh seorang pelayan toko berbadan gemuk dengan wajah penuh jerawat.
            What menu we will order for our lunch?(menu apa yang akan kita pesan untuk makan siang?),”tanyaku kepada Pierre sesaat setelah kami berjalan keluar dari The Library Shop dan memasuki rumah makan Halia yang terletak disebelahnya.
Sesaat ku amati rumah makan ini memiliki langit-langit dan lantai dari kayu. Bukan hanya itu, meja dan kursi di rumah makan Halia juga terbuat dari kayu, walaupun alas kursinya terbuat dari busa yang empuk. Diatas meja tergeletak vas bunga kecil berisi kaktus hijau bulat, dindingnya dihiasi lukisan-lukisan abstrak yang jelek. Rumah makan ini sebenarnya tergolong agak mewah untuk ukuran turis backpaker, tapi Pierre santai saja melenggang duduk di rumah makan ini.
            “Bonjour..auriez-vouss'il vous plaîtvenir ici(halo.. tolong datang kesini)”, Pierre memanggil pelayan restoran, berharap si pelayan segera datang membawakan menu.
Menurutku untuk restoran seperti Halia rasanya pelayanannya tidak semewah restorannya. Tidak lama setelah pelayan mengantarkan menu kami pun mulai memesan makanan. Chili Crab Spaghetinidengan harga S$24 menjadi pilihanku, sementara Pierre lebih menyukai Oysters with Bloddy Maryseharga S$6 setiap cangkangnya -- Pierre pesan 10 cangkang, tapi untuk minuman kami sepakat untuk memesan es teh manis. Menunggu lima belas menit setelah memesan menu memang cukup membosankan, tapi untungnya suasana sekitar restoran begitu hijau dengan semak-semak pohon pisang hias disekelilingnya. Setelah lima belas menit akhirnya menu pesanan kami diantar diatas piring porselen berwarna pastel terang, dan gelas transparan tinggi berisi es teh manis. Chili Crab Spaghetini pesananku terlihat seperti yah...spagheti apalagi coba? dengan lumuran saus dan taburan daging kepiting yang sudah dikeluarkan dari cangkangnya, tampak menggiurkan dengan hiasan irisan daun bawang segar. Rasa masakan ini pedas manis, tapi diimbangi dengan gurihnya pasta spagheti bertekstur kenyal dan empuk, aku suka. Sementara menu pesanan Pierre tampakkonyol karena Oysters kan berarti tiram disajikan masih diatas cangkangnya dalam keadaan mentah dan tentu saja dimakan mentah-mentah pula. Bloddy Mary yang tercantum dalam menu yang dipesan Pierre tampaknya seperti saus dalam kemasan sarden kalengan yang ditempatkan dalam gelas kecil berhias daun seledri. Rasa Oyster and Bloddy Marry sendiri menurut pengakuan Pierre adalah délicieux untuk menggambarkan rasa sedap versi orang Perancis, daging tiram dirasa slimmy dan bertekstur kenyal dikucurkan saus Bloody Mary yang asam karena terbuat dari tomat segar beserta rempah yang dihaluskan bersama.Tapi dari aroma tiram yang tercium amis dan saus sarden kalengan itu, aku pikir hanya orang Perancis yang dapat menikmati menu ini dan berkata enak sesudahnya. Tapi bagaimanapun kami tetap menikmati makanan yang kami pesan, ditemani desir daun yang tertiup angin dari pohon berbatang besar yang sedang berbunga merah jambu.
            Puas bersantap di Halia kami pun beranjak menuju Orchad Road tentu saja dengan membayar S$1.40 per orang menggunakan MRT.Orchad Road dikenal sebagai kawasan belanja karena disana berdiri megah mall-mall dan Plaza hingga membuat para shopaholic bingung untuk memilih. Namun tujuan kami ke Orchad road sayangnya bukan untuk belanja, karena ya siapa sih yang tidak tahu kalau kaum backpaker hanya pelancong minim dolar?. Tapi toh walaupun tidak ada niat untuk menghamburkan uang di sini, kami tetap bisa menikmati Orchad Road dari sisi yang lain. Jalan Orchad Road sesungguhnya tidak terlalu lebar, hanya separuh dari lebar Jalan Sudirman di Jakarta. Tapi disisi kanan dan kiri jalan menjulang tinggi gedung-gedung Mall dan Plaza yang memiliki arsitektur modern dipisahkan oleh trotoar dari badan jalan. Disepanjang trotoar kadang dapat dijumpai deretan pohon hijau yang rindang membuat panas terik siang hari negara ini menjadi lebih sejuk. Ingin mencoba sensasi orang-orang kaya saat berbelanja disini kami pun memasuki sebuah Mall yang berisi deretan pakaian bermerk internasional, mulai dari Chanel, Versace hingga Prada memiliki gerai khusus di mall ini. Harga barang-barang fashion nan bermerk disini ternyata lebih murah daripada di Indonesia. Pantas saja banyak kaum sosisalita dan jetset  khusus terbang ke Singapore hanya untuk shoping, aneh memang. Mall yang kumasuki ini menyuguhkan suasana yang sama dengan Mall Taman Anggrek di wilayah Jakarta Barat, yang membedakan hanya pintu masuknya yang berbentuk terowongan besar transparan karena terbuat dari kaca hingga ke atapnya. Langit-langit mall berada tinggi jauh dilantai 6, udara di dalam gedungnya dingin sejuk karena dilengkapi full AC. Memasuki gedung kami disambut dengan air mancur bertingkat-tingkat dengan kolam lebar tanpa ikan didalamnya. Ada banyak hiasan bintang-bintang besar keemasan yang tergantung di langit-langit dan dengan cupid-cupid gembul yang juga turut melayang di atas aula. Sebuah eskalator landai terletak di lorong-lorong mall membantu para shopaholic untuk menikmati waktu belanja tanpa merasa lelah berjalan. Sepanjang mall terhampar luas toko furniture berkualitas tinggi, ada banyak pengunjung yang tampak antusias memperhatikan sebuah sofa futuristik yang bisa memijat dan diubah bentuk menjadi sebuah tempat tidur. Kami lalu berbelok ke lorong lain yang memiliki penerangan dari lampu neon bersinar kekuningan, banyak sekali sosialita bermake up tebal bergentayangan di lorong ini. Tidak heran karena sejauh mata memandang kami melihat deretan toko tas bermerk Hermes, LV, Gucci dan entah apalagi. Pierre yang tampak kebingungan menghadapi suasana ramai bak di Pasar Baru ini akhirnya menabrak seorang sosialita berbaju merah dengan aroma parfumnya yang menyengat, Calvin Klein dengan wangi promegranate dan persimon yang tampaknya disemprotkan terlalu banyak ke tubuhnya. Sungguh blush on tebal berwarna oranye dan bibir merah menyala membuat wanita ini tampak mencolok dibandingkan yang lain, tidak tega jika mengatakannya mirip ikan nemo.
            Je suis désolémadame, J'ai accidentellement(Maafkan aku madam, aku tidak sengaja)”, kata Pierre bermaksud meminta maaf dalam bahasa Perancis kepada wanita yang ditabraknya.
Pierre bahkan memungut tas belanja putih berlabel Hermes milik si wanita yang tidak sengaja terjatuh saat bertabrakan. Dari dalamnya tas belanja tersembul tas Hermes berwarna coklat terang, dengan price tag yang terbaca seharga S$2000.
            “Gimana sih mas makanya kalo jalan pake mata dong jangan pake dengkul!”, si ikan nemo ini memarahi Pierre dalam bahasa Indonesia.
Duh...aku langsung tepuk jidat dibuatnya. Lengkingan wanita ini rupanya terdengar oleh kawan-kawannya yang berjumlah tiga orang yang sedang asyik memilih-milih tas Hermes disekitar kami. Maka datanglah sekumpulan perempuan berisik dengan dandanan tebal dan sepatu high hells yang kelewat tinggi. Mereka semua akhirnya beramai-ramai mengoceh dalam bahasa Indonesia memarahi Pierre. Kasihan Pierre dia tidak berdaya menghadapi gerombolan sosialita asal Jakarta hingga wajahnya memucat.
Madamedésolé(Maaf madam)”, lirihnya seraya mencoba membuat wanita-wanita itu mengerti.
Namun tampaknya semua usaha Pierre sia-sia belaka, karena wanita-wanita itu tetap memarahinya bahkan ada yang nekat mencakar Pieree dengan kuku runcing berwarna merah marun. Pierre meringis karenanya.
            “Sudah-sudah bu, kawan saya ini tidak sengaja dia tadi menyampaikan maaf”, kataku akhirnya menengahi pertengkaran ini.
Tidak tega soalnya aku melihat Pierre dikeroyok oleh para sosialita yang berasal dari tanah airku sendiri. Apalagi keributan ini menarik perhatian banyak orang disekitar kami, malu juga kan. Ditambah lagi petugas keamanan yang sudah kasak-kasuk mengamati kami dari kejauhan.
“Orangnya ga sengaja”, kataku lagi untuk menegaskan apa yang sesungguhnya terjadi berharap kekacauan ini segera berakhir.
            Akhirnya para sosialita ini melepaskan Pierre, dengan angkuh salah satu dari ketiga kawannya yang berbedak paling tebal berkata,” Huh! bilang dong dari tadi ga usah pake bahasa bule segala”.
Aku yang mendengar hal ini hanya tersenyum kecut. Padahal si Pierre kan memang bule, dari wajahnya saja sudah bisa ditebak. Tapi aku enggan menjelaskan ini panjang lebar kepada perempuan dungu itu, alih-alih membuat persoalan menjadi panjang aku langsung melambaikan tangan, mengucapkan goodbye, lalu melenggang bersama Pierre menjauhi mereka menuju ke pintu keluar.
            “Kehidupan jetset tampaknya menakutkan ya”, kataku kepada Pierre yang terlihat masih bingung atas peristiwa yang menimpanya.
            “Merci devotre aide pourme. sontilsviennent de votrepays, l'Indonésie?(terimakasih sudah membantuku tadi.Apakah mereka berasal dari negara kamu, Indonesia?)”,tanya Pierre dengan suara parau kepadaku.
            Oui..mereka memang orang Indonesia,ils viventencoreà Jakarta,ma ville bien-aimée. Je suis désolé pource qui s'est passépour vous(mereka tinggal di Jakarta, kota ku yang tercinta. Aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu),” jawabku setengah berbahasa Perancis dibantu oleh paman Google yang kuintip darigadget pinjaman dari kawanku tentu saja. Aku harap Pierre tidak menyamakanku dengan perempuan-perempuan menor itu.
            Aku merasa lega sudah keluar dari Mall megah itu, Pierre tampaknya juga merasakan hal yang sama seperti ku. Hari sudah sore saat itu dan matahari hampir tenggelam. Pierre bergegas mengajakku ke Singapore Flyer yang terletak di Marina Bay. Singapore Flyer sendiri adalah kincir raksasa setinggi 165 meter dan memecahkan rekor sebagai Ferrish Wheel terbesar di dunia, amazing!. Kami menggunakan MRT dengan harga tiket S$1.20 dari Orchad Road turun di stasiun dengan nomer kode CC4 yaitu Promenade membutuhkan waktu 20 menit saja. Begitu turun di stasiun Promenade kami sudah bisa melihat sebuah kincir menjulang setinggi 42 lantai dari kejauhan dengan lampu-lampu yang sudah menyala, setelah itu kami berjalan sekitar 5 menit hingga sampai ke pintu masuk Singapore Flyer. Harga tiket masuk perorang adalah S$33 untuk dewasa sedangkan anak-anak S$21. Harga tiket tersebut termasuk mahal, hingga aku bersumpah hanya akan naik wahana ini sekali seumur hidup saja. Kecuali di traktir kekasih yang ganteng heheh lain lagi ceritanya.
            Melangkahkan kaki ke dalam kapsul Singapore Flyer membuat hatiku berdebar, perlahan-lahan kincir ini berputar hingga kami dapat melihat pemandangan landscapeSingapore yang dinamik. Puncak gedung tinggi segera terhampar di depan mata, terlihat elok di depan sinar matahari keemasan yang hampir tenggelam. Adalah Mandarin Marina, Pan Pasific dan The Fullerton tiga di antara hotel-hotel bintang lima yang bisa dilihat dari kincir. Dibawah kami dapat melihat jalan-jalan Singapore yang bagaikan ular naga hitam berkelok-kelok, dengan lampu-lampu jalan yang mengiringinya. Selain itu tidak jauh kami melihat Marina Bay Sand yang artistik dari kejauhan dengan tiga gedungnya yang menopang sebuah bangunan mirip kapal besar dipuncaknya. Singapore river juga bisa dilihat dari kapsul yang terus perlahan ke atas. Sungai ini ternyata begitu lebar, warna airnya terlihat keemasan ditempa cahaya. Matahari yang tenggelam di cakrawalanya, di pinggir sungai bayangan lampu-lampu gedung-gedung tinggi menambah eksotika tersendiri terhadap warna air, hingga terefleksi ungu, hijau, dan merah. Di dalam kapsul ada sekitar 10 penumpang yang ikut menikmati wahana ini bersama kami. Kebanyakan dari mereka sibuk mengabadikan pemandangan dengan lensa kamera. Di dalam kapsul tidak tersedia tempat duduk, sehingga para penumpangnya berdiri menyandarkan tangan ke pegangan yang tersedia di pinggir kapsul yang dindingnya terbuat dari kaca transparan dan langit dan lantainya terbuat dari besi berwarna keabuan. Sesampainya di puncak kapsul kami berhenti beberapa menit, sungguh mengagumkan karena saat itu kami bisa melihat sebagian negeri jiran yang tampak seperti gundukan di kejauhan dengan menara-menara masjidnya yang menjulang. Bukan hanya itu adalah pulau Bintan dan Batam dapat juga disaksikan di puncak ini, lihatlah di selatan cakrawala bagian dari negara Indonesia tersebut tampak seperti bukit berkelap-kelip, siluet kapal laut yang tampak bersinar di kejauhan turut menambah cantiknya pemandangan.
 "E’tes-vous heureux?, Je vous apporte ici, donc vous pouvez voir cette vue magnifique (apa kamu bahagia? aku membawa kamu kemari supaya kamu dapat melihat pemandangan indah ini)", sapa Pierre membuyarkan alam sadarku yang sedang terpaku menyaksikan semua keelokan yang terhampar di depanku.
" Je n'ai jamais vu un endroit merveilleux comme ça avant. Merci, Je suis tellement heureux (aku tidak pernah melihat pemandangan indah seperti ini sebelumnya. Terimakasih, aku sangat bahagia)", kataku sambil tersenyum kepada Pierre.
Lelaki pujaanku itu balas tersenyum kepadaku, dia kemudian mendekapku dengan erat dan hangat. Diluar sinar matahari hampir tenggelam, langit yang keemasan disaput awan putih yang tipis sungguh latar belakang yang romantis. Apalagi ditambah dengan camar-camar cantik yang berterbangan menghiasi angkasa. Pierre lalu menyentuh daguku dengan lembut, ditatapnya aku dengan mata birunya dalam-dalam seakan aku terbawa masuk ke sebuah telaga biru yang teduh.
"Les roses sont rouges. Violtes sont en bleu. Rien dans ce monde fou. Pourrait m'empêcher de t'aimer (Mawar itu merah. Violet itu biru. Tidak ada apapun didunia yang gila ini bisa menghalangiku untuk mencintaimu)", Pierre berbisik pelan ditelingaku, lalu perlahan bibirnya menyentuh pipiku.
Endingnya tentu saja berakhir dengan manis, sebuah ciuman lembut dan hangat mendarat di bibirku. Aku mendesah saat bibirku terasa lembab dan basah oleh ciuman itu.  Orang barat menyebut nya French Kiss....ciuman Perancis olalala. Seketika itu juga taburan kembang api menghiasi langit yang sudah gelap, warna-warninya menyemburat menerangi langit.
.........Oh, kecup aku dibawah senja yang putih...bimbing aku dibawah sinar bulan......angkat tanganmu dengan terbuka....mulai mainkan musiknya, yang membuat kunang-kunang berdansa...bulan keperakan gemerlap...jadi cium aku........
Kapsul Singapore Flyer berputar selama 30 menit, putarannya sendiri tidak terlalu terasa. Rupanya di dekat sana sedang ada pertandingan sepakbola yang dilaksanakan di stadion apung terbesar didunia The Marina Bay Floating Stadium, kembang api yang baru saja kami saksikan tadi merupakan bagian dari pesta pembukaan pertandingan tersebut. Begitu keluar dari kapsul kami langsung melangkah menuju stasiun MRT terdekat untuk kemudian menuju Gardens by The Bayyang beralamat di 18 Marina Gardens Drive, sebuah kawasan taman masa depan dengan pohon-pohon raksasa bernama Supertreegrove rancangan arsitek kelas dunia setinggi 50 meter bahkan ada yang tingginya mencapai 16 lantai, fungsi pohon raksasa ini adalah untuk menampung air hujan. Hari sudah malam saat kami menjejakkan kaki di Gardens By The Bay, bintang-bintang di angkasa menghiasi malam dengan sinarnya yang genit, bulan sabit terang mengintip dari balik awan membawa langit menjadi remang-remang. Ratusan orang sudah berkumpul di Garden By The Bay malam itu, banyak dari mereka adalah warga Singapore yang melepas penat setelah seharian bekerja di kantor, atau remaja yang sedang memadu kasih, sisanya adalah para turis mancanegara yang terkesima melihat sejumlah Supertreegrove yang menjulang tinggi dengan lampu-lampunya yang berwarna ungu, merah, dan hijau. Pesona Supertreegrove begitu menyihir siapa saja yang memandangnya, kilatan sinar blizt kamera sudah tidak terhitung lagi hendak mengabadikan momen. Apalagi menjelang pukul 07.00 pm suasana berubah menjadi sangat romantis, lampu-lampu berkelap-kelip membuat nuansa pohon raksasa yang menari karena permainan cahayaspektakuler. Tiba-tiba mengalunlah sebuah simfoni yang merdu seakan membawa pengunjung ke alam nirwana dengan bidadari-bidarinya yang memetik harpa.
C'estun grand voyage. Jen'oublierai pascequejamais. Et jeme souviendrai toujours devousPierre(Ini adalah perjalanan yang hebat. Aku tidak akan melupakan ini. Dan aku akan selalu mengingatmu Pierre)”, kataku kepada Pierre yang sedang terhanyut oleh alunan serenade indah dari Supertreegrove.
Pierre menoleh kepadaku lalu tersenyum, sambil merangkul bahuku dengan lembut dia berkata,”nous serons de retouràce lieuun jour,je promets(kita akan kembali lagi ketempat ini suatu hari nanti, aku janji)”.
Lalu kami kembali terpaku pada supertreegrove yang bersinar terang sebagai penutup dari serenade merdu tadi. Perlahan kemudian pohon raksasa itu mulai meredup, menyisakan cahaya lampu-lampu yang menenangkan bagi siapa saja yang meyaksikannya malam ini.
      *********
Puas menikmati sajian spektakuler permainan cahaya dari Supertreegrove kami lalu beranjak ke Marina Sand Bay, sebuah resort yang terintegrasi dengan MRT di depan Marina Bay. Sudah kujelaskan sebelumnya bahwa resort ini begitu unik dengan ciri khas tiga gedung tinggi yang menopang sebuah bangunan yang mirip kapal besar diatasnya, sehingga dari jauh pun Marina Sand Bay dapat langsung dikenali. Di sekelilingnya adalah Singapore River yang berair tenang, hingga membuat siluet Marina Sand Bay membayang di air. Ada kejutan saat kami mengunjungi tempat ini, tanpa sengaja kami bertemu Thomas yang rupanya sedang asyik menikmati pertunjukan STOMP yang merupakan salah satu atraksi spektakuler di Marina Sand Bay. Ada lima pertunjukan populer bagi turis yang sedang berlibur di Marina Sand Bay pada saat itu. Yang pertama adalah Pameran The Art of the Brick yang merupakan workshop untuk anak-anak segala usia dalam membuat wayang sendiri, bisa disaksikan oleh anak-anak dan orang tua di Museum Art Scince. Yang menarik disini adalah 53 patung besar yang dibuat dari LEGO yang juga turut dipertontonkan dalam pameran ini. Lalu ada pertunjukan sensasional STOMP yang siap memukau para pengunjungnya dengan segala benda yang mungkin tidak terpikirkan bagi orang lain untuk dijadikan alat pertunjukan. Mulai dari troli hingga korek api, ditambah dengan perpaduan teater, komedi, koreografi dan musik semua bisa menghipnosis para pengunjung. Selain itu ada juga Dirty Dancing yang terkenal dan diangkat dari film tahun 1987.Pengunjung bisa menikmati aksi tari dan teaterikal yang menarik mengenai kisah dua cinta, semuanya tersaji di Grand Theatre.Bagi penggemar Mesir kuno jangan lewatkanpameran Mumi yang bertema Secrets of the Tombmengangkat tema penghujung era Mesir Kuno. Pengunjung bisa melihat koleksi mumi dari British Museum dan juga film 3D yang inovatif. Terakhir dan tidak boleh terlewatkan adalah Le Noir, The Intimate Side of Cirque,menyuguhkan aksi akrobat terbaik dari 21 pemain sirkus bertaraf internasional.Semua atraksi tersebut akhirnya kami nikmati bertiga hingga hampir tengah malam dengan hati senang. Yah..aku tidak keberatan berbagi saat-saat romantisku dengan Thomas yang akhirnya ikut bergabung bersama aku dan Pierre. Saat malam mulai larut kami lalu ke lantai puncak dimana terdapat club, restoran dan bar yang menyuguhkan minuman, musik disko yang menghentak sampai pagi. Sky dining adalah pilihan kami, duduk di sebuah bar yang terletak dibibir ketinggian kami memesan sandwich sebagai pilihan makan malam, untuk minuman aku pesan orange juice, sementara Pierre memesan bir dingin yang dituangkan dalam gelas piala besar. Hanya Thomas yang memesan Brandy sebagai teman malam itu. Aku dan Pierre menikmati malam yang dingin dalam canda tawa. Di depan kami terhampar luas Singapore River kapal-kapalnya yang berkelap kelip. Dikejauhan tampak deretan gedung-gedung tinggi yang berdiri angkuh dengan lampu-lampunya yang tampak berkedip. Dibawah kami juga banyak rumah-rumah yang terlihat mungil dan hanya menampakan sinar lampunya yang terbentang bak permadani cahaya, sungguh pemandangan yang mengagumkan. Aku yang sudah agak mengantuk bersandar di pundak Piere, sadar kalau aku kelelahan dia merangkulku dengan lembut seraya memberikan kehangatan tubuhnya kepadaku. Kulahap sandwich kejuku dengan beberapa kali suapan saja, Piere tampaknya enggan menghabiskan sandwich tunanya cepat-cepat dan malah menyeruput bir dingin.
Malam kian larut, musik disko sudah berganti menjadi technopopmenghentak yang diracik seorang DJ bertopi Newyork Yankee dengan celana panjang dan kaos singlet berwarna putih tidak lupa sebuah kalung rantai keemasan dengan huruf G besar menggantung di lehernya. Pierre menarikku ke lantai dansa, aku pasrah mengikutinya setelah meminum orang juice ku hingga tandas. Di tengah lantai dansa yang penuh dengan para pecinta dugem aku dan Pierre berdansa bersama. DJ tanpa ampun menggesek piringan musiknya, hingga semua orang bergoyang tanpa henti. Dibawah sinar lampu disko Pierre tampak bersemangat mengikuti irama musik, aku nyengir saja saat dia memutar pinggangku agar mengimbangi tariannya. Ditaruhnya punggungku dalam rengkuhannya lalu dengan cepat dia menurunkan tubuhku sambil berdansa, sungguh twist yang tidak terduga. Lalu dia memelukku erat untuk kemudian memutar tubuhku sekali,di bawah lampu disko dia mencium bibirku dengan panas di tengah hentakan musik. Para pedansa lain sesaat memperhatikan kami, seorang wanita berambut cokelat tampak iri melihatku dikecup di tengah lantai dansa. Mengetahui kami menjadi pusat pehatian, Pierre akhirnya menurunkan tempo tariannya kepadaku. Tapi itu hanya sebentar karena sepuluh menit kemudian dia berdansa semakin cepat, tarian kami pun menjadi semakin liar. Apalagi ditambah Thomas yang akhirnya menyusul kami di lantai dansa, entah bagaimana dia berhasil merayu seorang wanita Brasil yang berkulit cokelat untuk menemani dia bergoyang. Dasarplayboy cap dua kelinci.
Malam hampir berakhir saat kami sudah kelelahan berdansa. Hingga akhirnya  Thomas pun menggamit tangan Pierre dan aku untuk mengajak pulang. Meninggalkan hingar bingar klub malam yang mengasyikkan itu, kami berjalan gontai menuju stasiun MRT untuk segera terlelap di hostel. Bintang-bintang sudah meredup, bulan sudah menghilang berganti cahaya samar-samar sang fajar di ufuk timur. Thomas melambaikan tangannya kepada si gadis Brasil yang baru dikenalnya itu untuk mengucapkan selamat tinggal.Au revoir!

No comments:

Post a Comment